4. Lebih Baik Putus!

1K 41 0
                                    

Aku benar-benar bisa gila hidup diantara dua pria yang sama sekali tidak peduli dengan perasaanku. Pria yang jelas sah statusnya sebagai suami, hanya bisa marah-marah dan malas melakukan apapun. Pria satu lagi, hanya tahunya ranjang, ranjang, dan ranjang. Kini, malah mau minta yang aneh-aneh. 

"Mbak Wulan," suara seseorang yang cukup familiar di telinga ini membuat aku menoleh ke arah pagar rumah yang sudah setengah terbuka. 

"Dini," seruku senang saat melihat adik bungsuku ternyata yang datang berkunjung. Aku berlari menghampirinya dengan senyuman lebar. Dini pun sama, ia ikut berlari menghampiriku untuk berpelukan.

"Duh, kamu ini, berapa lama udah gak nengokin Mbak di Jakarta?" kataku pada Dini sambil menggandeng tangannya untuk masuk ke dalam rumah. 

"Baru liburan semester, Mbak. Disuruh ibu pulang hari Minggu. Ini masih hari Kamis'kan, makanya saya mampir dulu ke sini. Boleh'kan, Mbak?" tanyanya sambil tersenyum lebar. 

"Boleh dong!" Aku tentu saja sangat senang dengan hadirnya Dini di rumahku. Ini pertanda baik Mas Ares dan Bang Yudi pasti tidak akan semena-mena padaku. Tiga hari waktu yang cukup kurasa, aku bisa sedikit bernapas lega dari dua pria di sekitarku. Meskipun aku tidak tahu beberapa hari ke depan, Dini mau aku kasih makan apa.

"Kamu udah makan?" tanyaku berbasa-basi.

"Udah, Mbak. Tadi udah gak tahan di terminal Rambutan, makan nasi Padang serba dua belas ribu. Saya bawakan nih, buat Mbak Wulan." Ia mengeluarkan bungkus plastik dari dalam tas ranselnya, lalu ia tunjukkan padaku. 

"Wah, rendang," kataku takjub sambil menahan air liur. Aku tadi belum sempat makan karena mendapat telepon dari Teh Mira. Kini, seleraku kembali tergugah dengan aroma bumbu rendang yang berasal dari plastik yang dibawa Dini. 

"Makan aja, Mbak," katanya sambil memperhatikan sekeliling rumah. 

"Iya, nanti Mbak pasti makan. Kamu mau ganti baju? Di belakang ada kamar tamu yang gak pernah dipakai. Kamu bisa istirahat di sana."

"Oh, iya, Mbak, saya ganti baju dulu deh, baru kita ngobrol." Dini berjalan masuk ke kamar yang aku tunjukkan.

"Mbak, ya ampun, lupa deh!" Adikku itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselnya lagi.

"Ini ada batagor Bandung, oleh-oleh untuk Mbak." Ia memberikan bungkusan kedua padaku. Tentu saja aku sangat senang karena hari ini ada banyak makanan enak di rumahku. 

"Makasih, Dini." Jika Batagor aku taruh di meja makan beserta bumbu kacang yang aku salin ke dalam mangkuk, tetapi untuk rendang, aku simpan saja di lemari makan. Biarlah Bang Yudi gak kebagian rendang.

"Kamu bawa banyak makanan, emangnya kamu punya uang? Gak boleh boros, Dek," kataku pada Dini, saat sore hari ini kami duduk di teras rumahku.

"Nggak, itu kiriman ibu. Kata ibu belikan makanan untuk Mbak Wulan dan oleh-oleh. Ibu baru saja dapat bayaran gede dari anak Pak Lurah yang dipijat ibu, Mbak. Ibu dapat satu juta. Ibu telepon saya sampai nangis. Biasanya orang urut keseleo atau patah tulang, hanya bayar lima puluh ribu." Aku ikut terharu. Sampai saat ini ibu memang belum bicara padaku karena ia tidak setuju dengan pernikahanku bersama Bang Yudi. 

"Makanya saya disuruh pulang karena dikirimin duit juga." Aku tersenyum sambil mengangguk.

"Sabar ya, Mbak, nanti juga ibu sadar dan mau menerima Bang Yudi. Bang Yudi ke mana, Mbak? Udah dapat kerjaan apa masih nganggur?"

"Kamu ini, kalau tanya apa-apa tuh, pasti borongan. Bang Yudi lagi keluar cari bisnisan sama temannya." 

"Oh, Mbak, itu siapa?" tunjuk Dini ke arah kanan rumahku.

"Keren, Mbak," kata Dini lagi dengan rona merah di pipinya. 

"Hust, itu Mas Ares, suami dari Teh Mira," kataku sambil memutar bola mata malas. 

"Oh, alah, baru ini lihat jelas wajahnya. Ganteng sekali, Mbak." 

Kring! Kring

Ponselku berdering dari arah kamar. Aku ijin pada Dini untuk mengangkat ponselku. 

"Halo, ada apa, Mas?" tanyaku pelan. 

"Gak papa, Mas kangen aja."

"Ya ampun, jangan aneh-aneh. Ada Dini berkunjung dan saya gak bisa ke sana sembarangan. Nanti Dini curiga."

"Nanti malam kamu ke sini, kalau gak mau, nanti aku-"

"Saya capek, Mas. Mending akhiri aja semua ini deh! Mas Ares dan Bang Yudi sama aja!"

Bersambung.

Di aplikasi KBM sudah bab 24. Monggo yang mau mampir silakan yes. Jangan lupa subscribe.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Terpaksa Menjadi Simpanan Kakak IparWhere stories live. Discover now