3. Permintaan Mas Ares

1.1K 50 0
                                    

"Wulan, ini tanda apa?" tanyanya lagi dengan sorot mata penasaran.

"Ini tuh masuk angin. Nih, lihat!" Aku berbalik untuk memperlihatkan garis merah cukup pekat di punggungku.

"Aku tanya yang di leher, bukan di punggung kamu," katanya tidak terima. Aku tertawa miris. 

"Aku kemarin masuk angin. Aku minta kamu kerokin, tapi kamu bilang, pergi aja ke tukang urut. Jadi, aku kerok sendiri dan di leher ini, aku mau kerok juga karena emang beneran sakit, ternyata kerok leher aku tidak tahan, jadinya cuma begini saja. Udahlah, mau percaya atau tidak, itu terserah kamu saja, Bang. Orang kamu di rumah seharian udah dua bulan lebih. Aku mau ikut acara ibu RT aja, gak bisa." Aku langsung masuk ke dalam kamar, tanpa memedulikan ucapan Bang Yudi yang masih setengah percaya. 

Lekas aku berpakaian. Kali ini aku bisa mengelak, tetapi lain kali belum tentu dan aku tidak bisa berpikir bagaimana jika Teh Mira tahu kelakuanku dan suaminya. 

Saya kesepian. Mira banyak pekerjaan di luar kota sebagai konsultan sekolah. Ada banyak pelatihan dan juga urusan kantor, sehingga saya merasa sendirian di rumah besar. Untung ada kamu yang mau ikut menghangatkan ranjang dingin ini. Saya harap, kamu tidak berniat mengakhiri ini semua, Wulan. Saya sayang kamu.

Aku memijat kening dengan kuat, bila mengingat ucapan lelaki buaya seperti Mas Ares. Jika yang ada di rumahku saat ini adalah kadal, kudanil, komodo, maka Mas Ares buaya darat kelas VIP. 

Pintu terbuka, Bang Yudi berjalan santai menuju lemari pakaian. Ia mengganti bajunya seperti ingin pergi. Aku tidak mau bertanya, karena nanti dia GR. 

Setelah rapi berpakaian dan juga menyemprotkan parfum pemberian Teh Mira, Bang Yudi pergi begitu saja dari kamar tanpa bicara sepatah kata pun. Tidak lama berselang, ojek online berhenti di depan rumahku. Bang Yudi yang memesannya. 

Tadi katanya tidak punya uang. Sekarang malah pesan ojek online. Apakah Bang Yudi hanya pelit padaku saja? 

Kring! Kring!

Nama Teh Mira muncul di layar ponselku. Perasaanku pasti langsung tidak enak bila muncul nama Teh Mira di ponsel. Aku takut apa yang aku lakukan dengan Mas Ares ketahuan oleh kakak iparku yang baik hati ini. 

"Halo, assalamualaikum, Teh."

"Halo, Wulan, kamu lagi apa?"

"Baru mau sarapan, Teh. Eh, maksudnya sarapan sekalian makan siang. Ini udah jam setengah sebelas, he he he ..."

"Oh, gitu, maaf, Wulan, Teteh minta tolong belikan obat untuk Mas Ares. Dia masuk angin sampai muntah-muntah. Tolong kamu belikan obat tolak angin dan lambung ya. Ada Yudi gak?"

"Oh, i-iya, Teh." Perasaan sejak tadi aku dipaksa masuk ke kamarnya, Mas Ares tidak sakit dan malah bisa marah-marah pada Bang Yudi.

"Bang Yudi baru aja pergi, Teh."

"Oh, gitu, ini saya gak bisa pulang karena ada workshop sekolah seluruh Indonesia. Tiga hari saya di Puncak-Bogor. Saya titip Mas Ares ya. Yudi dan kamu tolong jagain Mas Ares, kalau tambah parah, bawa ke rumah sakit saja dan kabari saya ya, Wulan."

"Oh, baik, Teh Mira. Saya belikan dulu obatnya, baru saya antar."

"Makasih, Wulan. Kamu memang ipar yang baik."

"Sama-sama, Teh." Sambungan itu terputus. Aku memeriksa sisa uang pemberian Mas Ares tadi yang kiranya bisa aku gunakan untuk membelikan obat masuk angin dan juga maag. 

Pintu rumah aku kunci, lalu aku bergegas menuju warung Bu Limah.

"Masuk angin?" tanya Bu Limah padaku. 

"Disuruh Teh Mira, Bu," jawabku jujur. Memang kakak iparku itu yang memerintahkan, bukan?

"Oh, alah, Mira kecapean ya?"

"Iya, Bu, banyak urusan kantor dan sekolah," jawabku sok tahu. Bu Limah memberikan obat yang aku butuhkan.

"Salam untuk Mira ya, semoga lekas sembuh."

"Iya, Bu, terima kasih. Nanti saya sampaikan." Aku langsung pamit undur diri dan berjalan menuju rumah Teh Mira. Aku masuk dari pintu samping yang tidak terkunci. 

"Mas, Mas!" Panggilku.

"Di sini, Wulan," jawabnya dari dalam kamarnya.

"Ini obatnya, Mas," kataku setengah gugup. 

"Masuk aja sini!" Katanya lagi diiringi suara tawa pendek. 

"Di sini saja, Mas. Saya bawa obatnya." Mas Ares keluar dari kamar dengan tempelan koyok di kepala. 

"Mas beneran sakit?" tanyaku terkejut.

"Iya, Mas sakit karena Mas gak bisa jauh dari kamu, Wulan."

"Mas, jangan!" Aku melepas tangannya yang baru saja menarik pinggang ini agar mendekat padanya, tetapi pria itu masih tetap bertahan dengan apa yang ia lakukan.

"Kalau Mas masih begini sama saya, lebih baik saya kabur saja! Saya akan pergi dari_"

Percuma bicara dengan pria dewasa seperti Mas Ares, karena aku tidak bisa mengatakan apapun setelah ia bungkam bibir ini dengan bibirnya.

"Wulan, bagaimana kalau kita menikah saja?" 

"Hah, apa?!"

Bersambung

Terpaksa Menjadi Simpanan Kakak IparWhere stories live. Discover now