Prolog

16K 1.8K 39
                                    

MALAM belum sepenuhnya menebarkan gelap, tetapi sebagian besar barisan gedung sudah menyalakan lampu, mencoba menggantikan sinar matahari yang kelelahan. Langit sengit membara, seperti ketumpahan cat merah, jingga, abu-abu, dan hitam yang bercampur aduk tak merata. Sebagian menyala, tetapi sisi lain tampak muram. Dari ketinggian, semua pemandangan itu tertangkap jelas.

Perempuan yang sedari tadi berdiri mematung memandangi langit mengalihkan tatapan pada tembok rendah yang dibangun sebagai pembatas sekaligus perlindungan bagi orang yang berada di tempat itu. Tanpa ragu, dia mendekati tembok itu. Tubuhnya ramping, cenderung kurus sehingga dia tidak kesulitan saat memanjat tembok pembatas itu dan berdiri di atasnya.

Berdiri di atap salah satu gedung tertinggi di Jakarta terasa seperti superhero, pikirnya. Dalam film-film superhero buatan Hollywood, puncak gedung adalah tempat para pahlawan super itu biasa bertengger, entah untuk merenung, atau sekadar menunggu panggilan kaum tertindas yang minta diselamatkan. Spiderman, Batman, Superman, dan kawanan mereka yang lain, semuanya mencintai ketinggian. Mungkin karena puncak gedung tertinggi memberi sensasi tak terkalahkan. Tidak semua orang punya akses untuk menikmati pemandangan dari puncak gedung. Semakin kecil sumber daya yang dimiliki seseorang, semakin dekat jaraknya dengan tanah, dasar segala pijakan di muka bumi. Ketinggian hanya untuk kalangan tertentu. Pemandangan yang bisa mengakses seluruh kota hanya bisa ditukar dengan uang berlimpah.

Perempuan itu melongok ke bawah. Jalan raya terlihat padat. Mobil yang tampak sekecil kotak korek api bergerak semalas kura-kura yang baru bangun dari tidur. Berapa ketinggian gedung ini? Dia bertanya dalam hati, walaupun tahu tidak akan mendapat jawaban pasti. Satu yang yang tak terbantahkan, orang yang terjatuh dari tempat ini mustahil selamat. Pasti itu yang ada di pikiran orang-orang yang memilih gedung-gedung tinggi untuk mengakhiri hidup. Hanya butuh beberapa detik setelah melompat, maka kehidupan di dunia fana yang memuakkan ini akan berakhir.

Perempuan itu tersenyum miris. Tidak, tentu saja dia tidak ingin menguji teori tentang persentase kematian yang mutlak ketika seseorang melompat dari gedung pencakar langit, seperti yang baru melintas di benaknya. Setidaknya, bukan sekarang.

Dia baru saja berhasil menelusuri garis darah yang mengalir dalam tubuhnya. Obsesi yang menghantui pikirannya sejak dia mulai paham arti sakit hati, kecewa, dan marah harus dituntaskan. Dia butuh mendengar jawaban untuk semua pertanyaan yang sudah mengendap dan berkarat dalam benaknya. Ada berjuta mengapa yang perlu dimuntahkan.

Tanggapan yang akan didapatkannya mungkin tidak akan memuaskan dan tak bisa memadamkan bara abadi yang menggelegak di dadanya, tapi dia harus mendengar alasan untuk kepahitan hidup yang dijalaninya.

"Masalah kamu mungkin terasa sangat berat, tapi melompat dari situ tidak akan jadi pemecahannya."

Pijakan perempuan itu goyah saat dia berbalik untuk melihat siapa yang bicara padanya. Tubuhnya yang oleng nyaris kehilangan pijakan, tapi dia akhirnya bisa mendapatkan keseimbangannya kembali. Dadanya berdegup kencang. Hampir saja, pikirnya. Hampir saja semua kemarahannya ikut terkubur bersama jasadnya sebelum terlampiaskan. Sial, dia tidak menyangka ada orang lain yang berada di atap karena jam kerja sudah selesai.

"Semua masalah pasti ada jalan keluarnya," kata laki-laki yang wajahnya tidak tampak jelas karena penerangan yang seadanya. "Pikirkan juga perasaan keluarga dan orang-orang yang menyayangi kamu saat tahu kamu bunuh diri."

Keluarga dan orang-orang yang menyayangimu. Perempuan itu mengulangi kata-kata itu dalam hati. Orang lain mungkin punya itu, tapi dirinya tidak. Kematiannya tidak akan menumpahkan air mata siapa pun. Tapi nasibnya yang menyedihkan tidak perlu diberitakan ke seluruh dunia.

Dengan tangkas, dia kemudian melompat turun dari pagar pembatas. Dia melangkah menuju pintu yang menghubungkan atap dan bangunan gedung. Saat berada dua langkah di depan laki-laki itu, dia mengangguk sejenak, lalu kembali mengayun langkah, tidak menoleh lagi.

Laki-laki itu mengawasi sampai perempuan itu menghilang di balik pintu. Itu adalah ekspresi terdingin yang pernah dilihatnya dari seorang perempuan semuda itu. Masalahnya pasti sangat berat. Tapi apa pun itu, syukurlah dia tidak terjun bunuh diri dari atap gedung ini. Bisa jadi publisitas buruk.

Garis DarahWhere stories live. Discover now