"Bang Katu, ayo susul pak Awan." imbuhnya menatap Khatulistiwa yang sedari tadi berusaha menenangkannya. Tanpa kata Khatulistiwa mengangguk kemudian bergerak cepat membereskan alat piknik mereka.

"Jangan takut, ya. Ini bukan sepenuhnya kesalahan kamu. Tapi ini juga kesalahan dari orang tua yang lalai menjaga anaknya." hiburnya begitu mereka masuk ke dalam mobil.

Hujan diam tak menanggapi, pikirannya saat ini memang penuh namun dia masih mendengarkan secara baik apa yang Khatulistiwa ucapkan.

Dalam hati ia meng-iyakan. Tetapi Hujan tau, yang dihadapinya sekarang bukanlah orang lain. Melainkan mantan suaminya yang kadangkala mengusik kehidupannya.

Pasti dari kejadian ini, Awan tidak akan melepaskannya begitu mudah. Entah kenapa Hujan merasa perasaannya tidak enak.

Kini tibalah keduanya di rumah sakit terdekat yang Khatulistiwa mendapatkan yakini tempat Awan membawa anaknya.

Keduanya turun dan baru memasuki lobi, mereka sudah melihat eksistensi Awan yang sedang bertelponan.

"Kamu yang tenang, oke. Jangan mikir macam-macam, aku yakin Pak Awan gak seburuk itu. Dia hanya khawatir melihat anak satu-satunya terluka."

Atas ungkapan Khatulistiwa, Hujan mengangguk. Semoga saja.

"Bang Katu mau ke mana?" tanya Hujan saat Khatulistiwa ingin beranjak. Sejenak pria itu menatapnya lalu meringis.

"Abang sebenarnya mau buang air kecil dari tadi." akunya sedikit malu terlebih melihat Hujan tersenyum geli.

"Ya udah, sana." Hujan mempersilakan Khatulistiwa pergi. Sebelum berlalu, Khatulistiwa sempatkan mengelus rambutnya dan berlalu dengan langkah lebar.

Masih asik mengamati punggung Khatulistiwa, Hujan tiba-tiba dikagetkan oleh tarikan kuat pada lengannya. Belum sempat memberi reaksi, dirinya ditarik begitu saja entah ke mana. Dan saat itulah Hujan tau siapa yang melakukannya.

Dirinya hanya pasrah kala Awan membawanya ke tempat yang menurutnya jauh dari jangkauan orang-orang.

Tubuhnya dihempaskan begitu saja pada dinding yang membuat Hujan meringis kecil. Pupil matanya menciut saat wajah Awan sisa beberapa senti saja. Bahkan Hujan harus menaruh kedua tangannya di dada sebagai spasi untuk jarak keduanya.

"Kamu sengaja kan melakukannya?" pertanyaan yang sarat akan tuduhan itu dilemparkan Awan.

Hujan tentu menggeleng, gila saja bila dia ada niat untuk melakukan hal yang bahkan dalam mimpi pun tidak pernah melintas.

"Ooh, kenapa menyanggahnya? Bukankah kesempatan itu bisa kamu gunakan untuk balas dendam."

"Pak Awan terlalu berpikir jauh. Dibanding menyalahkanku, kemana saja Pak Awan saat anak bermain di tempat ramai? Itu tempat umum, semua orang berhak mendatanginya. Aku niat mendatanginya karena memang ingin hiburan, bukan dengan mencelaki anak yang sayangnya hilang dari pengawasan orang tuanya."

"Kamu menyalahkanku?" hembusan napas Awan begitu Hujan rasakan. Meski posisinya terintimidasi, Hujan akan tetap mempertahankan keberaniannya walau sisa sejengkal kuku.

"Pak Awan hanya salah mengartikan ucapan saya. Tapi, saya tetap harus meminta maaf. Saya akan bertanggung jawab bila hal serius terjadi pada anak Anda." ujarnya membalas manik hitam Awan yang tengah menyorotinya lurus.

Seutas seringai tipis tercipta di bibir Awan, hal yang membuat Hujan merasakan hawa tidak enak di sekitarnya.

"Kamu akan tau akibatnya bila melanggar janji, Rain." bisiknya dengan sedikit menekan nama Hujan di akhir kalimat.

Karena tidak tahan, Hujan mendorong dada Awan agar menjauh. Berhasil memberi jarak, Hujan melirik ke arah lobi. Terlihat eksistensi Khatulistiwa seperti sedang mencarinya.

Tanpa kata Hujan meninggalkan Awan yang mana tidak pernah melepaskan tatapannya pada punggung wanita itu.

Kedua tangannya tenggelam dalam saku celana. Sebelum getaran ponselnya mengambil fokusnya.

"Hm.."

"Putra Anda hanya lecet. Dia bisa pulang hari ini juga."

Suara sahabatnya yang kebetulan berprofesi sebagai dokter terdengar. Awan menyandarkan tubuhnya pada dinding lalu melirik ke arah lobi. Menyaksikan dua orang yang nampak berbincang.

"Jangan. Biar Glen menginap di rumah sakit. Jika perlu, buat diagnosa yang merujuk lukanya yang serius"

"Hah?? Gila lo! Anak sehat malah didoain sakit parah." gerutuan sahabatnya yang mana tidak menggunakan bahasa formal di seberang sana berhasil membuat Awan terkekeh.

"Lo tidak tau saja, seberapa berusahanya gue untuk bisa di posisi ini. Jadi, gue harap kerjasamanya." sahut Awan kalem lalu mematikan panggilannya sepihak.

Menatap lamat ponselnya, Awan menghembuskan napas panjang.

"Maafkan Papa, Glen."


💍💍💍

Yang abis baper lalu di hempas oleh Awan.

Gimana untuk part ini?

Emosinya udah berapa persen?

Hehehe, gak boleh emosi ya.. Puasa udh dekat soalnya.

Next cepat?

Beri dukungan serta share cerita ini ke teman kalian yg sama2 memiliki hobi membaca.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Sayang ReLuvi banyak2😘😘

(,) sebelum (.)Where stories live. Discover now