Tiga Belas

264 35 20
                                    

"Berangkat jam berapa?" Tanya Boby menghampiri Arsen yang sedang menyantap sarapannya sendirian di ruang makan.

"Nunggu Kak Chika. Katanya udah di jalan."

Sesuai rencana, hari ini Arsen akan ikut Chika berlibur dengan beberapa temannya untuk merayakan kelulusan Chika yang diumumkan dua hari yang lalu. Ya setelah melalui segala jenis genre drama akhirnya gadis itu berhasil menyelesaikan masa putih abu-abunya.

"Nih,"

Arsen mendongak menatap sang Babah yang baru saja meletakkan bungkusan kecil di dekat tangannya dengan heran. Ia sangat tahu benda itu, sebuah alat kontrasepsi untuk pria dewasa. Ia sampai berhenti mengunyah rotinya karena tidak menyangka Boby memberinya benda itu.

"Simpan di dompet." Ujar Boby lalu menarik kursi di samping anak sulungnya, ikut memakan sarapannya yang sudah disediakan oleh sang istri yang sedang mandi.

"Buat apa?"

"Jaga-jaga."

"Bah, demi Tuhan. Aku baru enam belas tahun."

"Babah juga dulu enam belas tahun."

Bapak dan anak itu kemudian saling menatap dengan isi kepala masing-masing. Arsen yang menganggap hal itu berlebihan dan Boby yang menganggap hal itu adalah hal yang wajar, lagian Arsen sudah besar.

"Bah, it's little beat too much isn't it?" Arsen memutus sesi tatap-tatapan itu dengan berujar tidak yakin. "Aku perginya juga rame-rame. Gak berdua doang."

"No."

Arsen semakin heran, ia sampai harus duduk menyerong agar dapat menatap Babahnya yang terlihat sangat santai menyeruput kopinya dengan pelan sebelum kembali mengeluarkan suaranya.

"Babah tau kamu pasti udah belajar tentang seks dan pasti udah tau dan ngerti juga kalau di dalam agama hal itu dilarang. Tapi gak ada yang tahu sampai kapan kamu bisa nahan nafsu kamu. Mau Babah ngomong sampe berbusa pun gak akan ngaruh

Boby memegang bahu kanan Arsen. "Babah gak ngedukung atau ngelarang kamu. Babah cuman mau ngasih tau kalau apapun yang kamu lakuin pasti ada konsekuensi yang harus kamu pertanggung jawabkan. Entah kepada Tuhan ataupun ke sesama manusia."

Arsen sudah pasti tahu, ia bukan bocah kemarin sore yang tidak tahu tentang hal-hal seperti itu. Terlebih lagi orang tuanya adalah orang yang open minded, disaat kebanyakan orang menganggapnya pendidikan seks tabu, orang tuanya justru langsung memberinya pelajaran tentang seks saat mimpi pertamanya terjadi. Ia hanya tidak menyangka bahwa sekarang bahwa masanya telah tiba.

"Lagi ngomongin apa? Kok tegang banget?" Shania bergabung dengan kedua lelaki itu, ia melirik kepada tangan Arsen yang menggenggam kondom yang diberikan Boby. Ia dan Boby memang sudah berdiskusi tentang perlu atau tidaknya mereka memberi Arsen pengaman sejak tahu Arsen akan berlibur dengan kekasihnya. Ia meremas pundak sang anak, "Itu jangan sampai kepake."

"Hah!?" Arsen membeo.

"Bunda belum siap kamu sedewasa itu." perempuan itu menangkup wajah Arsen dengan kedua tangannya lalu menekannya sampai bibir Arsen maju. "Kamu masih bayi Bunda."

***

Arsen merenggangkan ototnya begitu keluar dari mobil, duduk selama tiga jam membuatnya pegal-pegal di sekujur tubuh. Ia menutup mata ketika angin laut menampar wajahnya. Aroma laut menyeruak masuk ke indera penciumannya, aroma yang sangat ia sukai. Tepukan di bahunya membuatnya membuka mata dan menoleh, Gito berdiri di sampingnya.

"Bantuin ngeluarin barang, bro." Ujar lelaki itu.

"Eh, iya kak."

Tanpa menunggu perintah dua kali, ia bergegas menuju ke bagasi mobil untuk membantu Gito mengeluarkan box yang entah berisi apa. Setelah semua barang dari bagasi mobil berpindah ke dalam villa, Arsen mengikuti Gito kembali ke halaman belakang karena lelaki yang lebih tua itu mengajaknya memasang tenda.

MozaikWhere stories live. Discover now