Halo Beni

44 7 8
                                    

"Apa kamu tahu kalau mereka pernah bersama?"tanyanya kepadaku.
"Siapa yang kau maksud?"aku bertanya kepada laki-laki yang ada di depanku, bukannya memberitahu, dia malah menunjukkan ekspresi misterius yang malah membuatku tambah penasaran.
Setelah beberapa kali dia menggodaku, pada akhirnya ia bercerita.

Kisah ini dimulai di awal tahun 1991,

Juwitaku berikan senyummu
Ciptakan damai di dunia
Pujaanku hilangkan resahmu
Enyahlah kau duka lara

Sambutlah tanganku
Ku ajak ke sana
Kita kan menuju
Luas angkasa

Mentari pun pasti tersenyum
Pelangi hiasi angkasa
Tawamu cerahkan hatiku

Lagu: Selamat Pagi Juwita - The Adams

Rasanya lirik lagu yang dinyanyikan lelaki itu dengan petikan gitarnya, merasuk ke dalam aliran darah Juwita. Tanpa sadar membuat Juwita tersipu, walaupun dia tahu itu hanya lirik lagu dan dinyanyikan bukan untuknya.

Hari itu, Juwita datang ke konser bersama teman-temannya. Gitaris dalam band itu adalah kenalan mereka dalam satu sekolah— Beni namanya. Setelah konser selesai, tiba-tiba Beni mendatangi Juwita yang sedang berjalan dan mulai berpisah dengan yang lain.
"Juwita, aku mau bicara sama kamu, kamu bersedia tidak?"tanya Beni.
"Bicara tentang apa?"
"Kamu bakal tahu kalau kamu ikut aku"
"Yaudah, sekalian anterin pulang ya?"pinta Juwita sambil sedikit bercanda.
"Pastinya,"jawab Beni sambil membuka footstep motor Honda CB nya.
Mereka berdua mulai menyusuri kota sambil bercerita mengenai berbagai hal sampai motor mulai dikendarai pelan oleh Beni. Lelaki dengan rambut lurus dan halus seperti bulu itu pun mulai berkata.
"Juwita, lagu yang tadi itu, aku nyanyikan  buat kamu"
"Maksudnya?"tanya Juwita dengan ekspresi bingung.
"Setelah sekian lama bersama, aku ingin hubungan kita lebih dari teman, dan kata aku dan kamu akan menjadi kita,"jelas Beni kepada Juwita.

Juwita pun tersenyum, dia terkejut bahwa lagu itu dinyanyikan untuknya, namun saat itu juga perasaan yang dia tahan mulai runtuh, selama ini ia tetap menyangkal jika ia juga merasa tertarik kepada Beni. Juwita selalu menunggu— nunggu seseorang untuk datang padanya, menunggu seseorang yang datang dengan perasaan  menginginkannya, dan menunggu seseorang yang memang membutuhkannya. Beni pun datang, keberaniannya meluluhkan hati Juwita. Tentu saja, Juwita dengan senyum manis di bibirnya itu pun menjawab, "Ya". Senyum lebar tersungging di bibir Beni, ia mulai semangat mengendarai motornya, tidak lupa juga bahwa ia membawa Juwita yang sekarang menjadi kekasih hatinya, sehingga ia tetap hati-hati. Mereka berdua mengelilingi Kota Kembang dengan perasaan senang.

Seperti sepasang kekasih pada umumnya, Juwita selalu menelfon Beni setiap malam hanya untuk mengucapkan "Halo Beni", begitupun Beni yang selalu menjemput Juwita sebelum berangkat sekolah dan mengatakan "Selamat pagi Juwita". Sayangnya hari ini Beni tidak bisa menemani Juwita. Beni adalah seorang atlet renang, dia sering mendapat dispensasi untuk lomba yang akan dia ikuti, hari ini pun dia berangkat untuk mengikuti suatu lomba. Juwita sendiri merasa senang akan hal itu, menyadari bahwa kekasihnya adalah seorang atlet renang dan gitaris dalam sebuah band, untuk pribadinya sendiri pun ia cukup tampan, Beni juga tidak pernah lupa bertukar kabar dengan Juwita walaupun dia sibuk.

