dua puluh tiga; pengirim pesan (2)

Start from the beginning
                                    

Di depan sana, ia melihat Kaia memberontak di dalam gendongan seorang lelaki asing. Membuat Hanum mempercepat larinya dengan Reine yang mengikuti dirinya tanpa ragu. Langkah mereka berlomba dengan langkah laki-laki tadi. Tepat setelah sebuah belokan, Hanum tidak lagi melihat tanda-tanda eksistensi si laki-laki asing dan Kaia.

“Gawat mbak, kemana orang tadi pergi? Kita kehilangan jejak,”

Kedua mata adik kecilnya itu terlihat berkaca-kaca, Hanum tidak sampai hati memandangnya. Hatinya ikut teriris melihat bagaimana sedihnya Reine ketika mereka kehilangan jejak Kaia. Tidak ingin berhenti disitu, Hanum kembali menggandeng tangan Reine, mengajaknya melewati sebuah gang, entah kemana ujungnya, namun Hanum yakin orang asing itu pasti membawa Kaia kemari.

Seperti dugaan utamanya, gang itu terlalu panjang, tidak segera berujung, membuat Hanum semakin gelisah, namun sayup-sayup suara orang sedang berbincang membuatnya segera mempercepat langkah, begitupula dengan Reine yang mengekor di belakangnya.

Otomatis menyembunyikan tubuh masing-masing, Hanum dan Reine menemukan sebuah tempat persembunyian yang cocok. Tidak jauh dari tempat dua orang berlawanan jenis sedang berinteraksi dan juga tempat yang cocok untuk Hanum menelepon bala bantuan.

“Iya halo Arsen, kamu dimana?”



○○○

Kehadirannya di tempat itu memang bertujuan untuk bertemu dengan si pengirim pesan misterius, akhir-akhir ini. Namun siapa sangka, Kaia justru harus dihadapkan pada kasus penculikan yang tidak pernah terbesit dalam benaknya sedikitpun.

Beruntung ia berhasil memberontak dan melepaskan diri, orang asing itu pun turut menurunkannya dari gendongan paksa, meskipun ya, ia tidak langsung dilepaskan begitu saja. Kaia mengambil napas, berusaha mengenyahkan segala pemikiran buruk bahwa kondisinya akan berakhir mengenaskan disini.

Ia masih punya Tuhan. Yang akan senantiasa melindunginya kapanpun dan dimanapun. Tidak akan ada orang yang berhasil menyakitinya. Ia yakin bala bantuan itu akan datang, dan orang yang ia harapkan datang menolongnya kesana adalah ...

“Kaia, kamu sungguh-sungguh tidak mengenali saya?”

Ditatapnya si orang asing dengan pakaian serba hitam yang menutupi seluruh tubuhnya serta kacamata dan masker berwarna senada, yang membuat Kaia kesulitan mengenali siapa gerangan seonggok manusia dihadapannya ini.

“Lepaskan saya! Maaf saya tidak kenal siapa anda,”

Kaia hampir menemukan celah untuk melarikan diri, namun tubuhnya kembali ditahan dan membuatnya punggungnya kembali membentur dinding meskipun pelan. Ia meringis sejenak, sebelum menatap nyalang pada sosok dihadapannya.

Diluar dugaannya pula, Kaia melihat orang asing itu melepaskan kacamatanya. Tersisa hanya sebuah masker yang menutupi sebagian wajahnya. Membuat Kaia dapat melihat jelas bagaimana bentuk mata orang itu. Namun tetap saja, ia tidak mengenal dengan baik siapa orang ini. Ia tidak pernah melihatnya dimanapun, sebelumnya.

“Maaf, saya tetap tidak kenal siapa anda,”

Celah itu akhirnya ditemukan. Kaia menemukan kesempatan untuk melarikan diri dan berlari sekencang-kencangnya agar orang tadi tidak dapat menjangkaunya. Sembari benaknya terus merapal doa agar Tuhan mengirimkan bala bantuan yang tadi ia maksudkan.

Papanya.

Ia berharap papanya akan datang dan membantunya lolos dari kejadian ini. Namun sialnya bukan sang papa yang datang kehadapannya, melainkan jalan buntu. Membuatnya mati kutu dan hampir berbelok arah, jika saja orang tadi tidak berhasil menyusulnya dan kembali menyudutkannya pada dinding.

RUMORWhere stories live. Discover now