GALAKSI 12

583 109 8
                                    

Meninggalkan Sandyakala di rumah dalam kurun waktu yang lama tanpa adanya Angkasa ataupun Cakrawala adalah hal yang buruk untuk dilakukan sebab anak yang kini duduk di bangku kelas 9 SMP itu bisa saja melakukan sesuatu yang diluar dugaan.

Harusnya, kali ini Angkasa bisa bernafas lega sebab Senja sudah tahu semuanya dan tentunya ngga akan membiarkan saudara kembarnya itu berbuat semena-mena terhadap tubuhnya. Namun, entah mengapa perasaannya terasa ngga enak sedari mobil membawanya meninggalkan pelataran rumah tadi pagi.

Berkali-kali Angkasa mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kedua adiknya akan baik-baik saja, namun perasaannya ngga juga berubah, ditambah dengan Cakrawala yang tiba-tiba saja meminta untuk segera pulang, membuatnya semakin yakin kalau ada sesuatu yang terjadi pada kedua adik kembarnya sekarang.

Kakinya baru saja menginjak tanah di rumah, tetapi hatinya justru berdebar semakin resah, apalagi saat jeritan Bi Ati — asisten rumah tangga di rumah mereka — terdengar sampai garasi, Angkasa semakin sangsi kalau adiknya memang berulah lagi.

Langkah lebar Cakrawala disusul dengan mudahnya, namun keadaan didalam membuat kedua anak kembar itu diam ditempatnya.

Angkasa salah saat berfikir kalau kedua adiknya berulah, sebab kali ini, Papa lah yang bersalah.

Sandyakala jatuh didekat anak tangga yang pertama, dengan darah yang mengalir pada pelipisnya, pipi yang memerah sempurna, juga guci besar yang kini berserakan hingga menyebabkan beberapa titik di wajah dan tangannya ikut bermandikan warna merah sebab kepingan keramik tersebut menyayat kulitnya, dan juga, Papa berada disana, berdiri ngga jauh dari putra ketiganya.

Oh, bahkan Angkasa sangat ingin berteriak buat mencari Senja, sebab anak itu malah menghilang hingga Papa berani bertindak demikian.

"Kak —

— Tolong siapin mobil, Mas," Angkasa menahan lengan Cakrawala saat kembarannya akan menghampiri Sandyakala. Dia tahu, kalau Cakrawala ngga akan pernah siap buat melihat begitu banyaknya darah yang kini melekat pada wajah dan lengan adik tengah mereka.

Barulah saat anak kedua itu berlari, Angkasa segera menghampiri Sandyakala yang sedari tadi mencoba buat bangkit berdiri.

Buat yang kesekian ratus kalinya, hati Angkasa terasa sakit. Melihat adiknya mencoba untuk mencari sesuatu yang bisa dijadikan pegangan, membuatnya memberikan tangan sebagai bantuan.

"A... deksh...?"

Galaksi yang pertama ngga melihat seperti apa kejadian yang sebenarnya, tapi dia bisa merasakan sesakit apa penderitaan yang kini dirasakan oleh adiknya. Sandyakala bahkan ngga bisa melihatnya sebab kepala berdenyut akibat terbentur pada anak tangga yang tajam hingga ringisan pun keluar dari mulutnya dan rasanya, pasti sakit luar biasa.

"Ini Abang."

"A... ba..."

Benteng pertahanannya runtuh saat Sandyakala terjatuh tanpa berhasil menyelesaikan kalimat terakhirnya. Bahkan, tangan kecil yang awalnya menggenggam tangannya dengan erat sebagai pegangan, kini jatuh ke lantai saat matanya terpejam dan kesadarannya menghilang.

Angkasa gendong tubuh kurus itu melewati Papa yang masih mematung ditempatnya — terlihat seperti masih shock dengan apa yang dilihatnya.

"Maaf, karena hari ini, semesta memberi luka lagi pada Sandyakala yang sangat berharga buat Galaksi bersaudara."

***

"Kakak udah boleh pulang."

Saat kalimat itu mengudara, Sandyakala mengalihkan pandangan mata, namun ngga lama, sebab setelahnya, pemandangan diluar jendela, kembali menarik perhatiannya.

"Kakak cape."

Awalnya, Angkasa mau mengusak rambut legam adiknya, tapi urung saat Sandyakala berkata dengan lancarnya.

"Kakak boleh merasa lelah, tapi ngga boleh menyerah. Ingat, ya, kalau Angkasa, Cakrawala dan Senja akan selalu ada bersama Sandyakala."

Benar. Beberapa hari yang lalu, Sandyakala sudah memvalidasi diri kalau dia akan baik-baik saja selama ada ketiga saudaranya, tetapi, rasanya tetap kurang saat masih ada Papa yang masih membencinya.

"Kakak ngga pernah lelah buat terus berharap kalau suatu saat, Papa akan memberikan setitik maaf. Tapi," Wajah penuh lukanya dibawa buat menatap kakak sulungnya. "Kali ini Kakak udah ada pada batasnya, Abang," Mata indahnya mulai berkaca, membuat Angkasa merasa iba pada adiknya. "Kakak cape buat meminta maaf dari Papa, Kakak cape terus berteman sama rasa bersalah yang selalu ada, dan Kakak cape sama takdir yang semesta gariskan buat Kakak."

Sandyakala merasa lelah, dan itu adalah hal yang lumrah. Namun, kalau boleh jujur, Angkasa juga sama lelahnya. Semenjak dilahirkan, Galaksi yang pertama sudah mengemban tugas besar sebagai anak sulung yang harus selalu ada buat adik-adiknya. Sandyakala dan Senja bertengkar, dia yang memisahkan. Cakrawala kesusahan mengerjakan tugas sekolah, dia juga yang membantu menyelesaikan.

Lalu, tugasnya bertambah saat Mama meninggal dan Papa mulai berperilaku kasar — pada Sandyakala.

Sandyakala dimarahi, Angkasa yang melindungi. Sandyakala dicaci maki, Angkasa yang menengahi, bahkan saat Sandyakala menyakiti diri sendiri, Angkasa juga yang mengobati. Angkasa adalah tameng utama mengapa Sandyakala masih baik-baik saja sampai kini.

Bukan hanya kata lelah yang dirasa, tapi Angkasa pernah ada pada titik dimana dia mau menyerah saat pertama kali tahu kalau Sandyakala suka melampiaskan emosi pada dirinya sendiri. Tetapi, disaat-saat merasa jatuh seperti itu, kalimat Mama kembali terngiang dalam kepalanya sampai Angkasa urung buat mengakhiri hidupnya.

"Pundak Abang lebar, kan?"

"Iya."

"Tangan Abang juga cukup panjang, kan?"

"Iya."

"Hati Abang juga udah lapang, kan?"

"Iya. Tapi Abang takut ngga bisa menjadi seorang Abang yang baik buat adik-adik, Ma."

"Beban dan tanggung jawab anak pertama memang besar, tapi Mama tau kalau Abang bisa mengemban tugas ini dengan benar. Ingat, Tuhan menjadikan Angkasa sebagai anak pertama itu bukan tanpa alasan. Tuhan tau kalau pundak kamu yang paling lebar hingga bisa dijadikan sandaran, tangan kamu cukup panjang buat bisa memberikan rangkulan, dan hati kamu juga yang paling lapang buat menampung semua keluh kesah ketiga Galaksi yang lainnya. Tuhan tahu Abang bisa, begitupun Mama yang percaya pada kamu sepenuhnya, Angkasa."

Kalau Tuhan saja percaya padanya, berarti Angkasa bisa melalukan perannya sebagai seorang kakak, kan?

"I —

— Abang, kalau Kakak meminta buat tinggal di Jogja bersama nenek dan kakek, apa boleh?"

"Semesta, dulu Cakrawala yang menyarankan Jogja sebagai tempat yang tepat buat Sandyakala melepas penat. Tapi kali ini, anak itu bahkan memintanya sendiri padaku. Sekarang, aku harus bagaimana? Menginzinkan adikku pergi jauh dari pengawasanku? Atau tetap membuatnya berada disini dengan rasa sakit yang setiap hari selalu menggerogoti fisik dan hatinya? Semesta, ini sulit, dan sejujurnya, aku ngga pernah siap menjadi anak pertama dengan beban yang besarnya luar biasa."

***

Galaksi✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang