23. Rinai dan Ambini

3K 649 17
                                    


Biasa, absennnnn....

***

"Kak, nggak usah dijemput. Kan lo nggak ada kelas hari ini."

"Lima menit lagi sampai."

"Hah? Kok–"

Telat. Aeris tidak bisa mencegah niat Reiji yang ingin menjemputnya pagi ini. Entah setan apa yang merasuki laki-laki itu sampai tiba-tiba ingin menjemputnya ke rumah. Tanpa lama-lama lagi, dengan secepat kilat, Aeris memasukkan semua peralatan tempur kampusnya ke dalam totebag. Setelah dirasa semua sudah siap, Aeris pun buru-buru keluar dari kamar.

Dengan napas tersengal-sengal, Aeris berlari secepat mungkin menuju depan rumahnya. Sepasang sepatu putihnya dia tenteng erat di tangannya. Biasanya, Aeris selalu malas pergi ke kampus. Namun hari ini, dia merasa senang bukan main. Bahkan rasa mulas juga menggelitik perutnya. Semua itu terjadi hanya karena Reiji akan menjemputnya pagi ini.

Tepat saat Aeris tiba di depan rumah, ia menyaksikan Reiji yang sudah nangkring di atas motor. Reiji terlihat rapi dengan setelan kemeja yang kancingnya tidak dikaitkan, sehingga menampakkan kaos dalaman putih polos, kemudian celana denim dengan motif sedikit sobek di bagian lutut. Dan jangan lupakan senyuman tipis yang menghiasi wajah tampan laki-laki itu.

"Pakai dulu sepatunya. Nggak usah buru-buru." Reiji tertawa gemas melihat Aeris yang masih nyeker.

Aeris mencoba menarik napas dengan tenang. "Lo, sih!" gerutunya lalu berjongkok untuk mengenakan sepatu.

Reiji menggelengkan kepalanya sambil menempatkan tangannya di atas kepala Aeris dengan gemas. "Jangan marah-marah."

Aeris berusaha menenangkan diri dan fokus mengikat tali sepatunya meski jantungnya seolah memberontak untuk menyembul keluar. "Jangan dibetantakin rambutnya, Kak. Gue nggak bawa kunciran hari ini."

Bukannya menyingkirkan tangannya dari kepala Aeris, Reiji malah mengacak pelan rambut perempuan itu sampai-sampai Aeris meninju dengkulnya sekuat tenaga. "Ganas banget," gumamnya yang kini sudah beralih memegang dengkul.

"Om sama Tante udah pergi, ya?" tanya Reiji sembari memperhatikan sekitarnya yang terlihat sepi.

"Papa udah kerja, Mama lagi sibuk di dalem. Langsung berangkat aja, Kak," ucap Aeris lalu bangkit dari jongkoknya seusai mengikat tali sepatunya.

Reiji hanya mengangguk sebagai jawaban. Mereka naik motor dengan hati-hati, Aeris duduk di belakang Reiji dan melingkarkan tangannya di perut laki-laki itu setelah mengenakan helm.

Reiji merasakan tangan Aeris yang memeluk perutnya itu pun diam-diam tersenyum di balik kaca helmnya yang tertutup. Mereka berangkat dari rumah Aeris dan Reiji mengendarai motornya dengan hati-hati, memastikan perjalanan mereka akan nyaman dan aman.

Aeris memandang jalan yang berlalu cepat di depannya. Mereka melewati jalan-jalan yang ramai dengan kendaraan dan pejalan kaki. Sebetulnya, dia sedang mengalihkan perasaan tegangnya, meski ini bukan kali pertamanya dia dibonceng Reiji.

***

"Aeris dijemput sama Kakak tingkatnya, makanya motornya masih ada."

Rinai mengangguk-anggukkan kepalanya setelah Ambini menjawab pertanyaannya. Ya, dia memang sering main ke rumah Aeris ketika perempuan itu tidak ada. Bukan tanpa alasan juga dia pergi ke rumah Aeris, ada beberapa hal yang memang sering kali dia bicarakan dengan Ambini mengenai Aeris. Bisa dibilang, Rinai menang mata-mata sukarela.

"Kamu nggak kuliah hari ini?" tanya Ambini lalu meletakkan segelas teh hangat di hadapan Rinai.

"Kuliah, Tan. Nanti siang," jawab Rinai diakhiri senyum tipis.

"Orang tua kamu gimana kabarnya? Udah pada baikan?" tanya Ambini.

Rinai mengembuskan napasnya berat sebelum menjawab, "Makin ancur, Tan. Papa aja udah nggak mau pulang. Emang nggak ada yang bener dari mereka berdua."

Sepasang mata Ambini menyorot iba ke arah Rinai. Tangannya bergerak untuk menepuk lembut pundak anak itu. Dia tentu paham dengan perasaan Rinai, karena Ambini juga berasal dari keluarga yang broken home. "Kalau sedih, ke sini aja. Ngobrol sama Tante."

"Yang ada malah dimakan Aeris, Tan." Rinai tertawa hambar.

"Meski kelihatan bar-bar, Aeris sebetulnya penyayang kok. Dia mirip Tante, nggak bisa nunjukin kasih sayang. Mungkin karena itu kami jadi kaku."

"Aeris tuh sebenernya beruntung banget. Kenapa dia nggak pernah bersyukur, ya? Padahal apa pun yang dilakuin dia, Om sama Tante pasti selalu peduli. Tapi Aeris nganggep itu sebagai tekanan."

Ambini tersenyum maklum. "Masih remaja, wajar-wajar aja dia begitu. Nanti juga paham sendiri kalau Tante sama Om tuh sayang banget sama dia. Didikan keras kami juga demi dia."

Rinai mengangguk paham dengan perkataan Ambini.

"Eum... Tante boleh minta tolong?" tanya Ambini, suaranya terdengar sangat berhati-hati.

"Kalau bisa, pasti Rinai bantuin, Tan," balas Rinai tanpa banyak pikir.

"Tolong cari tahu tentang Reiji, kakak tingkat Aeris itu, ya."

***

"Kak Zanila kemarin ngajak ngobrol gue."

Aeris akhirnya memberanikan diri untuk memecah keheningan yang terjadi antara dia dengan Reiji selama perjalanan menuju kampus saat ini.

Reiji refleks memelankan laju motornya agar bisa mendengar suara Aeris lebih mudah. "Ngobrolin apa dia?"

"Dia nanya, gue deket apa enggak sama lo," seloroh Aeris apa adanya.

"Jangan ditanggepin kalau dia ngomong aneh-aneh," ucap Reiji dengan cepat.

"Dia suka sama lo, ya, Kak? Kelihatan banget soalnya."

"Emang dia ngomong?"

"Enggak. Cuman, gue emang paham aja gelagat orang begitu. Emang lo nggak suka sama dia, Kak?"

"Kenapa harus suka?"

"Ya... dia cantik, tegas, ketua Hima. Bukan tipikal cewek yang menye-menye."

"Emang tipikal gue kayak gitu?"

Aeris menggaruk pipinya yang tiba-tiba terasa gatal. Benar juga apa yang Reiji katakan. Memangnya dia tahu tipikal perempuan yang laki-laki itu sukai? "Nebak aja, sih, Kak. Pasti banyak yang suka sama dia soalnya."

"Oh. Gue enggak," balas Reiji terdengar enteng.

"Kenapa?"

"Suka atau enggaknya seseorang kepada seseorang itu nggak selalu butuh alasan, Ris."

"Kalau gitu, tipikal cewek lo tuh yang kayak gimana?" Aeris menggigit bibir bawahnya sekuat mungkin setelah memberanikan diri untuk menanyakan hal memalulan yang satu itu.

"Yang bawel," gumam Reiji. Meski pelan, Aeris masih bisa mendengarnya.

"Bukannya kalau bawel itu nyebelin, ya?"

"Tergantung. Kalau lucu, nggak nyebelin. Kalau bawelnya bikin kuping panas, baru nyebelin."

"Suka-suka Kambing deh!" ketus Aeris membuat Reiji tertawa kecil.

Tidak ada obrolan lagi yang tercipta. Aeris sibuk memperhatikan pepohonan di sepanjang jalan, sementara Reiji fokus mengendarai motornya. Bahkan ketika tidak ada secuil pembicaraan pun di antara mereka, rasanya tetap sama. Nyaman. Dalam diam yang penuh makna, mereka bisa merasakan kehadiran satu sama lain. Tak ada kata-kata yang mampu mengungkapkan rasa nyaman dan kehangatan yang tercipta di antara mereka. Karena dengan bersamanya dua orang yang saling membutuhkan, besarnya dunia bukanlah apa-apa bagi mereka.

***

Duh, dunia serasa milik berdua 😂

Rotasi Dunia ReijiWhere stories live. Discover now