Bab 1: Rara

6 0 0
                                    

Rara masih tak berani mengangkat kepalanya. Ayah dan Ibu sedang bersidekap sambil matanya mengilat marah. Kertas ujian yang diletakkan di meja makan, merusak selera makan mereka. Si kembar, Riri dan Ruri sudah berangkat sekolah terlebih dahulu.

"Percuma dong kita ngeluarin biaya mahal-mahal untuk ngirim kamu les. Kalau cuma dapat nilai segini, gimana kamu bisa masuk jurusan Akuntansi dan dapat nilai bagus kalau Matematikamu jeblok?" Ratna, ibu Rara yang masih terlihat anggun di usia menjelang empat puluhnya masih meremas ujung kertas ujian milik Rara.

"Masih ada teman Rara yang dapat di bawah tujuh, Bu," kata Rara masih menunduk menatap piringnya yang kosong.

Sebelum menyerahkan kertas ujian, Rara sengaja makan pagi lebih cepat. Ia tahu kalau ayah dan ibunya pasti akan marah-marah. Adik kembarnya yang mencium gelagat kurang mengenakkan juga segera kabur ke luar rumah. Wajah kalem Ratna akan berubah mengerikan jika sedang mulai kesal hatinya.

"Jangan jadikan teman-temanmu yang bodoh itu sebagai alasan. Kenapa kamu nggak mau meniru yang nilainya delapan atau sembilan?" Ratna menaikkan intonasi suaranya.

"Jangan membantah jika orang tua sedang berbicara, Rara!" sambung Rahman, ayahnya.

Rara menghitung sudah terlontar dua kata 'jangan' dari kedua orang tuanya. Gadis itu memang menundukkan wajah, tapi bibir mungilnya menahan senyum. Geli. Dimarahi begini sudah menjadi rutinitasnya.

"Kamu harus belajar lagi, supaya nilai Matematikamu dan nilai pelajaran lainnya bisa lebih baik. Usahakan mata pelajaran lainnya bisa kamu kuasai dengan baik. Kamu adalah anak yang masuk kelas Sosial di SMU, jadi kamu harus buktikan jika nilaimu nanti bisa mengantarkanmu ke kampus terbaik. Kampus yang punya jurusan Akuntansi paling bagus!" Ratna mulai pidato soal pendidikan. Biasanya akan disambung dengan nama-nama kampus mana saja baik yang negeri atau swasta mana yang nilai akreditasinya baik. Jurusan akuntansi mana yang pas untuk Rara.

Nilai, prestise dan beasiswa, itulah yang selalu ditekankan oleh kedua orang tuanya yang selalu sibuk dengan pekerjaan itu. Ratna, ibu Rara, menjadi seorang ibu rumah tangga full time yang juga membuka jasa menjahit. Kepiawaian menjahit kain apa saja menjadi sebuah pakaian yang pas untuk pemilik, membuat Ratna tak pernah sepi pelanggan. Sementara Rahman adalah seorang pegawai tata usaha di SMU Pertiwi, sebuah sekolah menengah atas di Surabaya yang tak terlalu populer. Dua orang tua dengan pekerjaan sederhana dan juga empat anak yang butuh banyak biaya, tak membuat Ratna dan Rahman kehilangan impian.

Mereka menerima kenyataan jika hanya berijazah SMU dan menjadi pekerja yang tak bergelimang harta, tetapi anak-anaknya wajib memperoleh prestasi tertinggi di sekolah mereka. Dan hanya Rara yang tak seberuntung saudara-saudaranya. Ia saja yang tak pandai pelajaran eksakta. Masuk jurusan Sosial pun juga setengah hati. Rara benci dengan pelajaran Geografi, Akuntansi dan juga Ekonomi. Nilai sejarahnya lumayan bagus itu juga karena dia hobi membaca. Namun, jangan tanyakan soal bahasa asing. Rara paling jago menyerap bahasa asing di kelasnya. Sayangnya, di SMU Antariksa, tidak ada kelas bahasa.

Sepanjang malam, Rara hanya sibuk memelototi kertas ujian yang tidak memuaskan ibunya. Ia hampir pingsan demi mendapat nilai 7. Usaha yang diperoleh tanpa menyontek itu sebenarnya sebuah prestasi luar biasa bagi Rara.

"Ini semua demi kamu, Ra. Kalau kamu sukses, kamu juga nanti yang merasakan," dalih ibunya yang selalu memeriksa catatan belajarnya.

