Selepas dari rumah Awan, Hujan menuju ke sini. Dia ingin memberikan Khatulistiwa kejutan sebab beberapa hari ini komunikasi mereka terputus dikarenakan kesibukan yang tidak bisa di elakkan.

Selain itu juga, sebelum keluar dari rumah Awan, mantan suaminya itu mengatakan bahwa Khatulistiwa izin sakit sejak kemarin.

Maka, di sinilah Hujan berada.

Mendapati pagar rumah yang tidak terkunci, Hujan lanjut masuk. Tangannya terangkat memencet bel di samping pintu.

Mungkin sekitar 5 kali Hujan membunyikannya sampai pintu putih itu terbuka. Namun, bukannya Khatulistiwa, Hujan malah mendapati eksistensi Bintang—teman sekantornya dulu semasa menjadi OB.

Keduanya menunjukkan mimik terkejut, tidak lama Hujan menghambur memeluk Bintang sebab cukup lama tidak ketemu.

"Apa kabar?" tanyanya usai melepas pelukannya dan menatap Bintang semangat.

"Baik. Jenguk Bang Katu, ya? Dia baru aja abis makan bubur."

Mendengarnya, Hujan melongokkan kepalanya ke dalam rumah Khatulistiwa. Sejenak dia ragu, apa kehadirannya tidak akan menganggu?

"Masuk aja. Bang Katu juga lagi nyender kok." sahut Bintang begitu menangkap kilatan keraguan dalam netra Hujan.

"Makasih ya." balas Hujan melangkah masuk dituntun Bintang yang mengarahkan kamar Khatulistiwa.

Keduanya berhenti di depan kamar yang di sinyalir adalah kamar Khatulistiwa.

"Gih masuk." Bintang mendorong kecil pundak Hujan, sekedar menghilangkan sisa-sisa keraguan pada diri temannya itu.

Memutar pelan handle pintu, Hujan mengintip. Benar apa yang Bintang katakan. Sosok Khatulistiwa, duduk bersandar pada kepala ranjang disertai kedua mata yang tertutup.

"Siapa, Bi?" suara serak pria itu menyapa telinganya. Agaknya Khatulistiwa mengira, yang masuk barusan adalah Bintang.

"Ekhem, aku." jawaban kaku Hujan menyentak Khatulistiwa dari tempatnya. Kedua netranya melebar sempurna.

"Rain!" binar wajah Khatulistiwa terlihat jelas. Siapapun yang melihatnya akan menilai, seberapa senangnya ia akan kehadiran sosok Hujan di kamarnya.

"Tunggu, aku halusinasi pasti." gumaman Khatulistiwa masih didengar Hujan.

Hujan tak mampu menyembunyikan senyumnya lalu berjalan menghampiri Khatulistiwa yang sedari tadi mengamatinya.

"Beneran aku kok." katanya menyentuh dahi Khatulistiwa, rasa hangat menyambut telapak tangannya. Agaknya sudah sedikit turun.

Sepertinya Khatulistiwa terlalu capek hingga drop.

"Beneran kamu ternyata." gumam Khatulistiwa memegang tangan Hujan yang berada di dahinya lalu menariknya hingga Hujan duduk di sampingnya.

Sedetik kemudian Khatulistiwa memeluk Hujan erat.

"Akhirnya obatku datang." bisiknya segera mendapat sebuah pukulan kecil di lengannya. Siapa lagi kalau bukan Hujan yang melakukannya.

"Bisa-bisanya sakit masih menggombal." omelnya ikut membalas pelukan Khatulistiwa, bahkan tangannya kini sudah bertengger di kepala Khatulistiwa guna mengelusnya lembut.

"Serius, Abang rindu banget. Sampe-sampe Abang mimpiin kamu diculik oleh orang." celetuknya seraya mencium pundak Hujan singkat.

"Orang sakit, aneh-aneh, ya mimpinya." Hujan menimpali yang Khatulistiwa balas dengan anggukan.

"Takut banget, Abang gak mau ada yang menjauhkan kita. Liat kamu minta tolong dan Abang gak bisa berbuat apa-apa selain liatin kamu. Badan Abang mendadak gak bisa digerakin." curhatnya yang masih dibayangi mimpinya semalam.

Hujan tertawa kecil, Khatulistiwa seperti anak balita yang tidak mau berjauhan dengan ibunya.

"Mimpi doang itu. Buktinya aku udah ada di sini."

Mendengar hal tersebut, Khatulistiwa tersadar sesuatu. Segera dia meleraikan pelukannya dan menatap Hujan menyelidik.

"Kok kamu bisa di sini? Di izinin sama pak Awan?"

"Bukan di izinin, tapi aku udah boleh pulang. Kondisi Glen udah membaik." jawabnya seadanya.

Tak lama Hujan memekik ketika Khatulistiwa menerjang tubuhnya dan membawanya masuk ke dalam pelukan hangat pria tersebut.

"Kita bisa nikah dong. Mau ya, pokoknya harus mau. Abang udah gak tahan lagi berjauhan sama kamu."

Hujan membelalakan matanya, dia baru tau orang sakit bisa sedeng juga.

"Sttt~ jangan ganggu. Abang lagi mikirin tema undangan kita."

"Ihhh! Pokoknya Bang Katu gak boleh sakit lagi. Gini nih akibatnya." celotehan Hujan tak ditanggapi berarti Khatulistiwa. Sebaliknya pria itu mengungkung tubuh Hujan, seolah dia adalah guling hidup.

Dibalik pintu, Bintang mendengarkan tanpa berani mengganggu keduanya.

Ternyata hubunga mereka sudah sejauh itu.

Bintang tersenyum ironi, apakah sudah saatnya dia mundur?

Di sela pikirannya tersebut, ponselnya bergetar. Bintang melihatnya, beberapa bait pesan yang berhasil membuatnya meremas ponselnya kuat.

|Pilihan masih berlaku.
Bila memang kamu tidak
ingin mereka bersatu,
maka lakukan perintahku.

Kamu juga harus sesekali
Egois.

Haruskah Bintang egois kali ini?

💍💍💍

Hayoloh yang misuh2 nge cek  WP cuman ingin liat update-an cerita ini.

Gimana perasaan kalian setelah membaca part ini?

Berapa persen kepuasan kalian?

Hehehe, cerita yg lama up, seminggu sekali.

Seneng banget cerita ini udah ada peningkatan.

Kira2 part ini lebih meningkat lagi gak?

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Sayang ReLuvi banyak2😘😘


(,) sebelum (.)Where stories live. Discover now