[18-1] Aksara

Mulai dari awal
                                    

Kali ini Aksa menarik sebuah senyum. Tangannya mengusap pipi secara spontan. “Not this time, sayang. Aku lagi capek banget.” Aksa selalu bilang kalau saya itu dramatis dan senang memulai pertengkaran. Well, itu karena dia enggak pernah mau mengomunikasikan perasaan. Saya enggak cukup pandai untuk menebak-nebak. “Anyway, kamu dapat salam dari Putri. Dia mau ke sini bulan depan. That’s so cool, isn’t it? We can meet her in the crepes shop.”

Dia masih sibuk berbicara, menjelaskan tentang pertemuannya dengan beberapa teman yang sebagian namanya bahkan tidak saya kenal. Dua bulan tak bertemu secara langsung, bahkan mengobrol pun jarang, saya bisa melihat perubahan yang signifikan pada Aksa. Pria di depan ini kelihatan lebih kurus—seolah otot yang dia banggakan perlahan menguap di udara. Lalu rambutnya juga agak gondrong; hal yang tak biasa karena Aksa selalu senang maintain rambutnya tetap rapih dan pendek. Lalu matanya juga kelihatan lelah. Mata yang sampai detik ini sekalipun masih senang mencari kedamaian dan kenyamanan di tengah sorot mata saya yang perlahan redup tak bergairah. Ada sepercik kesedihan—Aksa seolah sadar kalau ada pecahan yang berubah dalam diri kekasihnya.

Hari ini tanggal 5 Juli. Tepat empat tahun lalu, pada hari yang sama, Aksa ngajak saya pacaran. Butuh seminggu buat mempertimbangkan satu dan lain hal; meskipun saya tahu kalau jawabannya akan selalu ‘ya’. Saya mencintai Aksa. Amat sangat mencintai Aksa. Bahkan saat ini, perasaan itu masih sama, dan mengakhiri hubungan selalu jadi hal yang saya takutkan. Aksa, kalau harus jujur, saya selalu mengharapkan kamu. Kalau harus jujur, saya hanya ingin menikah dengan kamu. Lalu, kalau harus kembali jujur, satu-satunya orang yang bisa saya bayangkan sebagai pasangan sampai akhir hayat memang hanya kamu. Tapi, kendati kamu punya pikiran dan harapan yang sama, apakah pernikahan dengan satu dayung akan bekerja?

“Konferensinya gimana?” tanya Aksa setelah kami selesai memesan.

“Lancar. Panelisnya juga keren-keren. Aku dapat tawaran buat ngerjain research bareng sama professor dari Yale.”

“You don’t look excited,” katanya. Empat tahun bersama sepertinya sudah cukup bagi Aksa buat mengenali jenis-jenis ekspresi yang biasanya saya layangkan. “Kamu selalu nyeritain riset kamu dengan menggebu-gebu. Tapi aku nggak lihat itu sekarang. You okay, love?

Love. Tolong… Aksa, jangan sebutan itu. Batin saya menjerit.

“No, I’m not, Aksa.” Itu kali pertama saya mengucapkan namanya dengan begitu jelas dan tanpa embel-embel apapun.

“Kenapa, sayang?”

Dan jangan dengan suara selembut itu pula.

“Kamu tahu setakut aku dengan perpisahan, kan? Bahkan saat kamu bilang kalau aku nggak seharusnya takut sama putus, I just could not help myself but felt terrified.” Kalimat itu terdengar begitu jernih. Lalu kali ini saya memandang Aksa, begitu dalam dan dibarengi seutas senyum yang merefleksikan rasa sakit serta berat hati. “Mungkin aku cuma takut kalau putus sama kamu; ide tentang putus nggak pernah terasa semenyeramkan itu sebelumnya. Tapi saat ini, aku memutuskan buat overcome rasa takut itu. Ayo putus, Aksa. Aku nggak sanggup buat lanjutin hubungan ini lagi.”

Ada jeda panjang karena mulut Aksa seolah dilumuri yang sangat kuat. Dia enggak bergeming—cuma memandang dengan tatapan kosong dan dipenuhi ketidakpercayaan. “Ara sayang, kayaknya kamu butuh istirahat. Ngomongnya mulai ngaco deh.”

“Tadi malam aku tidur delapan jam—tidur paling lama selama dua tahun terakhir. Ini bukan cuma pikiran impulsif, aku udah mempertimbangkan ini sejak lama.”

“Sejak kapan?”

“Sejak kita memulai hubungan.”

Jawaban itu meninggalkan Aksa dalam keterkejutan.

The Thing Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang