14. tertidur di hari menenangkan

116 8 0
                                    

Ranpo itu sudah sedari kecil menderita penyakit kanker pankreas. Penderitanya akan mengalami rasa nyeri di bagian lambung bahkan ke ulu hati. Selama ini Ranpo memang merasa kesakitan, setiap hari dan tanpa jeda sedikitpun. Dia hanya berusaha untuk bertahan saja, sekalipun dia ingin sekali mati untuk mengakhirinya.

Barangkali sudah saatnya untuk tidak menyembunyikan apapun. Tidak apa-apa kan jika dia akhirnya menyerah? Ranpo perlu beristirahat agar dia tidak hanya mengenal rasa sakit saja.

Pertumbuhan kankernya juga sudah semakin besar, dan menekan organ saraf lainnya. Penyakitnya memang sudah semakin parah, Ranpo tidak pernah lagi mendengar jika dia bisa sembuh. Bahkan dokter saja yang awalnya dia percayai, kini Ranpo menghindari penjelasannya. Lagian Ranpo juga akan mati, apa yang perlu didengarnya.

"Ranpo-san, kau masih ingin melihat senja bersama kita kan?" Tanya Chuya sambil menggenggam tangan Ranpo dengan lembut. "Aku ingin melihatnya bersamamu lagi."

Cowok itu tersenyum dibalik bibirnya yang pucat, masker oksigen yang membekap mulutnya juga tidak bisa menyembunyikan ukiran yang sempurna itu. Ranpo tidak berbohong lagi, dia tersenyum dengan bebas. Tidak ada yang perlu disembunyikan olehnya, karena dia sudah memiliki kebahagiaan yang bebas.

Ranpo pun meraih tangan Chuya, dia mengelus-elus punggung tangan itu dengan pelan. Tubuhnya juga terasa lemah sekali, Ranpo sudah tidak tidak memiliki kekuatan untuk bertahan.

"Rasanya akan menyenangkan, jika aku bisa melihat senja lagi bersama kalian," kata Ranpo yang mengatakan perihal kejujuran. Ini juga merupakan harapannya, Ranpo benar-benar ingin merasakannya sekali lagi.

Karena bagaimanapun dia ingin sekali merasakan kebahagiaan sebelum meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Ranpo bukannya tidak yakin dengan hidupnya sendiri, dia hanya tidak tahu jika mampu atau tidak jika bertahan sekali lagi.

"Kemarin itu menyakitkan," lirih Ranpo sambil menatap Dazai.

"Aku tahu Ranpo-san, aku juga merasakannya. Mungkin tidak sebanding dengan rasa sakit yang Ranpo-san rasakan. Tapi, aku menderita jika aku bahkan tidak bisa melakukan apapun," balas Dazai yang langsung menangis histeris setelah mengatakan perihal tersebut.

Mati-matian Ranpo menahan air matanya, dia tidak ingin menangis sekarang. Dia ingin menghabiskan waktunya seharian penuh dengan bersenang-senang. Seolah-olah tidak ada waktu lagi baginya untuk merasakan kebahagiaan.

Ranpo hanya perlu bertahan sebentar lagi kan? Ranpo tidak sepenuhnya yakin akan itu. Tapi, dia yakin jika masih ada kesempatan untuknya.

Sementara itu, untuk orang-orang yang tiba-tiba dipaksa untuk melepaskan sesuatu yang berharga. Pada dasarnya pasti akan sangat menyakitkan, tidak ada kata sederhana sama sekali. Bahkan sakitnya pun tak tertahankan, melepaskan itu sulit sekali. Dan tentunya tidak semudah kata.

"Sebentar lagi sore, kita akan melihat senja di ruangan ini," kata Dazai yang berusaha mengukir senyumannya sesempurna mungkin.

Dia tidak boleh terlihat bersedih kan? Apalagi sampai terlihat lemah. Karena bagaimanapun dia itu penguatnya, dia tidak boleh rapuh terlebih dulu. Sebab Ranpo sangat membutuhkannya di sini.

Senja saja bisa berjanji untuk selalu datang di sore hari, lalu Dazai pun sudah mengatakan akan janjinya. Jika dia tidak akan pernah pergi kemana-mana, dia akan menemani Ranpo sesuai dengan keinginan anak itu. Karena Dazai tidak mau kalah dengan senja, jika senja bisa. Maka Dazai pun bisa melakukannya dengan lebih baik dari senja.

Chuya mengingat kembali pertemuannya berkali bersama Ranpo. Seseorang yang terlihat sangat menikmati senja, dan benar-benar tidak mengekspresikan rasa sakitnya kala itu. Chuya hampir tertipu, dia bersyukur sebab ada seseorang yang memberitahunya akan sebuah kenyataan yang ada.

𝙎𝙚𝙣𝙟𝙖 𝘽𝙚𝙧𝙬𝙖𝙧𝙣𝙖 [✓] 𝙏𝙚𝙧𝙗𝙞𝙩Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang