10. Filosofi Ikan Bakar

Start from the beginning
                                    

Rhea dan Rana sibuk membuat sambal dan kangkung tumis dibantu oleh Ibunya Rana. Sesekali Rhea melirik Shane yang terlihat semangat malam ini.

"Dah jadi!" seru Davin sambil mengangkat ikan dari pembakaran dan menyusunnya di piring.

Rhea segera menyajikan kangkung tumisnya yang sudah matang di atas meja, tepat di sebelah ikan bakar. Rana juga menyusul dan meletakkan sambal buatannya.

Sekarang semua orang sudah duduk mengelilingi meja kayu yang sebenarnya adalah meja makan milik Ibunya Rana. Mereka mengeluarkan benda itu dan meletakkannya di lahan kosong samping kebun, tempat mereka sekarang berada.

Ibunya Rana sedang kembali ke dapur untuk membuatkan teh hangat. Keempat orang itu memutuskan makan kalau teh hangatnya sudah jadi.

"Kapan ya terakhir kali makan ikan bakar yang dibakar pakai tempurung kelapa kayak gini," ucap Davin kagum menatap hasil bakarannya.

Davin bukan orang asli sini. Dia orang Makassar, tapi sejak kuliah sampai bekerja saat ini, dia tinggal di Jogjakarta. Dia hanya datang sesekali ke Makassar untuk mengunjungi orangtuanya dan menemui Rana.

"Aku malah belum pernah makan ikan angus kayak gini," celetuk Shane.

"Ini bagian luarnya angus karena dibakar pakai arang, Shane." Rhea menimpali.

"Tapi kayaknya kotor. Emang bisa dimakan?"

Semua orang menatap ikan bakar itu untuk memastikan. Tidak ada kotoran sama sekali. Warna hitam kecokelatan di bagian luar ikan karena dibakar menggunakan bara api dari tempurung kelapa.

"Yang luarnya kelihatan kotor belum tentu dalemnya juga kotor, anak ganteng," ucap Rana sambil menata piring. "Yang kelihatan bersih di luar juga belum tentu dalemnya bersih."

Rhea tertawa. "Dah kayak menggambarkan sifat orang aja."

"Memangnya orang juga kayak ikan bakar, Tante Rana?"

"Nggak sih. Itu tadi cuma semacam perumpamaan."

Kali ini Davin yang tertawa. "Emangnya Shane ngerti perumpamaan itu apa?"

"Semacam filosofi?" tanya Shane.

Semua orang mengerjap-ngerjap tidak percaya. Rhea sendiri bingung, dari mana saja sih Shane menemukan kata-kata itu?

"Shane jujur deh sama Mama. Kamu tau dari mana kata-kata itu?"

"Dari buku-buku di rak buku Mama," jawab Shane polos.

Setengah mati Rhea berharap bahwa dia tidak pernah mengoleksi buku-buku aneh karena ternyata Shane sering membaca buku-buku itu tanpa sepengetahuannya. Seingat Rhea, 80 persen buku-buku koleksinya hanya buku-buku motivasi. Meski begitu, tetap saja itu bukan buku untuk bocah umur lima tahun. Lagian masih ada 20 persen lagi yang sepertinya terdiri dari novel-novel. Apa jadinya kalau Shane membaca buku-buku itu?

"Shane, buku-buku Mama itu untuk orang dewasa. Kamu baca buku-buku yang Mama beliin untuk kamu aja ya."

Mulut Shane lagi-lagi dikerucutkan. "Apa bedanya sih orang dewasa sama aku?"

Tidak lama kemudian, Ibunya Rana datang dengan membawa satu teko berisi teh hangat dan beberapa gelas kaca berukuran kecil yang sepertinya hadiah sabun atau apa. Kayaknya hampir semua rumah memiliki gelas sejuta umat ini.

"Minum ki' Nak. Ibu kembali ke rumah dulu nah. Kalian makan saja. Ada tamunya Bapak," ujar Ibunya Rhea yang disambut anggukan sopan dan ucapan terima kasih dari semua orang.

Davin mengambil satu gelas itu dan memperlihatkannya pada Shane. "Gelasnya kalau diisi dengan semua teh yang ada dalam teko, muat gak?" tanya Davin pada Shane.

Shane memperhatikan gelas itu kemudian menatap Davin. "Enggak. Kan itu kecil."

"Sama kayak isi buku-buku Mamanya Shane. Itu buku-buku untuk orang dewasa yang udah lebih besar. Kalau dibaca anak kecil, gak bakal muat di kamu."

"Tapi kan aku suka baca," gumam Shane.

"Baca ensiklopedia tentang flora dan fauna tetap boleh kok, Shane. Mama seneng kalau Shane jadi pinter, tapi gak semua buku bisa kamu baca."

"Iya, Mama," ucap Shane akhirnya.

Rhea tersenyum. Mereka mulai menimba nasi ke piring masing-masing.

"Tapi, Tante Rana. Soal ikan bakar tadi," ucap Shane.

Rana berbalik ke arah Shane. "Iya, sayang?"

"Yang keliatan kotor belum tentu dalemnya kotor, yang luarnya bersih belum tentu dalemnya juga bersih," ucap Shane mencoba meniru perkataan Rana tadi. "Kayak Nadira. Dia bersih dan cantik, tapi dia jahat karena udah ngambil Papa. Ikan bakar lebih baik dari pada Nadira."

Semua orang terdiam dan saling pandang. Rhea tidak menduga Shane akan berbicara seperti ini. Dia benar-benar mencerna apapun yang dia dengar dan dia lihat.

"Shane, panggilnya Tante Nadira ya. Sama kayak Tante Rana," ucap Rhea setelah bisa mengendalikan keterkejutannya. Meskipun dia benci sama Nadira, tapi Shane tidak boleh menyimpan rasa benci juga. Bukan karena Rhea terlihat ingin menjadi Ibu yang luar biasa dalam mendidik anaknya. Dia hanya ingin Shane tumbuh dengan baik, dipenuhi rasa sayang tanpa benci ataupun dendam terkait perpisahan orang tuanya.

"Tante Rana baik, gak kayak dia. Tapi kalau Mama maunya aku manggil dia Tante, then okay," pungkas Shane.

Three YearsWhere stories live. Discover now