24 - Perbedaan

193 50 7
                                    

.

.

"Ada hikmah dari perbedaan di antara muslim."
.

.

***

"Bu, aku mau bicara sebentar."

Rayya mengatakannya dengan ekspresi ragu di wajahnya. Gadis itu menggigit bibir, dan jemarinya meremas seragam madrasah.

Maryam yang sedang menyetrika baju, segera menyudahi pekerjaannya. Ia mematikan setrika. Kenapa ini anak gadisnya? Baru pulang sekolah, tiba-tiba bilang mau bicara serius?

"Ada apa? Sini, duduklah," ajak Maryam dengan isyarat tangan agar putrinya duduk di sampingnya, di atas lantai kayu.

Rayya manut dan duduk dengan kaki menyamping, duduk bergaya feminin, tidak seperti ibunya yang duduk bersila. Rayya melepas jilbab putihnya dan mulai bicara.

"Ibu, aku sebenarnya ... ka--," Rayya tak sanggup menuntaskan kalimatnya dan menutup mukanya yang merona padam.

"Kenapa kamu?" tanya Maryam heran. Putrinya yang anggun, belum pernah seperti ini kelakuannya.

"A-Aku ... kangen Raihan, Bu," akhirnya terucap juga. Wajah Rayya sudah semerah kepiting rebus.

Maryam menghela napas. "Yah. Mau gimana lagi? Namanya juga hubungan jarak jauh. Disabar-sabarin aja. Belum ada setahun, udah begini."

"Ibu! Tolong mintain izin sama Bapak! Boleh ya, kalau aku video call Raihan sebulan sekali? Boleh, ya?" pinta Rayya dengan tampang memelas dan jemari saling bertaut.

"Rayya! Kamu kayak gak tahu Bapakmu kayak gimana!" omel Maryam. Tidak menyangka putrinya sampai memohon-mohon begini, demi calon menantu ajaib yang bernama Raihan itu. Kalau bukan karena Raihan adalah putra Syeikh Yunan Lham, Maryam sebenarnya lebih sreg dengan teman madrasah Rayya yang dulu pernah memberanikan diri datang ke rumah mengutarakan niatnya untuk mengkhitbah Rayya. Tak disangka-sangka, Zhafran malah memilih Raihan. Padahal kelihatannya Zhafran sering dibuat kesal-kesal gemas sama Raihan.

"Video call-nya dua bulan sekali kalo gitu, Bu! Bapak atau Ibu sekalian, juga boleh ikut di video call! Kita ramai-ramai aja! Ibu bujukin Bapak, ya? Aku gak berani, Bu," rayu Rayya dengan mata berkedip-kedip.

Maryam menatap putrinya dengan sorot mata malas. Mana mungkin Zhafran mau diajak video call-an bareng sama Raihan. Ada-ada saja putrinya ini.

"Kemungkinan besar, Bapakmu gak bakal mau!" kata Maryam ketus.

"Dicoba dulu, Bu! Siapa tahu kalau Ibu yang rayu, Bapak mau. Ya, Bu? Ya?" Rayya kini mengelus-elus dagu Ibunya dengan sundulan kepala. Persis kucing minta ikan.

"Ya udah! Nanti Ibu tanya dulu sama Bapakmu. Tapi jangan terlalu berharap!"

Rayya menjerit senang dan memeluk ibunya erat. "Ibu the best, deh!" serunya.

Maryam diam diunyel-unyel putrinya. Apa boleh buat. Rayya anak satu-satunya. Dan Rayya bukan anak manja sebenarnya. Berarti anak sleboran bernama Raihan itu, mampu mengubah putrinya jadi begini. Sungguh di luar nalar.

.

.

"Apa? Video call? Gak boleh!"

Jawaban tegas Zhafran, membuat Maryam bergidik. Tapi dia masih berusaha melunakkan hati suaminya.

"Sayang, coba dipertimbangkan lagi. Kasihan juga Rayya. Atau setidaknya kita bolehkan mereka chat seminggu sekali? Atau sebulan sekali?"

Zhafran memicingkan mata ke arah istrinya. Terlihat galak, walau tanpa kata-kata.

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now