9. KDRT

410 42 4
                                    

Aku tidak yakin Wulan baik-baik saja setelah aku nekat meneleponnya. Yudi pasti melakukan sesuatu yang membuat wanita itu menangis. 

"Mau ke mana?" tanya ibuku yang terheran melihatku tergopoh keluar kamar. 

"Mau pulang, Bu. Ntar ke sini bareng Mira aja ya. Bye, Ibu!" Aku menyelipkan sepuluh lembar uang merah di saku dasternya, lalu bergegas keluar rumah untuk menunggu ojek online.

Sepanjang perjalanan aku tidak tenang. Jika Yudi masih bertanya aku siapa, berarti Wulan benar menghapus kontakku, tetapi kenapa aku bisa melihat statusnya? Apa Wulan menyimpan kontakku dengan nama lain? 

"Mas, mampir di toko roti depan ya." Aku menunjuk ruko dua lantai di sebelah kiri jalan. Kurang lebih seratus lima puluh meter saja dari posisiku saat ini. Ojek berhenti, lalu aku pun melesat masuk. Membeli aneka roti sebagai bahan pengalihan saat aku berkunjung ke rumah Wulan nanti.

Setelah mendapatkan apa yang aku butuhkan, aku pun langsung meluncur pulang. Rumah Wulan sepi, tetapi aku tidak peduli karena keteledoranku, Wulan pasti disakiti oleh Yudi. 

Tok! Tok!

"Wulan, Wulan!" Teriakku. Kaki tangan ini terasa dingin. Ini baru tidak sengaja kepergok lewat telepon dan masih tidak tahu siapa aku. Bagaimana jika sampai tahu? Tidak ada sahutan dari dalam.

Tok! Tok!

"Wulan, Yudi!" Aku panggil dengan suara semakin keras. Aku benar-benar tidak sabar. Pelan aku tekan kenop pintu dan ternyata pintu terkunci.

"W-wulan, i-itu muka kamu!" Aku memekik kaget saat melihat tampilan Wulan dari jendela yang tertutup.

"Ya, ampun, gara-gara saya ini pasti. Maafkan saya Wulan, saya ceroboh!" Kataku memohon. Wajah iparku biru di bagian tulang pipi dengan rambut yang sangat berantakan. Aku mengepalkan tangan menahan emosi. Yudi sudah sangat keterlaluan pada Wulan dan aku tidak bisa menerimanya.

Wulan menggerakkan tangan agar aku pergi. Bibirnya bergerak dengan gemetar mengatakan selesai. Aku menggelengkan kepala, tentu saja aku tidak mau. Oleh-oleh roti aku taruh di atas meja teras, lalu aku pun pulang ke rumah. Aku harus tenang sambil memikirkan langkah apa yang harus aku ambil untuk Yudi. 

Langit pun berubah gelap. Ini sudah malam dan Yudi belum juga pulang. Dari mana aku tahu? Tentu saja dari totte bag roti yang masih ada di teras. Begitu juga dengan Mira. Entah di mana istriku itu berada, karena sampai isya belum juga ada kabar. Tiba-tiba lampu sorot mobil masuk ke arah pagar rumah. Aku akhirnya bisa bernapas sedikit lega karena Mira pulang. 

"Assalamualaikum, Mas," sapa Mira amat ramah, seolah-olah dia tidak melakukan kesalahan apapun. Ia mencium punggung tangan ini dan dengan setengah hati aku memberikannya.

"Wa'alaykumussalam." Aku berjalan masuk ke kamar. Mira membawa semua kopernya ke dalam rumah. Aku sebenarnya ingin membantu, tetapi sudah terlanjur kesal. Adik kakak yang sering kali membuatku bosan dan juga marah. 

"Mas kenapa pulang?" tanyanya sambil melepas atasan batik yang ia kenakan. Intonasi yang amat sangat santai; seolah-olah ia tidak bersalah. 

"Gak jadi honeymoon?" tanyanya lagi. Aku enggan menjawab.

"Saya balik ke penginapan, Mas udah gak ada," katanya lagi sambil duduk di dekatku. Mungkin maksudnya mau menggodaku, tetapi aku sedang tidak ingin.

"Alah, nanti honeymoon kamu juga repot sendiri sama urusan kamu! Aku tadi ke rumah ibu, tapi gak jadi nginep, mau pulang aja. Pas aku mau kasih oleh-oleh ke Yudi, pintu gak dibuka. Ada Wulan di dalam dan ipar kamu itu wajahnya babak belur. Coba kamu yang lihat!" 

"Hah? Wulan? Babak belur sama siapa?"

"Sama ibu tiri bawang putih, ya sama Yudi; adik kamu, Mira! Cepet sana lihat!" Mira pun meletakkan tasnya begitu saja di atas meja ruang tamu, lalu berjalan cepat menuju rumah Wulan. Aku mengekorinya sampai di depan pintu. Mira mengetuk pintu berkali-kali sambil memanggil nama Wulan, tetapi tidak ada jawaban.

"Wulan, buka!" Kata Mira lagi. Tidak lama, pintu pun terbuka. Wulan tidak berani menatap kami berdua. Iparku itu menundukkan wajahnya dengan sangat dalam.

"Ya, ampun, Wulan, ini kamu kenapa_"

"S-saya gak papa, Teh," jawab Wulan dengan sangat pelan. Aku baru sadar ada luka di sudut bibirnya. Emosiku pun kembali memuncak.

"Gak papa gimana, orang kamu babak-belur gini? Siapa yang bikin? Yudi, iya!" Wulan hanya diam, begitu juga Mira yang kudengar menghela napas berat. 

"Adik kamu itu udah pengangguran, selalu ngandelin kamu dan aku untuk makan dan hobi judi slot dia, sekarang sikapnya kasar pula! Kamu terlalu memanjakannya dan ini akibatnya! Lihat ini, ipar kamu babak-belur! Yudi aku laporkan ke polisi saja atas tuduhan KDRT!"

Bersambung

Di aplikasi KBM sudah bab 29 ya. Monggo kalau mau mampir.

Terpaksa Menjadi Simpanan Kakak IparWhere stories live. Discover now