Akhirnya, Beni pulang setelah beberapa hari mendapat dispensasi, ia langsung mendatangi Juwita di rumahnya untuk melakukan kebiasaan sederhana mereka, yaitu berkeliling kota dengan motor dan menceritakan hal-hal yang telah terjadi dibeberapa hari yang telah terlewat. Bagaimanapun juga, saat berbicara di telepon dan berbicara secara langsung terasa sangat berbeda. Hal itu yang sangat disukai oleh Juwita, bersua dan berbicara dari mata ke mata.

Sudah hampir satu tahun hubungan mereka berjalan, semua terasa baik-baik saja sampai dua sejoli itu mulai tenggelam dengan kegiatan masing-masing. Juwita terpilih menjadi ketua Ektsrakurikuler Pecinta Alam di sekolahnya, dia juga sibuk dengan kegiatan diluar sekolah seperti klub motor yang ia ikuti. Begitupun dengan Beni yang disibukkan dengan latihan renang untuk lomba di tingkat Kejuaraan Provinsi dan Band-nya yang penuh dengan jadwal.

Sampai suatu saat, Juwita mulai merasa aneh dengan hubungan yang dijalaninya.
Juwita merasa kesepian, di sisi lain ia paham jika Beni tidak melakukan hal yang salah dan kekasihnya itu melakukan hal yang dia inginkan, bahkan hal itu sangat mendukung untuk masa depannya, sebenarnya pun ia ikut senang jika Beni senang. Juwita sendiri juga sibuk dengan kegiatannya, terkadang dia tidak sempat untuk hanya bertemu dengan Beni, sekalipun itu adalah hal yang paling disukai oleh Juwita— bersua dan melihat wajah Beni. Ketika hanya melihat Beni ada, itu sudah membuat Juwita merasa tenang.

Setelah pulang dari sekolah dan sampai di rumah, Juwita pun menelepon Beni dengan telepon kabel yang ada di rumahnya.
"Halo Beni,"ucap Juwita.
"Iya Juwita ku"
"Aku kangen sama kamu"
"Sama, nanti kalau sibuknya sudah selesai, kita keliling kota lagi ya sayangku"
"Iya, aku tunggu"
"Ya sudah, aku tutup ya teleponnya, aku mau latihan lagi"
Beni menutup telepon, Juwita masih menempelkan telepon kabel itu di telinganya, berharap ia masih bisa berbicara lebih banyak lagi dengan Beni. Ia pun menghela nafas, menaruh telepon itu, dan menarik selimutnya.

Hari demi hari berjalan dan tidak ada perkembangan yang signifikan, Juwita masih saja merasa kesepian malah lebih parah dengan Beni yang lebih jarang memberi kabar, namun ia masih sabar dan menunggu Beni untuk bisa bersama - sama lagi dengannya. Juwita pun ikut menyibukkan dirinya dengan aktif di organisasi di sekolah dan klub motornya. Ia sering berkumpul dengan temannya untuk night ride bersama.

Juwita merasa kesal dengan perasaan kesepian yang menghantui dirinya setiap hari, ia ingin menghubungi Beni namun ia tahu bahwa Beni sibuk, ia merasa marah namun tidak tahu mau marah kepada siapa, dia sudah mencoba menyibukkan dirinya, namun kesepian  tetap datang walaupun ia berada di kesibukan itu. Benar- benar mengesalkan saat mau tidak mau dia harus meneteskan air matanya di malam hari.

