2. saat paling berharga

97 18 0
                                    

Seharusnya sore ini Chuya menemani Ranpo untuk melihat senja seperti hari-hari biasanya. Akan tetapi, saat pulang dari sekolah hujan deras langsung mengguyur perdesaan. Membuat Chuya terpaksa untuk cepat-cepat pulang ke rumahnya, lagian Ranpo juga tidak ada di sana. Dia pasti sudah memprediksi akan datangnya hujan hari ini, ketimbang Chuya sendiri.

Karena berlari cukup kencang, Chuya sampai terpeleset dan jatuh di dekat tanaman padi. Menyebalkan sekali, dia jarang sekali terlibat masalah seperti ini. Mungkin ini bukan hari yang baik untuknya. Akibatnya pakaian sekolah yang dikenakannya kotor, Chuya berusaha untuk bangkit. Tapi dia justru terjatuh lagi.

Kemudian tiba-tiba suara tawa seseorang membuat Chuya menoleh cepat ke arah sumber suara. Tawa yang sangat memuakkan, Chuya tidak menyangka jika ada seseorang yang mentertawakannya di saat seperti ini.

"Kau mau temenan sama katak? Butuh pertolongan?" ucapnya sambil mengulurkan tangannya pada Chuya.

Tanpa pikir panjang Chuya meraih uluran tangan tersebut. Bukan waktunya untuk marah, lagian dia sudah ditolong. Meskipun awalnya hal tersebut sangat menyebalkan untuknya. Seharusnya kan tidak ada yang mentertawakannya di saat seperti ini, tapi berbeda dengan seseorang yang menolongnya itu.

"Masih ingin tertawa seperti itu? Lanjutkan saja Dazai," kata Chuya dengan raut wajahnya yang kesel.

Bukannya diam Dazai justru tertawa terbahak-bahak, dan ini pertamakalinya Chuya mendengar Dazai tertawa seperti itu. Padahal setahunya Dazai adalah seseorang yang tidak banyak bicara, di sekolah saja dia sering di juluki hantu kelas. Karena lebih suka menyendiri, dan membaca buku favoritnya berulangkali.

Mungkin keadaan ini adalah sisi lain dari seorang Osamu Dazai, dia tidak pernah menunjukkannya ke orang lain. Ataupun memang karena tidak sempat saja.

"Berisik Dazai, suaramu bahkan saingan sama suara hujannya," tutur Chuya yang rasanya ingin sekali membekap mulut Dazai saat ini juga. "Kau memang tidak tahu caranya untuk diam ternyata.

Karena perkataan itu, perlahan-lahan Dazai meredakan tawanya. Dia juga tidak menyangka jika bisa tertawa seperti itu di depan Chuya. Sementara keduanya tidak terlalu dekat, salah jika dia sampai mentertawakannya tanpa henti.

"Maaf aku sudah lama tidak tertawa, jadi tak terkontrol."

Chuya tidak ingin memperpanjangnya, dia memilih langsung pulang saja dari pada membuat ibunya khawatir nanti. Tapi, Dazai langsung menarik pergelangan tangannya. Anak itu menatap Chuya dengan detail, entah apa yang sedang diperhatikan olehnya.

"Kenapa?" tanya Chuya yang justru dibuat penasaran.

"Yakin mau pulang setelah bajumu kotor seperti itu? Yang ada kau buat ibumu khawatir. Seorang ibu itu kalau udah overthinking bakalan kemana-mana pikirannya, palingan dikira kau dibully," Dazai mengatakan hal yang sesuai dengan apa yang akan terjadi nantinya.

Dan entah kenapa Chuya membenarkannya. Dia tidak mengatakan apapun, serta hanya bisa menunduk dalam. Memikirkan cara bagaimana caranya agar dia bisa pulang tanpa membuat ibunya khawatir.

"Ikut aku ke rumah, ibuku pasti seneng kalau ada teman yang mampir ke rumah."

Ajakan dari Dazai tidak bisa Chuya tolak, dikarenakan hal itu bersamaan dengan hujan yang semakin deras. Chuya tidak punya pilihan, dan mungkin lebih baik untuk mengikuti Dazai. Lagian tidak akan lama, Chuya yakin sekali.

≻───── ⋆✩⋆ ─────≺

"Langsung masuk ke kamar mandi sana, airnya juga udah hangat. Ternyata ibuku masih belum pulang, santai saja anggap rumah sendiri," ucap Dazai yang mempersilahkan Chuya untuk mandi lebih dulu.

𝙎𝙚𝙣𝙟𝙖 𝘽𝙚𝙧𝙬𝙖𝙧𝙣𝙖 [✓] 𝙏𝙚𝙧𝙗𝙞𝙩Where stories live. Discover now