RUMAH ROBOH

133 21 14
                                    

Hai Ochi disini 👋
Happy reading 😊

********

Sepulang sekolah tadi, anggota inti OSIS sudah berkumpul di basecamp untuk membahas tentang laporan akhir dan diklat anggota baru. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, akhirnya sebagian dari mereka akan melepas jabatannya. Terkecuali beberapa anggota dari kelas 11 yang justru akan naik jabatan menjadi kadiv atau kepala divisi masing-masing sektor.

"Oke rekan-rekan semua, berdasarkan hasil keputusan bersama, bahwasanya kegiatan diklat calon anggota OSIS akan dilaksanakan hari Minggu besok, jadi mohon persiapkan diri dan jangan sampai ada perpeloncoan. Ingat! Tugas kita mendidik bukan membully. Bisa dipahami?" Ucap Zahdan selaku ketua 'pengganti'.

Ya, saat ini Zahdan adalah ketua pengganti. Hal ini karena ketua OSIS lama memiliki beberapa masalah dengan vendor untuk event sebelumnya. Kasus pembiayaan yang diluar nalar dan korupsi besar-besaran yang dilakukan ketua OSIS lama membuatnya terpaksa di drop out dari sekolah. Dan Zahdan akhirnya dipercaya untuk melanjutkan.

"Siap paham!" Jawab seisi ruangan serentak.

"Baik, sampai bertemu di hari pelaksanaan, selamat sore dan selamat beristirahat."

Seluruh anggota OSIS membubarkan diri, hanya tersisa 4 orang saja yang terjadwal berjaga malam ini. Maklum, beberapa ekstrakurikuler juga sedang dalam masa diklat.

"Bro, kita duluan." Pamit Zahdan pada rekan-rekannya seraya merangkul pundak Arkhi dan menarik laki-laki itu keluar.

Arkhi yang terkejut hanya bisa pasrah. Bahkan laki-laki itu hampir terjungkal karena sepatu yang belum terpasang sempurna juga beban berat dalam ranselnya.

"Kenapa harus terburu-buru?" Tanya Arkhi saat Zahdan mulai memperlambat langkahnya.

"Stop, sini dulu." Mereka saat ini berdiri di jembatan kecil dekat ruang OSIS. Maklum, sekolah mereka terpisah oleh sungai yang mengalir tepat ditengah sekolah.

"Ada apa?" Tanya Arkhi lagi.

Tangan Zahdan menunjuk lurus ke arah kelas Kala yang berada di ujung koridor, "1... 2... 3..."

Hitungan yang tepat saat Kala muncul dari sana. Gadis itu baru saja keluar dari kelasnya.

Zahdan tersenyum, "Tepat! Sono gih, samperin!" Titah Zahdan seraya mendorong pelan pundak Arkhi.

"Jangan!" Larang Arkhi.

"Kenapa?"

"Malu."

"Ck, sama gue, deh. Yuk! Mumpung baik nih, gue."

"Sekarang atau nggak sama sekali!" Ancam Zahdan penuh penekanan.

Arkhi diam, kemelut dalam pikirannya mendadak riuh. Ia tau ini salah, ini bukan waktu yang tepat untuk jatuh cinta. Ia harus fokus pada semua mimpi dan cita-citanya. Tapi disisi lain, hatinya terus berdebar saat melihat Kala, sekalipun itu dari kejauhan. Ujian!

"Kala!" Teriak Zahdan tiba-tiba.

Kala yang mendengar itu seketika berhenti. Di persimpangan koridor dekat lapangan tengah, gadis itu menoleh ke arah sumber suara. Kala diam, tidak menjawab juga tidak melangkah sedikitpun. Matanya memicing, memastikan siapa orang yang memanggilnya.

"Saya?" Tanya Kala, menunjuk diri sendiri.

Zahdan hanya memberikan anggukan sebagai jawaban.

Arkhi mendadak gugup, suhu tubuhnya menurun. Setetes darah segar melenggang santai dari kedua hidungnya.

"Ar, hidung lo mimisan lagi!" Pekik Zahdan, terselip kekhawatiran dalam nada bicaranya.

Arkhi sontak menadahkan tangan dibawah hidung, berharap tetesan darah itu tidak mengotori seragamnya. Laki-laki itu lantas mendongak, melihat langkah Kala semakin dekat, Arkhi membuang nafas gusar.

"Kamu temui dia. Maaf, saya tidak bisa. Assalamu'alaikum." Dengan langkah gontai, Arkhi meninggalkan Zahdan sendiri.

"Tapi, Ar? Lo gimana?" Teriak Zahdan merasa khawatir dengan kondisi sahabatnya itu.

