Sepuluh

251 32 6
                                    

"Babah! Tunggu!" Arsen memasang sepatunya dalam keadaan berdiri, tak henti-hentinya menggerutu karena benda putih itu tak kunjung terpasang dengan benar.

"Buruan! Saya mau jemput anak istri saya ini." Balas Boby yang sudah duduk di balik kemudi. "Dalam hitungan ketiga, belum nyampe sini. Babah tinggal."

"Satu!"

"Dua!"

"Tig,--"

Bugh!

Arsen menutup pintu mobil sedikit kencang dengan masih menenteng kedua sepatunya.

"Kok sepatunya belum dipake?"

"Buru-buru."

"Memang dalam mengerjakan segala sesuatu gak boleh buru-buru. Harus relax, dikerjakan dengan pikiran yang tenang." Tangan kiri Boby bergerak naik turun seirama dengan helaan nafasnya. "Jika sudah begitu, maka semuanya akan lancar."

"Iyain." Balas Arsen setelah selesai dengan urusan sepatunya.

"Lagian tumben-tumbenan mau ikut jemput ke bandara. Nanti ada Vian loh di sana." Boby mulai menginjak pedal gas. "Emang gak papa ketemu sama dia?"

"Bodo amat sama om Vian."

"Yang penting ketemu kak Chika mu, ya."

"Iya."

"Alah. Bocah kasmaran." Ledek Boby.

"Kenapa sih? Iri aja. Orang tua."

"Heh!"

***

Arsen tidak bisa menyembunyikan senyumnya begitu melihat Chika, ia melambai kecil kepada perempuan itu begitu melihatnya keluar dari gate kedatangan bersama dengan rombongannya. Akan tetapi senyumannya yang tadinya begitu cerah berubah menjadi kecut ketika yang membalas lambaiannya bukan Chika, melainkan Vian, orang yang selalu ingin ia hindari.

Arsen tidak membenci laki-laki gemulai itu, tidak sama sekali. Karena walau bagaimana pun lelaki itulah yang selalu menjaganya saat masih kecil dulu. Hanya saja dirinya memiliki trauma yang berkaitan dengan lelaki gemulai.

"Samperin gih." Bisik Boby.

"Gak ah. Nanti juga sampai sini."

"Bilang aja gak mau ketemu Vian." Ujar Boby.

"Babah sendiri kenapa gak samperin Bunda? Kasihan tuh, bawaannya banyak banget. Curiga, habis ini baju-baju Babah di lemari bakalan dibuang."

Boby berdesis, lalu meniru ucapan Arsen. "Nanti juga sampai sini.."

Sekarang giliran Arsen yang berdecih, "Gak kreatif."

"Yang penting banyak duit."

"Kalau itu aku kalah."

Boby menarik tangan Arsen lalu menjabatnya. "Senang berdebat dengan Anda."

"Apasih!?"

Lelaki yang lebih tua itu tertawa, ia lalu merangkul pundak sang anak sulung. "Coba liat tiga perempuan paling bersinar diantara mereka semua." Boby menatap rombongan dimana tiga orang yang ia maksud berada. "Dua dari mereka punya Babah."

"Tiga tiganya punya aku." Ujar Arsen angkuh, dagunya bahkan terangkat membuat Boby memincing karena tidak bisa protes.

Keduanya tetap diam di tempat, menikmati pemandangan yang bak slow motion di hadapan mereka sampai rombongan berisi 15 orang itu sampai di tempat mereka berdiri. Boby melepas rangkulannya pada Arsen karena menyambut sang istri dan si anak bungsu dengan pelukan secara bergantian.

MozaikOù les histoires vivent. Découvrez maintenant