GALAKSI 15 [END]

663 82 7
                                    

Sejujurnya, kata 'pulang' sama sekali ngga pernah ada dibenak Angkasa setelah semua yang Papa lakukan pada salah satu adiknya. Baginya, rumahnya bukan lagi tempat paling nyaman buat pulang, malahan yang ada, rumah yang sudah 17 tahun dia huni itu terlihat menyeramkan dengan dendam yang Papa punya buat Sandyakala.

Bagi Galaksi yang pertama, pulang ke rumah sama seperti mengukir rasa sakit yang sama buat Antariksa. Dia tau kalau Papa masih belum sepenuhnya menyesal atas perbuatannya pada putra ketiganya. Air mata dan raut dukanya, cuma formalitas semana agar Angkasa, Cakrawala dan Senja ngga pergi kemana-mana.

Namun sejatinya, Angkasa ngga punya pilihan lain selain melakukan hal yang sangat ngga mau dia lakukan. Meskipun Ayah dan Bunda Yudhistira mengizinkan dia dan ketiga saudaranya buat menetap lebih lama, Angkasa menolak sebab semester baru akan dimulai.

Kata Mama, masalah itu harus dihadapi, bukannya ditinggalkan pergi, oleh karena itu, Angkasa akan menghadapi Papa dengan semua yang dia punya. Selama Andrean masih bernafas, maka Papa ngga akan bisa menyakiti Antariksa walau cuma seinci.

"Kakak yakin masih mau bertahan disini?" Ditengah keheningan yang tercinta, Senja memecahkannya. Mata jernih yang mirip sekali dengan Mama tersebut melirik pantulan Sandyakala yang duduk dibelakang bersama Cakrawala. "Sejujurnya, Adek ngga mau ngomong gini, tapi, Abang bener kalo kebahagiaan Kakak yang paling utama, dan kita semua ngga bisa memberikannya."

Yang ditanya, menggeleng kecil disertai senyuman simpul andalannya, "Mana ada, selama ini Kakak bahagia kok tinggal sama kalian semua."

"Tapi Papa —

— Hanya karena satu rasa sakit yang Kakak rasakan, bukan berarti Kakak harus melarikan diri dan meninggalkan banyaknya kebahagiaan yang Kakak dapatkan disini kan, Adek?"

Benar, rasanya terlalu egois kalau Sandyakala mengecap semesta jahat hanya karena kelakuan Papa.

Dibalik rasa benci yang Papa berikan padanya, masih ada banyak orang yang tulus menyayanginya.

"Adek cuma takut," Cicit si bungsu.

Ketakutan Senja sangat berdasar sebab Angkasa juga selalu merasakannya. Tetapi, kalau Sandyakala sendiri yang sudah memilih untuk bertahan, dia ngga bisa melakukan apapun buat mengirim anak itu pada nenek dan kakek, kan?

"Semuanya akan baik-baik aja," Saudara kemar Angkasa bersuara, melepaskan cengkraman tangan Antariksa yang mungkin saja menyakiti kulitnya.

Tetapi pada dasarnya, semua ngga semudah kelihatannya, sebab rumah besar yang berdiri kokoh dihadapan mereka masih menyimpan trauma berat bagi keempatnya.

Sebelum melepaskan seatbelt-nya, Angkasa menyempatkan diri buat memutar kepalanya, "Kakak —

"Ngga apa-apa," Sandyakala meyakinkan kalau dirinya akan baik-baik saja.

Lantas, keempat pintu mobil terbuka. Namun, baru selangkah mereka maju, pintu utama lebih dulu terbuka dan menampilkan Papa disana.

Laki-laki berumur setelah abad tersebut terpogoh menghampiri putranya, lalu saat tepat berada dihadapan Sandyakala, beliau memeluk putra ketiga yang sudah terasa sangat jauh buatnya.

Angkasa hendak menghentikan Papa, namun cekalan tangan Sandyakala lebih dulu menghentikannya. "Abang, ngga apa-apa."

Sebab dibanding sakit hati, Sandyakala lebih merindukan sosok yang kini mendekapnya erat seraya mengucapkan kata maaf.

"Hampir tiga tahun lamanya, tapi pelukan Papa masih sama hangatnya."

"Kakak baik-baik aja?" Tubuh kecil putranya ditelisik dari atas hingga bawah dan setelah tiga tahun lamanya, Papa baru menyadari kalau putra ketiganya semakin kurus kini.

Galaksi✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang