Rotten Coffin

5 0 0
                                    

A selalu tampak sangat cemas, dan ketakutan. Setelah dia mengatakan bahwa apa yang kutulis adalah sebuah kebohongan aku mencoba menenangkannya, menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya dan memintanya duduk manis di bangku yang terletak di salah satu ujung meja. Aku bisa merasakan sang suara sedang tersenyum puas melihat diriku yang terlihat kewalahan menangani A.

'Kau tidak boleh melanjutkan menulis ini, Al!' bentak A.

'Kenapa?' tanyaku dengan tenang.

'Jika kau menulis hal yang sesungguhnya, semua orang akan tahu rahasia kita, kisah kita, dan hal yang lain-nya!' tukas A dengan wajah yang seolah tenggelam oleh keringat dingin-nya sendiri.

'Aku harus...'

'Jangan Al!' bentaknya menggoyangkan meja.

'Memang sudah waktunya untuk menulis ini! Dan itu adalah hal yang akan juga terjadi kepada semua orang!'

'Jangan menulisnya Al! Kau tidak akan menulis bagian yang itu'kan?'

'Aku tentu akan menulisnya...'

'Jangan!'

!!

A tiba-tiba saja menarik mejaku dengan sangat kuat. Dia tidak mengerti, aku harus menyelesaikan tulisan ini. Aku'pun menahan tarikannya dan kami'pun saling adu tarik-dorong meja.

'A! Lepaskan!'

'...jangan kau dilanjutkan Al!'

'Aku harus menyelesaikan tulisan ini secepatnya, A!'

Sebuah dorongan dari lawan arahku tiba-tiba saja menjungkirbalikkan satu-satunya properti di ruangan itu beserta mesin ketik di atasnya. Tempat itu seketika penuh dengan kertas yang berserakan. Kejadian ini membuatku seketika geram dan menatap A lekat-lekat.

Wajah A kini tampak lebih pucat, bahkan ia terlihat lebih ketakutan dari biasanya. Ia tampak seperti hewan buruan yang terpojok dan telah melihat riwayat akhir hidupnya tepat di depan matanya. Aku'pun berdiri menghadapnya dan melontarkan kata-kata yang selama ini tidak ingin di dengar A.

'Ayahmu sudah mati sepuluh tahun yang lalu, A! Begitulah kenyataan-nya!'

Aku membentaknya dengan kalimat itu. A seketika mematung di tempat duduknya, kemudian ia perlahan meleleh hingga menjadi posisi meringkuk, lalu sesekali kucuri pandang terlihat air mata dan lendir mulai membasahi wajahnya. Aku mengabaikan dirinya dan mulai merapihkan meja dan mesin ketik agar aku dapat menyelesaikan tulisan ini.

A terisak di dalam tangisnya yang seharusnya sudah kadaluarsa selama 10 tahun lebih tersebut. Aku tidak peduli, siapa suruh ia seperti itu. aku kembali duduk dan mulai menulis tentang ayahku.

.....

Ayahku seorang teknisi mesin di sebuah pabrik tekstil di kota tempat kutinggal. Di pabrik itulah beliau bertemu ibu. Dari pabrik itulah kurang lebih aku dan kakakku bisa makan dan hidup karena keduanya bekerja di area pabrik yang sama. Aku sebenarnya kurang tahu bagaimana keduanya dapat bertemu, aku tidak mengharapkan sebuah kisah cinta yang romantis karena mengingat betapa agamisnya ayahku di ingatanku.

Ayahku memiliki ego. Seperti itulah aku menggambarkan sifatnya setelah aku hidup cukup ketika aku mulai memahami potongan-potongan cerita dan memori tentangnya. Ayahku adalah sebagai mana gambaran seorang anak muda tahun 90-an yang berjiwa bebas namun memiliki prinsip yang kuat. Satu hal yang kukagumi dari beliau adalah kemampuan komunikasinya yang handal sehingga ia memiliki banyak kenalan hanya dari tempat kota kami tinggal. Mungkin hal itu membuatku hingga saat ini iri.

Seperti yang sudah kujelaskan di atas, ayahku memiliki prinsip yang sangat kuat. Dari dalam beliau mempunyai citra agama yang sangat kuat dan memang begitu di dalamnya. Di rumah beliau selalu mengajari anak-anaknya tentang agama dan sopan santun. Belajar bagaimana menghargai perjuangan seseorang dan kerja keras. Namun dari luar beliau adalah seorang laki-laki yang memiliki ego sebagai mananya. Beliau hanyalah seorang manusia biasa yang hanya mampu memberikan dan berharap yang terbaik atas anak-anaknya. Semua anak-anaknya dimasukan ke sekolah asrama islam atau yang lebih sering disebut pesantren. Di mata masyarakat beliau dikenal baik atas kedermawanan-nya dan keaktifan-nya mengikuti kegiatan masyarakat. Beliau adalah tulang punggung keluarga kami hingga suatu saat tulang punggung itu akhirnya rapuh oleh penyakit.

DENI_LWhere stories live. Discover now