6. Cari yang Lain

507 37 0
                                    

"Duh, kamu ngagetin aja, Din! Mas Ares itu lagi kena radang tenggorokan. Jadi bukan berbisik, tapi emang suaranya serak, jadi kayak bisik-bisik. Ini, nitipin kunci rumah karena dia mau nyusul istrinya ke Bogor." 

"Oh, alah, saya kirain apaan, Mbak, he he ... Teh Mira sibuk banget ya?" 


"Iya, sering keluar kota," jawabku sambil duduk kembali di kursi makan untuk meneruskan sarapanku. Dini pun ikut meneruskan makannya. Kami berbincang banyak hal tentang yang terjadi di kampung halaman tempat kami lahir. Memang kami lahir dari keluarga sederhana. Ayah dan ibu hanya tukang urut keliling yang sering dipanggil warga. Jika ayah sudah meninggal saat Dini duduk di kelas dua SMA karena serangan jantung, tersisa ibuku yang masih ngurut. Sayang sekali, pernikahanku dengan Bang Yudi tidak direstui oleh ibu. Efeknya, sudah dua tahun setengah aku diabaikan ibu. Jika aku menelepon, maka akan dimatikan.


"Kamu jangan cerita sama ibu kalau Bang Yudi belum kerja. Nanti jadi pikiran ibu," kataku berpesan pada Dini.


"Iya, bisa gawat kalau ibu tahu," timpal Dini. 


"Lagian gak ada penghasilan baru mau setahun ini," kataku lagi. 


"Dini nanti mau cari jodoh yang direstui ibu. Biar gak blangsak!" aku seperti tertampar, tetapi aku tidak marah dengan ucapan sindiran yang dilayangkan Dini untukku. 


"Iya, kamu harus dapat yang jauh lebih baik dari Mbak kamu ini. Apalagi kamu sarjana. Udah semester berapa sih?"


"Empat, Mbak. Masih empat semester lagi. Untung ada beasiswa." Aku tersenyum penuh rasa bangga. Dini selalu unggul hal apapun dariku, bahkan dari segi rupa pun, lebih elok Dini. 


"Kamu santai-santai aja di kamar sama, Mbak mau ke rumah sebelah. Disuruh beberes sama Teh Mira." Aku bangun dari duduk dan langsung pergi ke rumah Teh Mira. Kunci rumah yang ada di tanganku, aku gunakan untuk membuka pintu samping. Tentu saja hal pertama yang aku lakukan adalah mencari titipanas Ares. Meskipun dia genit, tetapi ia tidak pelit. Aku mengangkat uang merah yang tergeletak di meja dapur dan ternyata bukan hanya satu lembar, tetapi tiga lembar.


Kamu pasti butuh uang lebih untuk masak. Pakai saja uang ini. Aku gak mau putus. Selama masih bisa diam-diam, maka aku gak mau putus. 


Surat itu aku remas, tetapi tidak dengan uang merahnya dong! 


"Wulan!" Aku berbalik badan dengan terkejut.


"B-bang Yudi, a-ada apa?" tanyaku gugup. Kertas tadi belum sempat aku lemparkan ke tong sampah, begitu juga dengan uang yang ada di atas meja, belum sempat aku masukkan ke dalam kantong bajuku. 


"Kamu ngapain pagi-pagi ke sini?" tanyanya sembari membuka kulkas. Aku menarik kotak tisu yang ada di meja makan, lalu menutupi duit merah tadi.


"Mana Mas Ares?" tanyanya lagi sambil mengeluarkan susu UHT kecil dari dalam kulkas.


"Nyusul Teh Mira. Katanya mau honeymoon," jawabku sambil menetralkan rasa gugup.


"Terus kamu?" 


"Aku di sini karena Teh Mira minta beres-beres rumah, Bang."


"Oh, bagus itu, berarti nanti kamu digaji. Kalau nggak dikasih uang, minta aja. Hitung-hitung kamu bantu aku cari uang. Gak papa kerja jadi pembantu Teh Mira." Ia tersenyum begitu lebar. 


"Teh Mira dan Mas Ares banyak duitnya. Gak masalah mereka kalau harus gaji kamu satu juta setengah sampai dua juta sebulan, jika kamu jadi pembantu mereka."


"Lalu kamu?" tanyaku dingin. Kenapa harus kalimat demi kalimat Bang Yudi sangat menyayat hatiku? 


"Aku tetap berbisnis dengan teman-teman. Kalau lagi ada ya aku kasih kamu uangnya. Kalau nggak ada, kamu yang bantu aku. Suami istri itu harus saling bantu. Siapin makan aku dulu, baru kamu ke sini lagi!" Tangan ini ditarik oleh Bang Yudi untuk keluar dari rumah Teh Mira. Pintu aku kunci kembali karena aku tidak mau Bang Yudi menemukan uang yang aku sembunyikan.


"Bang, tunggu! Apa Abang punya uang lebih? Ada Dini di rumah, saya gak ada uang untuk beli sayur," kataku setengah berbisik. Saat ini kami sedang berjalan menuju rumah. Sebenarnya ada uang dari Mas Ares, tetapi aku ingin tahu bagaimana respon Bang Yudi saat aku minta padanya. Suamiku berhenti melangkah, lalu berkacak pinggang di depanku. 


"Siapa suruh adek kamu datang?" tanyanya ketus. Lagi-lagi aku sakit hati dengan perkataannya.


"Namanya juga saudara, pasti sesekali wajib mampir," jawabku membela Dini.


"Kalau gitu, minta uang belanja sama Dini. Dia kan numpang. Pakai air untuk mandi dan makan. Pakai listrik untuk nyalain kipas angin dan juga ngecas HP." Aku mengepalkan tangan menahan kesal. Sia-sia bicara dengan Bang Yudi yang gak peka sama sekali.


"Oh, jadi gitu, kamu jadi adik, minta terus sama Teh Mira. Apa itu gak nyusahin orang? Dini baru mampir sehari dua hari saja, kamu ini komentarnya nyakitin hati aku aja, Bang. Sebenarnya kamu masih mau aku jadi istri kamu gak? Kalau nggak, biar aku cari yang lain!" 


Bersambung 

Di aplikasi KBM sudah bab 27. Silakan yang udah gak sabar nunggu lanjutannya. Bisa mampir ke KBM ya

 Bisa mampir ke KBM ya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Terpaksa Menjadi Simpanan Kakak IparWhere stories live. Discover now