6. Tidak ada yang tulus

23 3 2
                                    

Jangan ngotorin tangan suci lo,
Untuk pendosa kayak dia.

.....

Jam 6 lewat 45 menit, yang berarti ada 45 menit lagi untuk bel masuk sekolah berbunyi. Dan seharusnya Filma sudah berada di perjalanan untuk ke sekolah, namun entah mengapa ketika ia akan berangkat dengan Gio tadi. Tiba-tiba saja kakak kedua Alma—gilang, memanggil dirinya. Dan menyuruhnya untuk pergi menemui Eyang yang berada ruang kerja milik pak Bayu; ayahnya Alma.

Sedangkan Gio di suruh untuk berangkat duluan, dan tak seperti kemarin-kemarin. Biasanya Gio ataupun yang lainnya—yang selalu rebutan untuk mengantarkan Filma ke sekolah—justru langsung menurut, dan pergi begitu saja. Sebelum menatap Filma dengan tatapan yang tak bisa di jelaskan, kemudian tersenyum kecil.

Cukup aneh.

Namun, lebih aneh dengan apa yang terjadi saat ini.

Berada di dalam ruangan yang berisikan 3 orang—yang masih Filma anggap orang asing; oh, jangan lupakan juga sosok Alma yang dapat Filma lihat tengah mengayunkan kedua kakinya di atas lemari. Yang letaknya berada tepat di belakang kedua orang tuanya berdiri. Sedangkan Filma duduk berhadapan dengan seorang wanita tua; terlihat dengan sedikit keriputan yang berada di wajahnya. Namun tak melunturkan kecantikannya, membuat Filma langsung teringat dengan neneknya. Nenek kandung nya—yang Filma sendiri tidak tahu tentang kabarnya semenjak ia terjebak di tubuhnya Alma sampai saat ini.

"Kita langsung ke poin penting nya aja." Suara wanita tua itu membuyarkan lamunan Filma.

Dengan raut wajah datar seperti biasa ia membalas tatapan wanita tua di hadapan nya—yang saat ini tengah meminum secangkir teh yang di sediakan di atas meja; dengan gaya anggun nya ia meminum teh tersebut sembari menatap ke arah Filma.

Kemudian Filma beralih sebentar untuk menatap kedua orang tua Alma yang hanya berdiri di samping wanita tua tersebut. Seperti kacung—pikir Filma.

"Semalam adalah acara pertunangan kakak pertama kamu." Wanita tua itu kembali membuka suara. Filma hanya diam memperhatikan.

"Dan saya rasa, kamu sudah tahu. Kalau calon kakak pertama kamu itu kakaknya Darfin." Filma sedikit mengernyitkan dahinya kala mendengar nama itu; nama yang sempat di dengarnya ketika Alma bercerita tentang semalam.

"Saya tidak mau kalau kamu terus mendekati Darfin, karena kakak mu sudah mewakilinya untuk berhubungan dengan keluarga mereka."

Ah, Filma tahu arah topik pembicaraan ini.

"Dan sebagai gantinya, saya akan mengenalkan kamu dengan kolega bisnis lain. Yang tentunya kamu tidak bisa menolak atau pun membantah hal ini." Filma hanya mengangkat sebelah alisnya kala mendengar kalimat tersebut. Namun ia hanya diam, tak memiliki niatan untuk membalas ucapan tersebut.

Merasakan lawan bicaranya hanya diam, wanita tua itu langsung meletakkan cangkir teh nya ke atas meja. Meletakan kedua tangan nya ke atas pahanya—gaya yang cukup anggun dan memiliki tata krama yang sopan.

Tersenyum kecil sembari menatap ke arah Filma, "saya sempat mendengar kamu mengalami kecelakaan dua minggu lalu. Dan tentu saya juga mengetahui dari Bayu jika sikap kamu benar-benar berubah sejak kecelakaan itu." Wanita tua itu menghela napas pelan, cukup lembut. "Dan menurut saya, itu bagus. Kamu jadi terlihat lebih teratur dan saya rasa lebih mudah untuk di kendalikan."

Kening Filma langsung mengernyit heran, mudah untuk di kendalikan? Serius? Ingin rasanya Filma tertawa kencang. Bahkan nenek kandung nya saja tak pernah bisa menyuruhnya untuk melakukan satu hal pun.

Dan ini? Wanita tua asing yang berada di hadapan nya saat ini, dengan wajah sok berkuasanya. Dan dengan pede nya mengatakan hal tersebut.

