29. Nyaris Terungkap

2.9K 545 16
                                    

Setelah beberapa bulan berlalu, hubungan Aeris dan Reiji semakin erat sejak mereka mulai berpacaran. Keduanya saling mendukung dan tumbuh bersama dalam perjalanan mereka di kampus. Aeris, yang sekarang berada di semester dua, tengah sibuk mempersiapkan diri untuk mendaftar HIMA di kampus mereka.

Sore ini di perpustakaan kampus, Aeris duduk di salah satu meja dengan tumpukan formulir pendaftaran HIMA di depannya dengan ditemani Reiji. Tatapannya terfokus pada lembaran kertas yang perlu diisi dengan hati-hati. Reiji dengan sabar membantu Aeris dalam proses pendaftaran.

Aeris menggaruk kepalanya bingung. "Aduh, Kak, gue bener-bener bingung sama semua formulir ini. Banyak banget pertanyaannya."

Reiji tersenyum lembut mendengarnya. "Tenang, Ris. Kita mulai dari yang paling gampang, isi informasi pribadi lo di bagian atas ini."

Aeris mengambil pena dan mulai menulis dengan hati-hati, mengikuti instruksi yang diberikan Reiji. Reiji pun dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan Aeris dan memberikan saran saat diperlukan. Waktu berlalu dan mereka berdua semakin fokus dalam mengisi formulir yang merupakan bagian dari proses pendaftaran.

Aeris merenggangkan tangannya setelah berhasil menyelesaikan formulir tersebut. "Akhirnya selesai juga. Gue nggak nyangka ternyata bisa sekompleks ini pertanyaannya."

Reiji menatap Aeris dengan bangga lalu mengacak gemas puncak kepala perempuan itu. "Gue yakin bisa tembus Hima," ucapnya beroptimis.

"Sebenernya gue nggak begitu ngarep, sih, Kak. Biar nyokap gue nggak ngomel aja."

"Masuk organisasi banyak manfaatnya, Ris. Nanti juga lo nyaman sendiri kalau udah ngerasain."

"Iya, tapi banyak capeknya."

"Kan ada gue."

Senyum di wajah Aeris langsung terbit dengan sempurna saat Reiji mengatakan itu. Meski Aeris akui kalau Reiji masih sangat kaku dalam berpacaran, tapi laki-laki itu selalu berhasil membuatnya tersipu malu dengan perhatian-perhatian sederhana yang Reiji berikan.

"Ini langkah pertama dari pengalaman luar biasa yang bakalan lo dapet nanti."

"Sayang deh," ucap Aeris gemas dengan mencubit pipi Reiji pelan.

"Ini di perpus, jangan ngajakin pacaran," tegur Reiji.

"Emang siapa yang bilang ini di taman? Yeu," cemooh Aeris kesal.

"Anak kecil kerjaannya ngambek." Reiji balas mencubit pipi Aeris lebih kencang.

"Sakit tau!"

"Ssstttt." Reiji melotot saat Aeris kelepasan berteriak. Untung saja tidak sampai didatangi oleh petugas. "Bandel banget."

"Suka kalau kamu marah kayak gini soalnya," celetuk Aeris dengan nada tengilnya karena dia tahu kalau Reiji pasti akan salah tingkah jika dia memakai 'aku-kamu' saat berbicara dengan laki-laki itu. Karena meski sudah berpacaran, mereka masih belum terbiasa untuk menggunakan panggilan aku dan kamu.

Selama beberapa jam di sana, mereka membahas tentang hal-hal seputar organisasi kampus. Reiji juga menjelaskan proses seleksi dan memberikan wawasan tentang kegiatan HIMA yang berbeda. Setelah dirasa puas dan Aeris merasakan kepercayaan diri yang meningkat usai menerima dukungan dan bimbingan dari Reiji, mereka berdua membereskan semua formulir pendaftaran dan meninggalkan perpustakaan dengan perasaan lega.

*****

"IPS kamu harus meningkat di semester ini ya, Ris. Mama ngerasa kamu nggak terlalu niat di semester kemarin," ujar Ambini agak ketus kepada Aeris yang saat ini tengah menikmati soto ayam buatannya bersama Reiji dan Erwin juga di meja makan.

"Aeris lebih aktif di semester ini, Tante. Tadi juga udah daftar HIMA. Nggak akan ngecewain pasti," seloroh Reiji, berusaha membela Aeris dengan cara yang halus.

"Biarin makan dulu, Ma. Masakan Mama jadi pahit kalau sambil bahas kuliah nanti," celetuk Erwin yang lebih bisa menjaga sikap di depan tamu.

Ambini menggusah napas berat. Dia memutuskan untuk diam meski ekspresi wajahnya menunjukkan kekesalan. Sementara Aeris hanya fokus menatap makanannya, tidak berani bertatapan dengan sang mama.

Reiji yang duduk di sebelah Aeris itu diam-diam mengusap punggung kekasihnya, memberikan isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Kamu masih mau lanjut HIMA atau udahan, Rei?" tanya Erwin mengalihkan topik pembicaraan agar suasana di meja makan tidak berubah menjadi tegang.

"Lanjut, Om. Dua periode, buat nemenin Aeris juga, hehe," jawab laki-laki itu.

Erwin mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. "Om sama Tante bener-bener makasih banget karena kamu udah bimbing Aeris di kampusnya. Mungkin kalau nggak ada kamu, udah nggak karuan nih bocah bandel."

Reiji tertawa kecil menanggapi candaan dari Erwin, sedangkan Aeris terlihat menggembungkan pipinya kesal karena sang ayah tidak berhenti meledeknya di hadapan Reiji. "Aeris nggak seburuk itu, Pa...."

"Dia keren, kok. Cuma lagi jaim aja buat nunjukin bakatnya," terang Reiji, memberikan pembelaan lagi.

Sore itu, mereka lanjut membicarakan banyak hal di meja makan. Semenjak Reiji datang, orang tua Aeris sudah tidak sekeras dulu lagi, meski persoalan nilai masih menjadi prioritas yang utama. Namun, semenjak Reiji turut hadir di kehidupan Aeris, perempuan itu tidak lagi merasa sendiri dalam menggapai cita-cita dan lebih mudah untuk menerima takdir yang saat ini tengah dia jalani. Berkat Reiji juga, Aeris merasa lebih dekat dengan orang tuanya.

Sekitar satu jam lamanya Reiji di sana, akhirnya tiba waktunya untuk Reiji pulang. Aeris mengantarkan laki-laki itu ke depan, juga dengan Erwin dan Ambini. Entah perasaan Reiji saja atau bukan, dia merasa bahwa akhir-akhir ini orang tua Aeris bersikap lebih hangat kepadanya. Tentu saja Reiji merasa senang, tapi bukan tidak mungkin kalau dia tidak canggung dan sungkan. Reiji takut kalau orang tua Aeris memberikan harapan lebih kepadanya lalu Reiji justru tidak bisa mewujudkannya.

Dari kejauhan, Haris berdiri dengan tatapan yang terpaku pada sebuah rumah yang tampaknya menjadi tempat tinggal perempuan yang tadi dia lihat berboncengan dengan anaknya. Rumah itu memancarkan kenangan masa lalu yang pernah dirasakan oleh Haris, membangkitkan perasaan campur aduk di dalam dirinya.

Saat berada di jalan tadi, tanpa sengaja, pandangan Haris tertuju pada Reiji yang sedang berboncengan dengan seorang perempuan. Kejadian itu membuat rasa penasaran yang mendalam muncul di dalam pikirannya. Hingga akhirnya Haris memutuskan untuk mengikuti mereka, membiarkan rasa ingin tahunya memimpin langkahnya.

Haris gemetar hebat. Tangannya terkepal kuat. Bagaimana bisa ini terjadi?

****

Rotasi Dunia ReijiWhere stories live. Discover now