SELANJUTNYA BAGAIMANA?

54 5 1
                                    

"Kalau gue suka sama satu bunga, bukan berarti gue harus memetiknya sekarang juga, kan?"

-Zahdan Adyatama Virendra.

"Kenapa nggak jadi mukul gue?" Tanya Zahdan setelah 10 menit saling diam. Dua laki-laki yang bersahabat itu duduk beriringan menghadap lapangan basket yang kosong.

"Kamu sendiri, kenapa tidak jujur kalau menyukai Kala? Kenapa tidak bicara?" ucap Arkhi bertanya balik. Amarah Arkhi memang sudah mereda, tapi tidak dengan ribuan pertanyaan yang masih saja berisik memenuhi kepalanya.

Zahdan menghembuskan nafasnya berat. Laki-laki yang duduk dengan siku berpangku pada lututnya itu berusaha menjadi dewasa kali ini, "Kalau gue suka sama satu bunga, bukan berarti gue harus petik bunga itu sekarang, kan?"

Arkhi diam. Laki-laki yang separuh hidupnya dipenuhi angka dan logika itu mencoba menelaah ucapan Zahdan. "Apa hubungannya dengan petik bunga?" Tanyanya.

Zahdan menoleh, begitu lekat matanya menatap sahabatnya itu, "Gue normal, Ar. Diumur segini, wajar kalau gue suka sama cewek. Tapi seperti yang lo tau, agama kita ngelarang buat kita menjalin hubungan tanpa arah yang jelas, kan?"

"Saya jelas, saya ingin membawa Kala sampai halal." Pungkas Arkhi tanpa menoleh.

Mata Zahdan menyipit seiring garis bibirnya yang melengkung membentuk senyuman, "Kapan?" Tanya Zahdan.

"Untuk sekarang mungkin belum, tapi nanti kalau saya sudah lulus dan siap untuk bertanggungjawab sepenuhnya." Jawab Arkhi penuh keyakinan.

Zahdan menyeringai, "Yakin?"

Arkhi menatap Zahdan dengan sorot penuh rasa tidak percaya. Dengan alasan apa Zahdan meragukan keyakinannya? Yang bahkan Arkhi sendiri tidak memiliki satu alasan pun untuk meragukan itu. "Yakin." ucapnya penuh penekanan.

"Gimana kalau ternyata yang Allah tulis sebagai takdir lo itu ternyata bukan dia? Gimana kalau ternyata perasaan kayak gini datang cuman buat menguji masa muda kita?"

Pertanyaan Zahdan itu seketika membuat Arkhi terdiam. Tidak mungkin ia menjawab menggunakan logikanya, sekalipun ia bisa mematahkan anggapan Zahdan dengan keseriusannya. Tapi Arkhi tidak ingin mendahului takdir.

"Gue nggak maksa lo buat balik jadi Arkhi yang gue kenal dulu. Apapun yang jadi keputusan lo, gue tetep sahabat lo."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Zahdan pun berdiri. Ia berniat untuk segera beranjak dari tempat yang atmosfernya semakin dingin itu. Sungguh, ia takut emosi Arkhi akan memuncak lagi. Bukan soal nyali, tapi persahabatan mereka yang lebih berarti.

"Adan!" Teriak Arkhi seraya berdiri dan memutar badannya ke arah Zahdan pergi. "Kalau waktunya sudah tepat, itu berarti kamu akan memetik bunga itu?"

Zahdan menoleh, "Tergantung, kalau emang bunga itu bukan takdir gue, dia nggak bakal jadi milik gue juga." Usai menjawab pertanyaan itu, Zahdan melanjutkan langkahnya.

"Adan!" Panggil Arkhi lagi.

Kedua pundak Zahdan merosot seiring nafasnya yang berhembus berat, "Apa lagi?"

"Kenapa kamu tadi tidak balik memukul saya?" sambungnya.

Zahdan tersenyum hambar, "Cita-cita gue jadi arsitek, dan arsitek harus bisa rendah hati dan sabar biar bisa memahami manusia, bangunan, dan fenomena disekitarnya. Kalau ngadepin lo aja gue nggak bisa sabar, gimana gue mau berhadapan sama klien di masa depan?"

Arkhi mengangguk setuju, "Terimakasih," katanya.

"Buat?"

"Saya tidak tahu, tapi rasanya saya harus berterimakasih untuk banyak hal."

MEZZANINEOnde as histórias ganham vida. Descobre agora