Hari yang mengesalkan datang menghampiri Juwita. Kamera yang ia gunakan tiba-tiba rusak, hal yang ia sesali adalah banyak fotonya bersama Beni yang belum di cetak dan di dalam kamera itu terdapat banyak foto yang harus dicetak untuk kebutuhan organisasi di sekolahnya. Tidak berhenti di situ, setelah sampai di rumah ia dimarahi oleh orang tuanya, selain perihal kamera, Juwita yang aktif dalam klub motor pun ikut terseret dalam tuturan amarah orang tuanya.

Di saat seperti ini tentu saja Juwita sangat membutuhkan kehadiran Beni. Ia pun menelpon Beni, ia tahu pasti bahwa di jam ini Beni sedang istirahat dan seharusnya bisa mengangkat teleponnya. Suara telepon menggema di ruang kamar yang sepi, beberapa kali Juwita menelepon, namun tidak juga diangkat oleh kekasihnya itu. Semakin hancur perasaannya, tanpa berpikir panjang ia mengambil kunci motor dan Juwita mulai mengendarai motor menuju suatu tempat. Sampailah ia di tempat Beni berlatih dan akhirnya Juwita bisa melihat kekasih hatinya itu.

Air matanya sudah tidak bisa terbendung lagi, benar-benar menetes tanpa henti. Beni yang mengetahui hal itu langsung berlari dan memeluk Juwita dengan erat, sekalipun ia bingung dengan apa yang terjadi. Di dalam pelukan yang menenangkan itu, Juwita mulai berbicara.
"Beni"
"Kenapa sayang?"
"Kenapa kamu tidak angkat teleponku? Selama ini aku butuh kamu, tapi kamu nggak bisa"
"Maaf Juwita sayangku, kalau aku belum bisa ngasih waktuku penuh ke kamu"
"Maaf Beni, aku sudah lelah, aku selama ini sudah mencoba untuk mengerti kamu, sudah cukup, aku nggak kuat lagi nunggu kamu, nunggu semuanya, kita sudah sampai sini saja ya, kita introspeksi diri masing- masing, semoga kita bisa bertemu lagi dengan kebahagiaan masing-masing, terimakasih atas waktu yang kita habiskan selama ini, bahagia selalu ya kamu"
"Nggak bisa begini Juwita, aku sayang banget sama kamu, asal kamu tahu kalau kata 'Halo Beni' yang selama ini kamu ucapkan ketika meneleponku itu adalah kata yang paling aku rindukan"
"Sudah cukup, aku lelah, aku mau pulang, terimakasih banyak Beni"

Beribu kata telah diungkapkan dan beribu perbuatan telah dilakukan oleh Beni agar Juwita tetap ada di sampingnya. Tetapi, semua hal itu sia-sia, dulu rasanya wanita itu nyata, namun sekarang bagaikan fatamorgana yang tak seindah tampaknya. Tak apa jika ia tak berpacaran dengan Juwita, wanita itu ada di bumi saja, Beni sudah senang. Entah Juwita masih mencintai Beni atau tidak, nyatanya ia memilih untuk berpisah dengan Beni.

Bandung, 9 September 1991

"Nah, begitu ceritanya sampai akhirnya mereka putus,"ucap lelaki itu.
"Begitu ya, aku baru tahu siapa orangnya, ibuku hanya menceritakan sedikit kepadaku tentang cinta pertamanya,"jawabku.
"Iya, Beni adalah ayahku dan Juwita adalah ibumu"
"Siapa yang menyangka bahwa di masa depan, tahun 2025, anak mereka akan menjadi sepasang kekasih,"ucapku sambil tertawa kecil kepadanya.
"Tetapi karena Juwita juga, ayahku menjadi atlet renang terkenal dan sukses"
"Ya, mungkin Juwita agak berguna"

Kami pun tertawa bersama, sambil berjalan menyusul orang tua kami yang bercengkerama sambil menikmati senja di Pantai Pangandaran yang indah itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 12, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Halo Beni Where stories live. Discover now