Hingga saat ini, meskipun kami sudah sering membicarakan tentang pernikahan, Ara sama sekali nggak pernah menyinggung tentang beban utama yang membuatnya kelimpungan: keluarganya. Seharusnya saya enggak mengharapkan hal ini, tapi sedikit aja, saya berharap Ara bisa jadi selembut Hani. Kalau pikiran itu sampai lolos sedikit saja dan ketahuan oleh Raditya (teman dekat sekaligus flatmate saat kami kuliah dulu), dia mungkin bakal menghajar saya habis-habisan.

Raditya, di antara banyaknya orang yang menyimpan rasa maupun cuma sekadar jatuh hati pada Ara, pria tinggi satu itu bisa dibilang sebagai yang paling ugal-ugalan. Radit enggak akan ragu buat menyuruh Ara mutusin saya. Dia juga selalu bilang kalau saya kelihatan enggak tulus dan cuma berusaha memenuhi peran dan menciptakan persona sebagai ‘pacar yang baik’ aja. Dulu, apalagi saat kami bertiga tinggal di rumah yang sama bersama tiga orang lainnya, tuduhan itu memang valid. Bahkan jauh di lubuk hati terdalam, saya enggak akan melihat itu sebagai tuduhan. Perlakuan yang saya berikan terhadap Ara dulu memang bukan yang paling baik; tapi bukan haknya Radit untuk mencampuri. Lagipula, Ara selalu sangat pemaaf.

“Hi love,” ucap Ara begitu melangkah masuk ke dalam apartemen. Sosoknya sontak mengaburkan pikiran tentang Radit, tentang Oxford, dan tentang Hani. Tangannya bergerak sangat cepat hanya untuk menahan pelukan yang hendak saya berikan. Katanya, “Aku mandi dulu. Tadi di kereta ketumpahan jus.”

“Kok bisa?”

“Anak kecil,” jawabnya lugas.

Meskipun enggak ke kampus tiap hari, tapi akhir-akhir ini saya semakin mengagumi pengorbanan Ara buat commute dari London ke Cambridge karena kami tinggal bersama. LDR bukan jenis hubungan yang bisa dijalani dengan mudah karena saya selalu membutuhkan kehadiran Ara secara fisik dan mental. Ara sebenarnya pandai mengatur waktu dan digital communication bukan hal yang dia anggap rumit. Tapi itu hal yang rumit bagi saya. Lebih tepatnya, saya enggak bisa tinggal terlalu lama dalam jarak kelampau jauh tanpa presensi Ara. Lagipula, kalau kami tinggal di tempat yang sama, selain lebih hemat, efisiensi buat menjangkau satu sama lain juga jadi lebih mudah. Wah, Ara memang selalu berkorban sebanyak ini; fakta yang telat saya sadari.

Sejak satu jam yang lalu, pandangan saya terpaku pada Ara yang sibuk dengan laptopnya. Dia enggak bersuara—tampak begitu fokus dan baru menutup laptop pukul 11.20. Lengguhan napasnya diwarnai kelegaan—begitu pula dengan senyum yang terulas saat dia mengangkat kedua pundaknya secara spontan.

“Still busy?” saya bertanya sambil berbaring menyamping di tepian kasur. Ara bilang tidak. Lantas kedua tangan saya terentang, sementara mulut mengatakan, “Hug and cuddle, love.”

Ara menelusup ke dalam selimut—membiarkan saya memeluknya dengan erat. Suaranya agak serak, tapi anehnya, dia kedengaran sangat ceria. Mungkin untuk saat ini, satu-satunya hal yang bisa menarik semua antusiasme dan keceriaan Ara memang hanya studi. Tak apa, selama itu membuat Ara bahagia.

“Sayang? Boleh cium?”

Mata ini sontak memicing. “Ara sayang, kenapa harus nanya? Kayak orang baru pacaran aja. Come, give me as many kisses as possible.”

Entah saya memang secara bodoh bercerita atau bagaimana, tapi sejak tahu kalau Hani senang memberikan banyak ciuman, Ara memutuskan untuk tidak melakukan hal serupa. Bahkan ketika tahu kalau alasan saya menyukai perempuan berambut pendek adalah karena Hani selalu punya potongan bob, Ara memutuskan untuk tidak pernah punya potongan rambut pendek sebahu. Tapi, andai Ara sadar, dia selalu cantik dengan potongan rambut apapun. Sekarang perempuan berambut bob bukan lagi tipe saya; sebab tipe saya adalah Ara dan akan selalu Ara.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 08, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Thing Between UsWhere stories live. Discover now