35| Two Characters

Start from the beginning
                                    

Aurora semakin mendekat pada Vanilla, "Ya. Bahkan kalau lo mau berusaha lagi, hidup lo akan sempurna"

"Bullshit!" Decih Vanilla.

Aurora terkekeh hampa, maniknya berubah tajam menatap Vanilla. "Nyatanya lo berhasil kan? Dulu, hidup gue yang lo bilang sempurna hancur tanpa sisa. Lo menang, lo bisa milikin semuanya-"

Vanilla diam. Aurora menatapnya lekat, "-apa lo puas? Apa semua kesempurnaan yang lo pikir bisa lo rebut akan berakhir indah buat lo, Vanilla? Lo bangga dengan semua hasil dari apa yang lo rebut dari gue?"

"Lo nggak tau apa-apa, Ra" Vanilla tertawa keras.

"Gue emang nggak tau apapun. Bahkan sekarang, gue nggak akan berniat tau apapun tentang luka lo di masa lalu, sekarang, maupun nanti" balas Aurora berusaha menekan perasaannya kuat-kuat.

Vanilla tersenyum, "Kenapa lo selalu beruntung, Ra?" Tanyanya lirih.

"Setiap orang selalu mikir kehidupan orang lain seindah yang mereka lihat, tapi lo lupa kalau setiap orang punya masalah. Semua akan indah kalau lo selalu mensyukuri apapun yang lo punya, bahkan meskipun lo nggak punya apapun untuk lo syukuri. Setidaknya syukuri bahwa lo masih hidup"

Vanilla berdecih, "Simpen omongan lo buat diri lo sendiri, gue nggak butuh-"

"- gue akan buat lo hancur lagi, Aurora. Bahkan lebih dari sebelumnya" tekan Vanilla serius.

"Jangan lewati batasan lo, Vanilla. Karena kali ini, gue bukan Aurora yang cuma diem ketika semua hal yang gue punya hancur"

"Lo adalah pengecut, Aurora. Dan akan selalu menjadi pengecut yang nggak berguna" desis Vanilla

Aurora mundur, ia menatap Vanilla lekat sebelum akhirnya berbalik meninggalkan Vanilla yang masih menatapnya lekat. "Lakuin apa yang lo mau, tapi jangan salahin gue ketika kematian bakal dateng ke lo dengan segera kalau sampai lo berani usik gue, Vanilla"

Aurora menatap Vanilla tajam, "-gue harap lo nggak lupa marga yang gue sanding sekarang. Oiya, Maximillan juga siap jadi garis terdepan buat gue"

Teriakan histeris dari Vanilla adalah akhir yang Aurora dengar sebelum pintu hotel itu tertutup, Aurora menghela napas panjang. Vanilla ternyata sama seperti dirinya, entah rencana takdir akan menjadi seperti apa nantinya. Tapi, Aurora mengerti satu hal. Baik ia maupun Vanilla, tidak akan mengulangi hal yang sama.

■■■■

Gerimis mulai membasahi malam, rintik itu perlahan turun seiring dengan senyuman Aurora yang semakin merekah. Gerimis malam ini seolah melunturkan laranya, pedih dan nyeri menyerah ulu hatinya. Gundah, gelisah dan resah berhasil mengikatnya dalam relungan duka yang entah kapan berakhir.

Aurora mendatangi taman kota tak jauh dari lokasi pertemuanya dengan Vanilla, sejenak mencari rasa tenang yang entah kapan hadir. Benang takdir seolah semakin rumit setelah ia mengetahui bahwa Vanilla sama sepertinya, dua manusia yang terikat pada garis takdir yang begitu lucu bagi siapapun yang mengalaminya.

Aurora juga mengerti, bahwa siapapun tak ingin akhir yang mengenaskan bagi dirinya sendiri. Mereka mamiliki logika, pun hati yang nantinya akan menjadi ruang tumpukan rasa.

Saat gerimis itu semakin deras, sebuah dekapan hangat menarik Aurora dari lamunannya. Deru motor terdengar menyusul begitu keras, dapat Aurora rasakan bahwa lengan kokoh yang memeluknya berbalut jaket kulit yang hangat.

"Jangan buat aku khawatir, Ra"

Saat Aurora mendongak, ia menemukan sosok Allaric yang memeluknya erat sesekali mengecup pucuk kepalanya hangat. Wajah laki-laki itu tidak lagi bersih, banyak luka memar yang menghiasi sudut bibir bahkan pelipisnya.

Tangan Aurora terulur mengusap pelan luka di sudut bibir Allaric, namun tak ada ringisan yang terdengar dari Allaric. Seolah luka itu tak berarti apapun bagi Allaric.

"Kamu kenapa?" Tanya Aurora, namun hanya dibalas diam oleh Allaric.

Tatapan Allaric teduh membius Aurora, "Aku ada disini, selalu"

Aurora tersenyum tipis, lantas membalas pelukan Allaric tak kalah erat. "Thank you, Ar"

Lambaian tangan Nathan menarik perhatian Aurora, wajah inti Xavierous pun tak kalah dari Allaric, penuh berhias memar. Refleks Aurora menatap Allaric kesal, "Dasar anak cowok"

Tangan Allaric masih bertengger manis di pinggang ramping Aurora, tersenyum nakal yang kemudian menarik Aurora semakin mendekat padanya.

"Siap jadi Queen Xavierous?"

Aurora memekik ketika Allaric menggendongnya ala pengantin kemudian mendudukan Aurora di atas motor besar miliknya. Deru motor satu-persatu menyala, Aurora bersama dengan Allaric persis berada di tengah-tengah inti Xavierous. Jaket Xavierous berlogokan "Leader" milik Allaric dipasangkan sang pemilik pada Aurora, pun pula helm besar Allaric yang diberikan pula pada Aurora.

"Ar, aku keliatan aneh" Aurora kesal karena tampilannya semakin terlihat aneh dengan jaket oversize dan helm yang bahkan terasa sangat berat di kepalanya.

"Biar kalau jatuh nggak lecet, sayang" Allaric menunduk menatap teduh manik Aurora yang sedikit terhalang helm, tangannya menepuk pelan helm yang terpasang di kepala Aurora.

"Kamu mau buat aku jatuh?!"

"Aku nggak akan buat kamu jatuh kecuali jatuh cinta sama aku" senyuman Allaric nampak menggoda Aurora.

"Buaya" cibir Aurora pelan.

Allaric hanya terkekeh, lantas mulai menaiki motornya dengan gagah meski hanya berbalut kaos hitam pendek. Tangan Aurora terulur memeluk erat perut berotot milik Allaric. Ketika Allaric melajukan motornya, inti Xavierous lainnya mulai mengawal di belakangnya.

"Gimana perut aku?!" Teriak Allaric sambil melirik Aurora dari kaca spion.

"Hah?!"

Allaric hanya menggelengkan kepalanya pelan sambil terkekeh pelan, gemas sekali dengan Aurora yang mengenakan helm kebesaran miliknya.

"Kamu cantik!"

"Iya, baru tau?!" Aurora menjawab dengan lugas, berbanding terbalik dengan respon sebelumnya.

Tawa sukses meluncur dari bibir Allaric, tangan kiri Allaric menepuk pelan punggung tangan Aurora yang berada diperutnya. Semakin tersenyum ketika Aurora merespon baik dengan meletakkan dagunya ke bahu Allaric.

■■■■

27 Oktober 2023

To be continue🐾


IridescentWhere stories live. Discover now