GALAKSI 8

721 136 11
                                    

"Dek."

"Bentar lagi Kak."

Sandyakala hembuskan nafas lelah. Seharusnya Senja belajar untuk ujian besok pagi, bukan malah memperbudak Angkasa dengan cara menyuruh si sulung membawa barang-barangnya untuk dipindahkan ke kamar kembarannya. Sungguh, Sandyakala hanya menyaksikan, namun dia bahkan sudah jengah sendiri melihat dan mendengar betapa berisiknya si sulung dan si bungsu yang selalu menyempatkan untuk beradu mulut ditengah kegiatan yang mereka lakukan.

"Mas..." Si tengah merengek, menatap Cakrawala seakan meminta bantuan pada kakaknya itu buat menasehati kedua saudaranya yang lain agar berhenti dari kegiatan melelahkan itu.

"Biarin aja Kak," Cakrawala usak rambut adiknya. Kekehannya mengalun keluar, membuat Sandyakala merenggut kesal sebab diabaikan oleh ketiga saudaranya.

"Ngga usah pindah kesini kalau Adek ga mau dengerin Kakak."

Berhasil. Senja hentikan kegiatannya, bersamaan dengan senyum kecil Cakrawala yang tercipta dan hembusan nafas panjang dari Angkasa.

Si bungsu berlari terpogoh menghampiri kembarannya. Mimik wajahnya dibuat sememelas mungkin agar Sandyakala mau mendengarkannya, namun anak itu ngga berkutik, masih mencoba terfokus pada buku pelajaran yang tengah dibacanya, mengabaikan Senja dengan rengekan andalannya.

"Sebentar lagi selesai, kok," anak itu menjelaskan.

"Kakak ngga peduli," yang tentunya Sandyakala jawab dengan nada menyebalkan.

"Mas —

— Udah malem, Mas, mending kita tidur aja," Angkasa menarik kembarnya untuk berdiri. Tatapan mengejek dilayangkannya pada Senja yang matanya sudah memerah sempurna. "Nanti kalau Kakak ngga bisa dibujuk, tidur di kamar tamu aja ya, Adek ganteng," ledek si sulung lalu berlalu dari sana dengan menggaet Cakrawala.

Bahkan, sampai pintu kamar tertutup pun, Sandyakala ngga lagi bersuara, membuat Senja menyerah dan beranjak dari sana dengan lunglai. Namun, baru saja dirinya akan melangkah keluar, suara kembarannya kembali terdengar, membuat senyumnya tercetak lebar.

"Belajar, Adek, besok kita ada ujian."

"Sama Kakak?"

"Iya, sini."

Kesempatan itu tentunya ngga akan disia-siakan oleh Senja. Sudah cukup Angkasa dan Cakrawala melarangnya bertemu dengan Sandyakala selama seminggu beberapa hari lalu, dan itu saja sudah sangat membuatnya tersiksa sebab tidak bisa melihat kembarannya walau hanya sekejap saja. Kini, dan untuk kedepannya, Senja ngga akan pernah mau berjauhan lagi dari Kakak kembarnya.

"Ips —

— Besok pelajaran PPKn, Adek!" Sandyakala memutar mata malas. "Ketauan banget kalo kamu ngga nyatet jadwal buat ujian, kan?"

Pertanyaan itu, hanya Senja balas dengan kekehan sebab memang benar kalau dirinya ngga mencatat jadwal ujian yang sudah ditempel di depan mading oleh pihak sekolah. Lagian, buat apa? Senja ngga perlu belajar meskipun besok ada ujian, karena kata Ari, mengundi penghapus atau menghitung kancing baju jauh lebih efektif daripada susah-susah belajar, namun materi yang dipelajari tidak muncul dalam soal. Membuang waktu saja.

Disaat Sandyakala fokus pada buku bacaannya, Senja justru merasa bosan. Belajar sama sekali bukan kegemarannya, berbeda sekali dengan Sandyakala yang selalu berusaha keras untuk mendapatkan peringkat pertama sebab desakan dari Papa.

Tiba-tiba, Senja merasa iba. Papa terlalu banyak menuntut pada putra ketiganya, berbeda sekali dengan sikap masa bodonya pada Angkasa, Cakrawala dan Senja yang bahkan selalu diberi apresiasi meski ketiga anaknya itu mendapat sesuatu yang tidak seperti harapannya, tapi pada Sandyakala? Papa selalu memakai meski putranya yang satu itu mendapat posisi terbaik yang selalu diinginkannya.

"Kakak pasti capek, ya?"