Sampai pagi pun, Ratna dan Rahman mendiamkan Rara. Ia dianggap tidak ada. Rara berangkat ke sekolah dengan hati gundah serta isi kepala yang penuh lamunan. Sesekali kakinya menyandung kerikil di gang menuju jalan raya. Rara menutup hidung saat melewati kawasan TPA desa. Halte tempat menunggu angkot tepat di sebelah TPA itu.

Lamunan Rara terhenti ketika angkot yang ditunggunya sudah datang. Tiap pagi, gadis berkulit kuning langsat itu akan berjalan dari gang rumahnya menuju jalan raya untuk menunggu angkutan umum. Rara kadang mengeluh karena berjalan sepuluh menit tiap hari cukup membuat tubuhnya berkeringat dan juga bedaknya luntur walau belum mencapai sekolah.

"Cantiknya, kaya cewek Jepang ya." Seorang ibu-ibu gemuk berbisik pada ibu berjilbab yang duduk di seberang Rara.

Rara pura-pura tak mendengar. Keberuntungan satu-satunya yang berpihak padanya adalah mendapat gen terbaik soal fisik dari dua orang tuanya. Ayahnya berkulit hitam, tapi wajahnya manis. Sementara itu, ibunya berwajah biasa saja, tetapi tubuhnya langsing dan kulitnya cerah. Rara kebagian memperoleh organ-organ indrawi Ratna dan Rahman versi terbaik. Dia jadi tidak terlalu mirip saudara-saudaranya.

Ponsel monoponik Rara bergetar. Gadis itu tidak langsung mengambil dari saku seragamnya. Rara kesal. Ibu-ibu gemuk yang pakaiannya berbau keringat itu saja mempunyai ponsel android versi terbaru, sedangkan dirinya hanya diwarisi ponsel lawas bekas milik ayahnya.

"Fokuslah belajar, nanti kalau mendapat prestasi baru kamu boleh minta yang aneh-aneh."

Aneh-aneh? Dari mananya? Keluh Rere dalam hati.

Rere mendapat ponsel 4G dengan kamera depan keren saat lolos SNMPTN di salah satu universitas negeri dan jurusan bergengsi. Kedokteran gigi memang bukan jurusan ecek-ecek. Si kembar Riri dan Rury malah mendapat ponsel dengan internet dan kamera 2MP.

Hanya Rara yang tak punya fasilitas bluetooth di ponselnya. Dan itu sukses membuat Rara minder, sampai ia jarang mengeluarkan ponsel di tengah teman-temannya. Ponselnya bergetar lagi. Ada pesan masuk. Rara membuka pesannya, ternyata berasal dari Boy.

"Dasar posesif," kata Rara dalam hati. Lagi-lagi Boy mempertanyakan kenapa Rara lebih memilih untuk kerja kelompok bersama teman-temannya. Boy tak hanya cemburu pada Nata dan juga Andra, bahkan Netty yang notabene perempuan pun tak lepas dari sasaran kecemburuan. Nata, Andra, dan Netty adalah teman satu geng Rara.

Rara membaca pesan-pesan dari Boy, pacarnya saat ini, dengan raut muka tak tertarik. Ia segera memasukkan ponsel jadul itu ke dalam saku seragam. Tangan Rara membuka ransel. Ia mengeluarkan buku jurnal serta spidol hitam. Buku jurnal itu berisi gambar dan catatan random, tetapi paling banyak gambar siku-siku.

Sudutnya sudah terlalu tegak. Nanti lama-lama bakal jadi menyempit. Nggak asyik. Udah siku-siku nih. Waktunya untuk putus, deh, batin Rara dalam pikirannya dengan tenang. Ia sedang menyusun skenario agar hubungan cintanya berakhir.

Bagi Rara, hubungan cinta dimulai dari garis lurus. Dua orang bertemu lalu saling tertarik. Ia berharap, kekasihnya bisa menjadi lingkaran yang melindunginya tanpa ada ruang untuk memojokkan. Saat orang yang ia suka mulai terus membuatnya tersudut dengan banyak tuntutan, garis hubungan terus menyempit. Satu sikap menyebalkan, maka satu ujung garis akan naik mulai membentuk sudut. Rara hanya ingin dicintai tanpa dituntut. Rupanya itu tidak mudah.

Right Angle LoveWhere stories live. Discover now