Arkhi tidak menjawab, ia masih menunduk menahan mimisannya yang semakin deras. Hanya satu acungan jempol yang bisa ia tunjukkan pada Zahdan sebagai balasan.

"Temennya kenapa, Kak?" Tanya Kala setibanya di depan Zahdan.

Zahdan menggeleng, "Nggak tau, akhir-akhir ini dia sering banget mimisan, Senin kemarin malah dia pingsan pas upacara." Terang Zahdan.

Kala mengangguk paham, "Oh iya, tadi manggil ada perlu apa ya, Kak?"

"Oh nggak, tadi pengen ngobrol aja. Buru-buru pulang?" Tanya Zahdan, memastikan.

"Iya sih, takut juga kalau kesorean. Bapakku galak." Jawab Kala dengan tawa yang hambar.

Kedua remaja itu berjalan beriringan, "Pulang tuh ke rumah, ya?" Tanya Zahdan dengan tatapan nanar.

"Iya."

"Aku juga pulang, tapi bukan ke rumah."

Kala bingung dengan arah pembicaraan Zahdan. Apa yang terjadi dengan laki-laki itu sehingga ia berkata demikian? Padahal kelihatannya ia adalah laki-laki ceria yang memiliki prestasi cukup baik di sekolah, apalagi dia juga ketua organisasi intra sekolah. "Maksudnya, Kak?"

Zahdan tertawa hambar, "Gue ngekos,"

"Rumah Kak Adan jauh?"

"Nggak, deket kok. Nggak sampai dua kilo dari sini." Jawab Zahdan berusaha tenang.

"Terus kenapa ngekos?" Tanya Kala semakin penasaran.

"Ya gimana? Mau ke rumah Ayah, nggak ada ibu. Mau ke rumah ibu, nggak ada ayah. Lagian, punya nenek juga lucu banget. Dirumah punya kasur empuk, beliau malah pilih tidur di tanah. Ya sudah, mending gue ngekost sendiri. Rumah gue udah roboh, Kal. Bahkan tiang-tiangnya sudah bahagia dengan keluarga barunya."

Zahdan mendongak menatap langit, matanya berembun. Tawanya sering kali musnah saat ia ingat dengan kondisi keluarganya. Dan Kala, gadis yang tengah berjalan disampingnya. Ia mampu membuat Zahdan meluapkan kisah yang biasanya ia pendam sendirian. Perlu diakui bahwa Zahdan merasa nyaman berada disamping gadis itu.

********

Arkhi membersihkan sisa kucuran darahnya di hidungnya. Netra teduh itu membayang tentang kondisi tubuhnya yang seringkali tumbang tiba-tiba. Apa mungkin benar keraguan Zahdan tentang dirinya? Tentang Arkhi yang sedang tidak baik-baik saja.

Di depan kaca wastafel dalam UKS, Arkhi menatap matanya yang sayu, tubuhnya juga kurus dan pucat.

"Saya kenapa sebenarnya?" Arkhi menjeda kalimatnya, "I'm fine. Masih ganteng kok. Hanya sedikit pucat dan... kurus."

Akhir-akhir ini, Arkhi sering kali lupa makan. Nafsu makannya menurun drastis. Bahkan seringkai ia niatkan berpuasa sunnah sekalian meskipun ia tidak makan sejak hari kemarin.

"Tidak jadi insecure. Anak Umma kan selalu ganteng." Ucap Arkhi lantas tersenyum bangga.

"Sangat MasyaAllah Tabarokallah."

"Hahaha, astaghfirullah!!"

Laki-laki itu menertawai kepercayaan dirinya yang luar biasa kali ini.

Percayalah, Arkhi hanya menutupi kesakitan yang semakin hari semakin menyiksanya. Laki-laki itu selalu berusaha bersyukur atas apa yang ia terima. Seperti apa yang ia tulis di dinding kamarnya, "AKU MENCINTAI PERMASALAHANKU, KARENA AKU TAHU YANG MEMBERI MASALAH JUGA MENCINTAIKU." (Jalaluddin Rumi)

"Apa saya ke dokter aja, ya? Tapi kenapa? I feel fine. Hanya mimisan biasa saja." Gumam Arkhi.

Laki-laki menatap lekat cermin di depannya, "Kalau saya nggak periksa, saya dzolim ke diri sendiri nggak?" Tanya Arkhi, bermonolog.

"Ah sudahlah, lebih baik saya pulang. Pusing sedikit, tapi nggak apa-apa." Tutur Arkhi menutup monolognya. Laki-laki itu segera berbalik untuk pulang. Sudah hampir maghrib, jangan sampai ia terlambat sampai rumah.

********
See you next part ✨

MEZZANINEKde žijí příběhy. Začni objevovat