Pertanyaan Senja yang terkesan tiba-tiba itu membuat kerutan di dahi kakaknya. "Kamu capek? Mau udahan aja belajarnya?" Namun, anak itu justru bertanya balik pada adiknya.

"Pasti capek, ya, dapet banyak banget tuntutan dari Papa?"

Lantas, Sandyakala baru mengerti maksud dari pertanyaan Senja tadi.

"Kamu kayaknya kebanyakan belajar, mending tidur aja, Kakak sebentar lagi selesai."

Tapi, Senja enggan beranjak. Rasanya, baru kali ini dia menyadari kalau beban yang Sandyakala terima, jauh lebih banyak dari dugaannya. "Adek ngga mau belajar. Adek ngga mau menjadi pintar, karena nanti, Papa pasti memaki Kakak kalau Adek naik posisi."

Benar, Papa akan punya lebih banyak celah buat menjatuhkan Sandyakala kalau sampai Senja mendapat peringkat bagus dikelas. Membanding-bandingkan, memarahi, bahkan sampai melukai hati akan beliau lakukan pada putra ketiganya yang sayangnya sudah sangat rapuh semenjak Mama meninggal dunia dan menjadi objek pelampiasan Papa. Dan tentunya, Sandyakala pasti akan berakhir dengan membuat luka pada tubuhnya disaat dia merasa kalau dirinya hanya menjadi sumber duka buat Papa, dan Senja ngga akan pernah mau kalau Kakaknya melakukan hal seperti itu lagi.

"Jangan pernah mengorbankan apapun buat Kakak, Adek. Masa depan kamu harus cerah, secercah senyuman yang kamu punya, ya?"

"Masa depan Adek akan selalu baik-baik aja kalau ada Kakak, Mas dan Abang yang mendampingi," Senja menjawab. "Tolong, mulai sekarang, jangan pernah dengerin omongan jahat Papa, karena yang seharusnya Kakak dengarkan itu ungkapan sayang yang Abang, Mas sama Adek punya buat Kakak," Ucapannya di jeda. Senja telusuri mata indah laksana bintang milik kakak kembarnya. "Udah cukup luka yang Kakak terima, sekarang waktunya Sandyakala buat bahagia."

Sebab Sandyakala lebih dari pantas buat mendapat banyak cinta dari semesta.

***


"Rasanya, aku pengen banget bawa Sandyakala pergi jauh dari sini."

Angkasa yang baru menutup pintu kamar, dibuat termangu oleh ucapan yang baru keluar dari mulut kembarannya.

"Kenapa?"

"Semesta terlalu jahat buat anak sebaik Sandyakala."

Benar. Angkasa akui kalau ucapan Cakrawala memang benar. Seharusnya, kalau semesta jahat pada Sandyakala, masih ada 'rumah' yang bisa menjadi tempat buat anak itu pulang, tapi ngga. Justru, 'rumah' lah yang menjadi sumber luka paling besar buat adiknya. Mama tiada, dan Papa membencinya. Rasanya, penderitaan Sandyakala begitu lengkap adanya.

"Kapan ya, Papa sadar kalau kematian Mama bukan karena Kakak?" Angkasa menggumam.

"Ngga akan pernah sadar kayaknya."

"Tapi, Papa ngga bisa terus-terusan begini, Mas. Kakak yang ngga bersalah sedikitpun, ngga pernah pantas buat mendapat kebencian dari orangtuanya, itu ngga adil. Sandyakala juga kehilangan, tapi kenapa dia malah disalahkan?"

Percuma saja, Angkasa. Papa yang masih berduka, ngga akan mau mendengarkan apapun tentang Sandyakala.

"Nenek, Bang."

Lantas, Angkasa tolehkan kepalanya biar bisa menatap kembarannya. "Bang, Senja ngga akan membiarkan Sandyakala jauh darinya," si sulung berucap saat dia merasa mengerti akan ucapan Cakrawala barusan.

"Bukan cuma Sandyakala, tapi juga Senja, Bang," Cakrawala menjawab. "Nenek dan kakek jauh lebih bisa memperlakukan kita dengan baik dibanding Papa."

"Mas, Papa memang membenci Sandyakala, tapi belum tentu beliau mengizinkan Kakak pergi. Dan buat Senja, kamu tau kan kalau Senja adalah anak kesayangan Papa? Papa tentu ngga akan pernah membiarkan Senja pergi darinya."

Masuk akal, namun Cakrawala sudah terlalu muak pada sikap yang Papa berikan pada adiknya.

"Bang, kakak butuh bahagia, dan Papa tentu nggak akan memberikannya. Menurut aku, Jogja adalah yang tepat buat kakak melepas penat."

***

Galaksi✓Where stories live. Discover now