Dia mencintaiku.

Kami tidak akan berpisah.

Aku yakin itu.

James menggendong tubuh mungil ku ke loteng dan masuk ke dalam kamar. Aku tahu kami akan bercinta. James dengan entengnya merebahkan tubuhku ke ranjang dan naik di atasku.

"Kamu tidak sedang haid kan?" James bertanya padaku sambil menciumi leherku.

Pertanyaan James membuat segala gairah ku menghilang. Aku berpikir sejenak untuk meyakinkan dan mengapa baru sekarang kusadari kalau aku tidak haid dua bulan ini. Aku mendorong bahu James ke atas.

"James, aku telat." Bisa kurasakan wajah ku menjadi dingin dan pucat. "Dua bulan."

"Maksud mu, hamil?" Raut wajah James berubah bingung.

"Entahlah." Jawabku

James terduduk di pinggir tempat tidur, wajahnya mulai tampak cemas dan sedikit panik.
"Aku tidak yakin. Mungkinkah aku hanya stress karena mau ujian dan mempengaruhi siklus haid ku." Kataku menghiburnya.
Sebenarnya aku kecewa melihat reaksinya. Jika aku benar hamil, apakah James tidak menginginkannya?

"Tidak, aku pergi beli tes kehamilan dan kita harus pastikan." Jawabnya kemudian langsung bangkit dan meninggalkan kamar.

***

Hari terakhir Ujian.
Aku sedang berdiri termenung di kamar mandi sambil memegang tes kehamilan yang di beli James tadi malam. Aku belum mencobanya, aku bahkan tidak punya keberanian untuk mencobanya. Seharusnya aku bahagia jika aku benar-benar hamil, impian hidup bersama James dan anak-anak kami terwujud. Tapi melihat reaksi James yang tidak bisa dibilang bahagia membuat ku bingung dan sakit.

Suara ketukan pintu menyadarkan lamunan ku.
"Kat, bagaimana? Sudah tes?" Seru James di balik pintu.

"Belum." Jawabku singkat.

Dengan perasaan takut aku mencelupkan ujung tes kehamilan ke dalam urine yang sudah kutampung di gelas plastik. Nafasku terhenti saat dua buah garis merah menjadi semakin jelas.

"Aku hamil." Bisikku.
Pikiranku campur aduk, perasaanku tidak enak dan perutku kembali bergejolak. Dua detik kemudian aku memuntahkan asam lambung dan air putih yang baru ku minum ke dalam toilet. Air mataku jatuh begitu saja, entah kenapa aku merasa begitu sedih dan dada ku sakit. Rasanya lama sekali aku menangis di dalam kamar mandi sampai James kembali memanggilku. Aku tidak menjawab panggilannya dan aku menyalakan shower kemudian membersihkan diri.

Beberapa menit berlalu setelah selesai membersihkan diri dan mengenakan seragam sekolah, aku memberanikan diri membuka pintu dan menyerahkan hasil tes kehamilan pada James yang sudah sedari tadi menungguku.

"James, aku hamil." Kataku.

"Berangkatlah ke sekolah, kamu hampir terlambat." Elaknya sambil meraih tanganku dan aku menahannya.

"Apakah kamu tidak menginginkan bayi kita? Kamu mau berpisah denganku?" Tangisan ku meledak.

"Kita akan membicarakan hal ini setelah kamu selesai ujian." Elaknya lagi.

"Kamu bilang kamu mencintaiku. Seharusnya kamu senang kalau aku hamil. Tapi lihatlah wajahmu sekarang! Hatiku sakit sekali."

"Kat, ku mohon. Kamu hampir terlambat."

Akhirnya aku berangkat ke sekolah dengan perasaan kacau balau. Ujian yang terakhir ini membuatku tidak bisa konsentrasi. Aku lebih banyak memikirkan janin yang ada di dalam rahimku dan ekspresi James dari pada tulisan-tulisan yang ada di lembaran soal. Aku berperang dengan diriku sendiri, konsentrasi dengan soal-soal yang harus ku jawab. Dua jam yang sulit, susah payah kulalui. Akhirnya ujian akhir telah selesai, teman-teman semua merayakannya dengan mencoret-coret seragamnya dengan membuat tanda tangan di seragam teman-temannya yang lain. Sedang aku tidak punya mood untuk itu. Aku memilih pulang kerumah kontrakan untuk menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku berusaha untuk percaya pada James kalau dia menginginkan kehamilan ku.

Jawaban dari KesetiaanWhere stories live. Discover now