1

2.7K 475 96
                                    


Jangan timpuk aing beb🙈🤣🤣 kulempar biar kagak gedor-gedor nih di otak 😁 seperti biasa cerita receh dan pada umumnya wkwkw.

Masukin ke perpus dulu aja ya. Ntar bakal aing lanjut velan-velan selesai edit si Ammar 😁

♥️♥️♥️

Bita mengembuskan napas kuat-kuat mengusir lesu dari dirinya. Gairah hidupnya seakan tersedot habis saat ia memutuskan untuk berhenti berkeliaran di sekitar Abi—Abimanyu. Mengingat pria itu, ternyata ia sudah membuang waktunya untuk berharap dia menyadari keberadaannya. Konyol bukan? Selama dua tahun ini ia hanya berputar di situ-situ saja tanpa mempedulikan sekitar dan cibiran orang-orang.

Keputusannya juga tanpa alasan, ia lelah. Capek menutup telinga yang seolah tak mendengar gunjingan orang. Capek mempermalukan dirinya sendiri di hadapan Abi yang jelas-jelas menganggap teman saja. Iya teman. Tidak lebih tidak kurang. Dan terpukul mendengar pria itu berkata dia ingin terbebas darinya karena sampai kapanpun Abi tak akan pernah mencintainya. Ucapan Abi seperti es membekukan dirinya, mungkin ini saatnya me-restart ulang hidup dan perasaan Bita.

Namun, pria itu tidak salah sebab dari awal Bita tahu dan tidak masalah dengan itu, awalnya, tapi semakin lama ia semakin serakah dan berharap lebih. Dasar perempuan tolol mengharapkan bulan yang tak mungkin turun ke bumi.

“Masuk,” perintah Bita mendengar pintu ruang kerjanya diketuk. “Kenapa, Mel?” Ia menatap Imel yang membuka pintu.

“Ada Pak Abi. Tadi saya sudah bilang Ibu nggak mau diganggu tapi beliau ngotot mau ketemu.” Imel berdiri di bawah bingkai pintu dengan takut-takut.

“Suruh masuk. Kamu buatin kopi kayak biasanya.” Rasanya percuma mengusir Jati bila dia berkeras.

Tak lama pria berusia 36 tahun itu masuk. Dia terlihat berbahaya sekaligus mempesona. Langkahnya lebar hingga dalam hitungan detik sudah di hadapan Bita—terpisah oleh meja kerja Bita. Wajahnya tampak keruh, tatapan tajam, dan rahang kaku. Ia melempar lipatan kertas putih ke tengah meja. “Apa maksudnya?”

Bita membuka kertas tersebut. Ia tersenyum sumbing. “Ya seperti yang tertulis. Apalagi?” Bita menjawab setenang mungkin meskipun terselip rasa takut dari reaksi Abi. Memang apa reaksi apa yang ia harapkan? Dasar tolol. Mau seperti apa pun dirinya pria itu tidak akan merespons apa pun, jadi buang jauh-jauh harapan itu.

“Kenapa? Apa kamu butuh pinjaman? Apa kamu mengalami masalah finansial?” Abi duduk di hadapan Bita. Ia mengamati wajah perempuan yang menjadi teman dekatnya ini selama dua tahun.

“Nggak. Semuanya baik-baik saja tapi ... sedikit lelah mungkin.”

“Katakan padaku kenapa sebenarnya?”

“Nggak ada, Bi. Aku capek. Pengin istirahat di tempat yang tenang. Itu kenapa aku menjual kos-kosan dan lainnya.”

Abi tak sepenuhnya percaya pada ucapan Bita. Ia tahu betul jika dia membeli indekost itu, beberapa saham di perusahaan yang sama dengannya karena ingin dekat dengannya dan sarannya. “Ck. Itu alasanmu saja. Selama ini kamu bisa istirahat tanpa memikirkan hal itu.” Abi meninggalkan kursinya, menumpukan bokongnya di ujung meja kerja Bita. Tangannya ia lipat di dada dan menatap lurus perempuan ayu itu. “Ada apa sebenarnya? Apa ada yang menyakitimu?”

Kamu. Tapi Bita tak bisa melontarkan hal itu. Semua ini risiko yang harus ia tanggung saat peringatan yang diberikan Abi ia terima. “Nggak ada apa-apa, Bi. Beneran. Aku cuma pengin istirahat tenang aja.”

Abi mengalah. Ia tak bisa mendesak Bita karena bagaimanapun itu kemauan. Abi harus menghormatinya. “Mau nonton? Aku lihat film yang kamu tunggu sudah tayang.”

“Boleh,” jawab Bita sembari menyunggingkan senyuman. “Kapan?”

“Nanti. Aku jemput jam 5. Takut jalanan macet. Tahu sendiri kalo hari Sabtu gimana.”

Wanita itu mengangguk dengan senyuman tapi tak sampai mata alias senyum terpaksa. “Aku tunggu.”

Setelah sedikit berbincang-bincang dan kopinya habis, Abi pulang. Pria itu harus meninjau beberapa tempat yang akan dibangun untuk cabang supermarket bahan bangunan. Usai kepergian Abi, Bita menekuri ponselnya dan menghubungi pialang saham kepercayaannya—yang juga kepercayaan Abi—untuk menjual semua sahamnya miliknya. Ia juga menghubungi orang properti untuk menyewakan apartemennya karena ia ingin tinggal di rumah neneknya di desa. Sedikit jauh memang desa neneknya tapi suasananya membuat Bita betah.

###

“Uti!” teriaknya begitu turun dari mobil yang ia kendarai. Ia berlari masuk rumah model joglo mencari neneknya.

“Ya Allah.” Neni berseru saat cucu satu-satunya menabrakkan diri padanya.

“Bita kangen.” Ia mengeratkan pelukannya, menciumnya kuat sebelum mengurai belitan tangannya. “Uti bikin apa? Bita lapar banget.”

“Sayur bening sama pecel tempe. Ada empal daging sama ayam bumbu merah.”

“Mau.”

Neni menggiring cucunya ke ruang makan sekaligus dapur bersih. Ruangan itu besar, terdapat lemari es, meja makan jati yang telah diganti dengan ukuran lebih kecil, lemari kaca untuk meletakkan alat makan dari keramik yang mahal.

“Mejanya kapan digantinya, Uti? Kok Bita nggak tahu.” Ia mulai mengisi piringnya dengan nasi. Mengambil sayur bening dan pecel tempe. Makanan sederhana tapi begitu nikmat. Bita menyukainya hanya saja ia tidak pandai masak jadi lebih banyak membeli atau sesekali minta dibuatkan ART nya.

“Sudah lama. Damar yang nyari.” Neni mengukir senyum melihat Bita makan dengan lahapnya. Walaupun mereka cukup mampu tapi tidak pernah pilih-pilih soal makanan. “Uti lho kaget kamu tiba-tiba liburan ke sini. Kan nggak biasanya.”

Bita tertawa kecil mendengarnya. “Pengin istirahat, Uti. Capek kerja terus. Nggak apa-apa kan Bita di sini lama?”

“Ya nggak. Uti malah seneng kamu di sini. Pulang ke sini ya nggak apa-apa. Nggak bakal ada yang keberatan. Uti malah khawatir kamu di sana sendirian.”

Ah dia merasa disayang sekali. Di sana ia memang sendiri, orang tua meninggal beberapa tahun lalu karena kecelakaan beruntun. Awalnya Neni menemaninya tapi neneknya itu tidak betah dengan hiruk pikuk kota, bising katanya, dan memilih pulang ke sini.

Bita anak satu-satunya jadi ia tak mempunyai saudara lain selain sepupu-sepupunya. Terkadang ia kesepian tapi terhibur dengan adanya Abi tapi sekarang ... mungkin ia bisa mempertimbangkan untuk tinggal bersama neneknya yang sekarang sendirian. “Nanti Bita pikirkan ya, Uti.”

Selepas makan dan cengkeraman dengan Neni, ia ke kamarnya melepas lelah. Ia mengeluarkan pakaiannya dari koper, menatanya di lemari. Bita juga mengganti bajunya dengan yang lebih longgar, mengambil ponselnya sembari tiduran di kasur.

Pesan WhatsApp menarik perhatiannya. Ia menarik turun layar atas melihat pesan yang masuk.

Abi:
Di mana?
Aku ke toko kamu nggak ada.
Ta.
Tlp aku kalo hp mu aktif.
Kamu baik-baik aja kan? Dery bilang kamu belum ke resto.

Bita mematikan handphone itu kemudian melemparnya ke tengah kasur tanpa membalas pesan Abi dan lainnya. Nanti atau besok akan ia balas jika sudah tenang atau tidak malas. Bita memejamkan untuk melepas sejenak lelahnya.

Di lain tempat Abi terlihat gelisah. Otaknya tak bisa berpikir, fokusnya pecah berkali-kali melihat ponselnya. Ia menunggu balasan dari Bita tapi sampai sore tak satu pun pesannya dibalas, ralat! Dibaca saja tidak.

Sebenarnya apa yang terjadi dengan wanita itu? Dia menjual semua asetnya, menyewakan apartemennya, dan sekarang pergi tanpa memberitahunya. Apa dia mencoba membuatnya khawatir? Dan dia berhasil. Abi khawatir bukan karena dia memiliki rasa lebih pada Bita tapi belakangan ini perempuan itu terlihat aneh. Ia takut kalau Bita mengalami sesuatu dan membutuhkan bantuannya tapi sungkan padanya.

Tobaco.

Catching My Lover Where stories live. Discover now