"Kalaupun saya bisa melawan, anda bisa berbuat apa pada saya?" Kalimat yang cukup panjang, kalimat kedua yang di ucapkan Filma semenjak ia terjebak di dalam tubuh Alma.

Bahkan Filma dapat melihat dengan jelas raut wajah yang cukup terkejut dari kedua orang tua Alma—yang sedari awal hanya berdiri diam. Persis seperti kacung.

"Oh, punya suara ternyata?" Wanita tua itu tersenyum remeh. "Saya kira kamu benar-benar amnesia. Yah, Bayu bilang jika dokter waktu itu benar-benar memastikan jika kamu tidak mengalami hal itu. Tapi saya merasa kamu benar-benar mengalaminya." Terdiam sejenak, lalu melanjutkan.

"Karena kamu benar-benar berbeda dengan Alma yang saya kenal."

√√√√√

Menghela napas lelah, mencoba untuk mengabaikan tatapan Alma yang saat ini tengah melayang di samping nya. Dengan senyuman lebarnya—yang Filma anggap itu adalah sebuah senyuman bodoh.

Berada di perpustakaan memang bisa membuatnya tenang karena jarang ada manusia di sini. Namun ternyata setan itu pengecualian.

"Aku benar-benar gak nyangka kalau kamu bisa bilang begitu sama Eyang." Nada bicara Alma terdengar berseru riang.

Menghela napas sejenak, mengalihkan pandangannya; yang semulanya menatap ke arah buku—kini menatap ke arah Alma. "Memangnya kenapa?"

"Ya karena kalau itu aku, aku gak bakal berani bilang begitu." Suara Alma agak mengecil kala mengucapakan kalimat terakhir.

"Kenapa?"

"Karena...." Dari raut wajah Alma, terlihat jelas jika ia ragu untuk mengatakan kalimat selanjutnya. "Kamu mau tahu?"

"Gak juga."

Yang semulanya Alma tersenyum lebar, seketika langsung cemberut. "Ih, aku kira kamu udah bersedia buat bantu aku karena nanya hal tadi."

"Gue cuma nanya, kalau lo mau jawab syukur. Gak di jawab ya udah. Gak terlalu perduli juga." Filma kembali melanjutkan bacaan nya. Buku sejarah—yang sebenarnya itu adalah buku random yang ia ambil tadi. Karena ia sendiri bingung ingin membaca buku seperti apa. Sebelumnya dia memang bukan tipe orang yang kutu buku soalnya.

Datang ke perpustakaan ini juga karena terpaksa, lantaran ia tidak mau menjadi bahan bullying lagi kalau berada di luar kelas saat jam istirahat berlangsung. Berada di dalam tubuh Alma selama dua minggu ini membuatnya cukup hapal dengan keadaan di sekitarnya.

Dan selama ini ia sempat di bully 3 kali. Minus satu karena ia membalas perbuatan orang yang mem-bully nya—dengan ikut menyiramkan air botol yang ia ambil dari salah satu meja yang berada di dekatnya. Dan hal itu tentu menyulut emosi dari kumpulan orang yang pembully dirinya; termasuk orang yang ia siram. Dan saat orang tersebut hendak menampar nya, Gio datang.

Menahan tangan orang itu kemudian berkata, "jangan sampai tangan lo nyentuh dia." Menyadari akan ucapan nya, Gio terdiam sejenak. Kemudian melanjutkan, sembari menatap remeh ke arah nya. "Lo pasti gak mau kan? Ngotorin tangan suci lo untuk nyentuh pendosa kayak dia?"

Kalimat yang tentunya mampu menyakiti hati, namun Filma bersikap tak perduli. Karena, yang Gio bicarakan bukan tentang nya. Melainkan Alma.

Dan saat itu, dapat Filma lihat dari ekor matanya. Alma yang melayang di samping nya hanya bisa terdiam dengan kepala tertunduk.

Dari kejadian itu, Filma semakin yakin. Jika semua keluarga tidak benar-benar ada yang tulus, mereka semua selalu bermuka dua. Sama seperti nenek nya.

Tbc

NOTES : CUMA MAU INGETIN, TANDA MIRING DI KALIMAT FILMA ITU BERARTI FILMA LAGI NGOMONG DALAM HATI YA, DIA KAN EMANG MANUSIA IRIT NGOMONG. JADI KALAU BISA NGOMONG DALAM HATI SAMA ALMA, KENAPA ENGGA? YE KAN

Transmigrasi A-FilmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang