"Ayahku." Katanya singkat. Mendengar jawabannya tanganku otomatis terhenti.

"Ada apa?" Tanyaku pelan, berusaha menyembunyikan kekhawatiranku.

"Seperti biasa." Helanya lalu memelukku dari belakang.

Dia membenamkan wajahnya di punggungku dan menghela nafas.
Kami berdua membisu, aku menyelesaikan pekerjaan ku mencuci sisa makan siang tadi. Saat aku mematikan keran air, James masih memelukku dari belakang. Seragam putih ku terkena hembusan nafasnya yang penuh kekhawatiran.

"Aku tidak akan memaksa jika kamu tidak ingin mengatakannya." Kataku tiba-tiba memecahkan keheningan.

"Maafkan aku. Tapi ingatlah, aku mencintaimu lebih dari apapun." Katanya sambil melonggarkan pelukannya dan membalikkan badanku.

"Itu sudah cukup." Aku tersenyum padanya dan James kembali memelukku.

***
Seminggu menjelang ujian akhir. Malam ini sehabis mengerjakan soal-soal latihan, mataku tampak berkunang-kunang. Mungkin karena terlalu fokus dan capek. Akhirnya aku mengistirahatkan diriku dengan berbaring di sofa dan menonton drama kesukaan ku sendirian. James bersama group bandnya sedang tampil di cafe dan biasanya akan pulang larut malam.
Jam berdentang sembilan kali dan aku sudah mulai mengantuk, aku masih membaringkan tubuhku di sofa sambil memaksakan mataku untuk menonton drama kesukaan ku sampai habis. Beberapa menit berlalu, terdengar suara ketukan dari pintu depan. Aku bangkit dengan malas sambil menebak-nebak siapa gerangan yang ada di balik pintu. Ketukan pintu masih terdengar, aku mengintip dari lubang dan tampak seorang pria paru baya dengan setelan jasnya. Aku membuka pintu dengan hati-hati dan melongo kan kepalaku keluar.

"Siapa? Ada apa ya?" Tanyaku.

"Kamu Katrine?" Tanyanya sambil tersenyum ramah. Mengapa pria ini tahu namaku dan tahu aku tinggal di sini? Bahkan orang tua ku tidak tahu tempat tinggalku.

"Benar. Anda siapa ya?" Tanyaku lagi.

"Saya, ayahnya James." Jawabnya membuatku terpaku. Bisa kurasa kan kakiku menjadi dingin dan wajahku mendadak pucat.

Setelah beberapa detik terpaku barulah aku sadar dan mempersilakan pria yang mengaku sebagai ayah James masuk ke ruang tamu.

"Om, mau minum apa?" Tawar ku sedikit kaku.

"Tidak usah, saya hanya sebentar." Katanya. Aku melangkahkan kakiku duduk di seberang nya.

"Aku sering mendengar tentang mu dari James." Katanya setelah berdehem pelan "Kamu adalah wanita yang penting baginya dan aku yakin kamu juga begitu." Lanjutnya.
Aku mendengar setiap ucapannya tanpa berani bergerak, seolah-olah aku akan meledak seketika jika aku melakukan tindakan yang salah.

"Rasanya tidak tega sekali jika ingin membuat kalian berpisah. Tahukah kamu, Saya sudah berpikir beratus-ratus kali untuk datang menemui mu. Sampai akhirnya jawaban dokter lah yang memaksaku untuk kemari menjumpaimu, bertatap muka dengan mu untuk memohon padamu agar berpisah dengan anakku satu-satunya, James." seketika aku seperti terkena beribu-ribu volt listrik yang membuat mataku kabur oleh air mata yg hampir keluar. Aku tahu hari ini akan datang, tapi tetap saja aku tidak bisa menerimanya.

"Mengapa harus memaksa kami berpisah?" Protesku di balik tangisan ku.

"Dokter memvonis ku terkena kanker usus besar. Aku sadar kalau hidupku mungkin sudah tidak lama lagi. Sebelum hidup ku berakhir, aku ingin James meneruskan usaha keluarga kami." Aku nya.

"Jika ingin meneruskan usaha, mengapa kami harus berpisah?" Tanyaku, tidak mengerti. Jelas sekali aku tidak tertarik dengan penyakit kanker yang di idapny.

"Aku ingin James kuliah di luar negeri sambil bekerja di perusahaan kami yang disana. Tapi James tidak bisa meninggalkan negara ini karena kamu." Jelas ayahnya dengan suara parau

"Bukan sepenuhnya karena aku. James punya mimpinya bersama teman-teman group bandnya." Elak ku

"Itu hanya alasan James saja. Apakah kamu pernah melihat konsernya?" Tanya ayah James.

Benar, aku belum pernah sekalipun melihat penampilan James di atas panggung. Apakah itu berarti James membohongi ku kalau setiap malam dia pergi tampil di cafe-cafe? Pikiranku kacau balau, aku tidak tahu lagi harus bagaimana.

"Kumohon, ini demi masa depan James. Kamu masih muda dan cantik, pasti banyak pria yang lebih baik yang akan mencintaimu bahkan melebihi dari James. "

Itu adalah kata-kata terakhirnya sebelum dia pergi meninggalkan aku yang menangis sendirian.

Inikah yang di khawatirkan James selama ini? Dia pasti sudah tahu kalau Ayahnya mengidap kanker usus besar.

Aku termenung sendiri di ruang tamu. Rasanya tidak sanggup untuk beranjak dari sana. Sampai akhirnya James pulang dan mendapati aku sedang duduk di sofa dengan wajah kusut dan mata merah.

"Ada apa? Kamu kenapa?" Tanya James cepat-cepat menghampiriku.

Aku hanya menatapnya tanpa mengatakan sesuatu. Air mataku mengalir lagi.

"Katakan lah sesuatu. Apa yang terjadi Padamu." James tampak cemas dan memelukku erat.

James mencintaiku, aku tau itu. Apakah benar kami harus berpisah? Apakah James tega meninggalkan ku sedangkan jelas sekali dia sangat sangat mencintaiku. Tega sekali jika harus memisahkan kami.

"Jangan tinggalkan aku." Kataku terbata-bata.

"Kat, katakan padaku. Kamu kenapa?" Mohonnya.

"Ayahmu datang. Aku sudah tahu segalanya." Tangis ku

James kembali memelukku, lebih erat dari sebelumnya. Badannya bergetar.

"Maafkan aku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Keluargaku memerlukanku saat ini. Perusahaan ayahku sedang di ambang kehancuran karena pihak direksi sudah tahu kondisi kesehatan ayahku." Jelas James dengan suara parau.

"Bagaimana dengan ku?" Tanyaku. Rasa ketidakadilan merasuk ke dalam jantungku.

"Kembalilah ke orang tua mu. Mereka sebenarnya sayang Padamu. Aku sudah menemui mereka dan memastikan bahwa kamu akan baik-baik saja bersamaku sampai ujian akhir selesai. Makanya mereka tidak mencari mu di sekolah." James mengatakannya sambil mengelus rambutku.

"Itu artinya kamu tidak mau aku lagi?" Tanyaku sambil melepaskan pelukannya dan menatap matanya.
James menundukkan kepalanya dan tidak menjawab pertanyaanku.

"Masalah ini akan kita bicarakan lagi setelah ujian akhir. Jangan berpikir hal lain selain ujian mu." Elaknya

Jawaban dari KesetiaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang