Chapter 2

7 0 0
                                    

Aku mengetuk-ngetukan jari ku di atas meja belajar.

"Jika kau terus mengetuk mejamu seperti itu aku yakin sedikit lagi meja belajarmu pasti akan bolong," kata Maddie, teman sekamarku. Aku tinggal di asrama yang hanya sepuluh menit dari kampus dengan berjalan kaki. Aku sekamar dengan Maddie, dia jurusan komunikasi, dan ada juga Julie, ia jurusan teknik komputer.

"Jika kau mau membantuku mencari jurnal sebanyak sepuluh buah tentang genosida etnik dan merangkumnya aku yakin itu pasti lebih baik daripada mengomeliku."

"Aku bahkan tidak tahu jurusan hubungan internasional itu belajar tentang apa, mana mungkin aku bisa membantumu. Lebih baik aku tidur di hari yang cerah ini." Maddie menarik selimut tipisnya setinggi dagu dan memakai earphone nya.

"Dasar teman tidak berguna," ketusku dan aku bisa mendengar Maddie tertawa kecil.

Ketika aku sedang terhanyut dalam layar laptopku, tiba-tiba ponselku berdering. Tertulis nama Sebastian disitu. Sebelum mengangkatnya aku menghela napas dahulu sebagai permulaan.

"Halo," kataku.

"Laura, kau bisa turun sebentar dari kamarmu tidak? Cepatlah turun ada yang ingin kubicarakan padamu," kata Sebastian ditelpon.

Hah? Apa dia menungguku di bawah? Aku terkejut dia bisa tahu aku tinggal asrama, namun itu bukan pula hal yang mengejutkan karena pasti dia mungkin tinggal di asrama ini juga.

Aku mengambil jaket tipisku dan segera turun ke bawah.

Disitulah Sebastian berdiri. Dengan celana panjang dan kemeja lengan panjang berwarna putih. Pakaiannya terlihat kontras dengan rambutnya yang berwarna pirang keemasan.

"Ada apa kau datang untukku?" tanyaku sambil merapatkan jaketku.

Semilir angin musim semi tertiup pelan ke wajahku. Cahaya matahari pelan-pelan mulai terasa hangat.

"Siapa bilang aku kesini untukmu?" dia menyeringai. Lagi-lagi candaan yang membuat aku malu. Bisa tidak sih dia jangan membuatku malu terus? Lagipula kenapa juga aku berpikir dia kesini hanya untukku.

"Aku ingin bilang bahwa besok aku bisa datang untuk kerja kelompok kita. Kuharap kau tidak lupa."

"Oh oke," kami terdiam. "Omong-omong kenapa kau disini dan bagaimana kau tahu aku tinggal di asrama ini?" tetap saja aku penasaran bagaimana dia bisa tahu aku disini.

"Wah kali ini aku benar-benar sakit hati. Beberapa hari yang lalu kan kita satu lift. Kau tidak ingat tentangku sama sekali, ya. Aku juga tinggal di asrama ini mulai semester ini."

Wah aku benar-benar tidak sadar aku pernah satu lift dengannya. Lagipula di lift juga biasanya ada banyak orang lain, mana mungkin aku sadar ada dia juga disana.

"Ohh," kataku.

Sebastian menaikan alisnya. "Kuharap mulai sekarang kau akan ingat tentang diriku dan selalu sadar setiap bertemu denganku."

Sekarang aku yang menaikan alisku.

Dasar aneh, pikirku. Untuk apa aku harus ingat tentang dirinya, lagipula setelah tugas kelompok ini selesai aku yakin kita tidak akan pernah ada keperluan lagi. Jadi cukup seperlunya saja. Selama ini juga aku kenal dengan Sebastian hanya karena aku pernah menjadi anggota perhimpunan tahun lalu, dan itu juga kami tidak pernah berkomunikasi secara langsung.

"Kau suka bicara aneh yang membuatku bingung. Lebih baik kau ubah kebiasaan itu supaya tidak ada orang yang salah paham denganmu," aku membenarkan rambutku yang tertiup angin. "Kalau itu saja yang kau bicarakan aku akan pergi sekarang. Sampai jumpa besok."

"Sampai jumpa besok, Laura."

***

Aneh sekali orang itu, ucapku dalam hati.

"Kau habis bertemu siapa?" tanya Maddie padaku.

"Oh, aku habis ketemu Sebastian tadi dia menungguku di bawah. Aneh sekali dia, buat apa harus bertemu kalau bisa mengirimiku pesan."

"Maksudmu Sebastian Hayes? Sebastian yang itu?" aku mengernyit bingung. Sejak kapan Maddie kenal dengan Sebastian. Walaupun dia memang orang yang cukup populer di kampus, akan tetapi aku tidak mengira dia seterkenal itu. Bahkan anak jurusan lain pun kenal dengannya. Jika ini adalah sekolah menengah aku tidak aneh jika ada seseorang yang dikenal satu sekolah, namun ini adalah dunia perkuliahan yang sangat berbeda dengan sekolah menengah. Orang-orang tidak terlalu peduli kau siapa, ada masalah apa, semua orang lebih memedulikan tentang mendapatkan nilai minimum di setiap mata kuliah. Kecuali kau melakukan hal yang sangat besar mungkin beda ceritanya, tapi biasanya gosip itu lambat laun akan menghilang.

"Kau kenal dia? Bagaimana bisa?" tanyaku serius.

"Heey, yang benar saja. Sebastian dan Ezra kan jadi perbincangan paling ramai semester lalu. Aku dengar mereka bertengkar hingga saling pukul di ninth street." jelasnya.

Bagaimana bisa aku yang satu jurusan dengan mereka sama sekali tidak tahu kabar ini? Bahkan Maddie yang bukan satu jurusan saja tahu akan hal ini. Aku memang tidak terlalu peduli dengan segala drama perkuliahan yang terjadi. Aku merasa dunia perkuliahan sendiri saja sudah terlalu berat buatku, jadi tidak ada gunanya aku mengetahui kabar lain yang tidak menguntungkan untuk menaikan nilaiku. Aku bahkan bukan orang yang tidak bersosial sama sekali, cuman aku tetap tak pernah dengar.

"Mereka bertengkar di bar ninth street? Aku tahu kalau mereka berdua ada masalah, tapi aku tidak mengira mereka sampai saling adu jotos," kataku. Ini jelas masalah yang lebih besar dari yang kukira. Aku kira ini hanya pertengkaran sesama anak kuliah dan aku takut tugas kelompok ini tidak bisa selesai dengan baik.

"Masa kau tidak tahu? Makanya kalau kuliah jangan hanya belajar saja yang ada di otakmu." Maddie melemparkan bantalnya kearahku. "Jadi ada urusan apa sampai Sebastian ingin menemuimu?"

"Aku, Sebastian, dan Ezra mendapatkan tugas kelompok bersama. Dia mau memberitahu untuk ketemuan besok."

"Jadi kau satu kelompok dengan mereka berdua? Ya ampun aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana sangat tidak efisien dan canggungnya kerja kelompok kalian nanti! Mereka tidak pernah saling sapa setelah pertengkaran itu. Laura, aku benar-benar kasihan dengan dirimu kali ini."

Aku juga mengasihani diriku.

Aku yang tidak tahu menahu tentang pertengkaran mereka berdua tiba-tiba harus mengerjakan tugas bersama.

Drrt drrt.

Ponselku berdering. Tertulis nama Ezra.

"Pas sekali yang sedang kita bicarakan tiba-tiba menelponku," kataku padda Maddie sambil melihatkan layar teleponku ke dia.

"Halo, " kataku.

"Besok sore kita bertemu dimana? Aku menelpon dirimu duluan soalnya kau tidak memberi kabar apa-apa kepadaku." aku memutar bola mataku.

"Memangnya harus selalu aku duluan yang mengabarimu? Ini kan tugas kelompok," ketusku. "Ketemuan di Cozy kafe saja kalau begitu, pukul tiga sore."

"Oke." lalu Ezra memutuskan sambungan teleponnya.

"Dasar orang-orang aneh! Tidak tahu sopan santun!!" aku menggeram kesal sambil mencengkram bantal. Dua orang keras kepala ini belum bertemu bertiga saja sudah membuatku naik pitam.

"Sabar, Lou," kata Maddie sambil menepuk pelan pundakku. "Pikirkan saja nilai plusnya, kau jadi bisa lihat wajah tampan mereka berdua setidaknya."

Arrrgh! Berhenti!! Aku tidak mau dengar apapun tentang mereka. Justru itu yang aku benci, hanya karena mereka tampan rasanya orang-orang mengabaikan masalah yang sesungguhnya. Aku ini sama sekali tidak beruntung tahu bisa melihat wajah tampan mereka berdua. Justru aku sial, sangat sial.

It All Starts In SpringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang