"Gimana kabarnya, Pak Syamsi? Aduh, meni sibuk pisan kayaknya," ucap wanita paruh baya itu.

Syamsi mengusap tengkuk dan menjawab, "Alhamdulillah, damang, Bu. Iya, gimana lagi atuh da kalo lagi KKN mah."

"Iya, ya. Di mana KKN teh?"

"Di Ciobodas, Bu."

Selama mereka mengobrol, Lia hanya berdiri di samping belakang Syamsi. Sesekali Lia mengedarkan pandangan pada beberapa pedagang terdekat, mencari sesuatu barangkali ada bahan makanan yang bisa dijadikan ide untuknya.

"Semoga lancar KKN-nya. Biar nanti bisa ngajar lagi." Wanita paruh baya yang ternyata rekan mengajar Syamsyi tersenyum ke arah Lia.

"Aamiin. Hatur nuhun doana, Bu. Hayu, saya mau belanja dulu. Assalamualaikum." [Terima kasih doanya]

"Eh, Pak Syamsi, sebentar!" panggilnya, kembali menginterupsi langkah Syamsi dan Lia.

"Kenapa, Bu?" Untuk menghormati orang yang baru saja memanggil, Syamsi kembali menghampiri.

"Ini, kerupuk buat digoreng di posko. Sukses KKN-nya, ya!" Wanita paruh baya itu memasukkan dua bungkus kerupuk ikan mentah ke dalam keresek, lantas menyerahkannya pada Syamsi.

"Alhamdulillah. Makasih banyak, Bu." Lia yang sejak tadi hanya menyimak, kini ikut berbicara karena tidak menyangka akan mendapatkan kerupuk gratis.

"Eh, iya, sama-sama, Neng."

Inilah definisi min haitsu laa yahtasib. Rezeki yang datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Baik Lia maupun Syamsi tidak menduga akan mendapatkan kerupuk gratis di pasar, tempat orang-orang berdagang dengan harga beragam. Akan tetapi, bukankah tidak ada yang mustahil dalam kuasa Allah? Kalau saja Rizal tidak mulas dan Syamsi tidak menggantikan mengantar ke pasar, mungkin kelompok yang kini "menumpang" di Cibodas itu tidak akan mendapatkan kerupuk gratis. Baru mendapat kerupuk saja sudah sesenang ini, apalagi kalau mendapat sertifikat tanah gratis. Hahaha.

***

Satu per satu isi keresek hitam belanjaan dikeluarkan oleh Lia di dapur. Di sana masih ada Anggi yang sibuk merapikan bumbu, Ineu yang baru selesai menyapu, dan Taufik yang khusyuk mengocek kopi. Tampaknya kegiatan hari ini tidak akan terlalu padat, karena hanya perlu silaturahmi mengunjungi tiga RW, kemudian melanjutkan kegiatan mengajar di madrasah.

Empat bungkus tahu kuning, tiga ikat kangkung, dua papan tempe, satu kilo wortel, dan beberapa bawang berhasil dikeluarkan, termasuk kerupuk gratis. Anggi yang ikut membantu Lia pun terkekeh karena uang seratus ribu bisa membeli bahan masak seperti ini.

"Enakna kangkung mah sama sambel, Teh." Ineu mengamati kangkung yang tampak segar.

"Tah, bener! Pinter wae ari kana tuangeun mah, Neu." Taufik ikut berkomentar, lalu menyeruput kopi. [Pinter aja kalo urusan makanan]

"Eh, atuh, tong dikira," tanggap Ineu, terkekeh.

"Itu kerupuk mah dari temen ngajar. Lumayan menghemat, nya. Jaba seeur kurupukna ge dua palastik." Syamsi muncul setelah memarkirkan motor yang tadi digunakan ke pasar. [Apalagi kerupuknya banyak, dua plastik]

Taufik nyengir. "Alhamdulillah. Berarti si Rizal mules teh aya manfaatna."

"Sesungguhnya orang yang bersenang-senang di atas penderitaan orang lain adalah orang yang dzolim." Tiba-tiba Rizal datang bersama Guntur dan Wildan. Dia memakai sarung dengan atasan kaus panjang dan peci, persis seperti marbut masjid.

"Pik, urang ka RW opat. Biasa, kunjungan." Wildan mengisi tempat kosong di samping Taufik. [Kita ke RW empat. Biasa, kunjungan]

"Jam sabaraha? Soalna rek ka Ciwidey heula." [Jam berapa? Soalnya mau ke Ciwidey dulu]

"Engke we sore bakda Asar. Mun ayeuna mah RW na ge gawe, atuh," jelas Wildan, mengalihkan pandangan pada Rizal yang masih berdiri dengan wajah cemberut. [Nanti sore bakda Asar. Kalo sekarang, RW-nya juga kerja]

"Naon? Urang ganteng, nya?" sahut Rizal percaya diri, membuat semua orang yang ada di sana tertawa. [Apa? Aku ganteng, ya?]

"Enya, lah. Si paling ganteng anak Mamah Nyai." Wildan tambah terkekeh hingga wajah Rizal kembali cemberut. [Iya, lah. Yang paling ganteng anak Mamah Nyai]

"Sarapan udah siap belum?" Guntur tiba-tiba menginterupsi.

Seperti yang ada dalam aturan kelompok bahwa setiap sarapan ataupun makan malam harus bersama-sama. Tidak ada makan siang, karena terkadang saat siang hari beberapa anggota kelompok sibuk mengerjakan program kerja. Paling mereka mengganjal perut dengan camilan seadanya di posko.

"Udah. Makannya di posko cewek, ya," sahut Ineu yang langsung membantu Anggi karena kewalahan menyiapkan sarapan. Sementara itu, Lia, Rizal, dan yang lainnya membubarkan diri ke posko perempuan untuk memberi tahu yang lain, sekaligus menggelar tikar sebagai alas duduk.

Pagi yang dipenuhi keberkahan.  

[Jangan lupa tinggalkan jejak; kasih bintang kecil atau komentar juga tidak apa-apa. Terima kasih ♡]

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 05, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

984 Cibodas SquadWhere stories live. Discover now