“Saya tulus membantu, meskipun dalam hati saya, jujur, sejak pertama bertemu dengan Sekar, saya sudah merasa jatuh cinta padanya.”

Aku tersentak kaget mendengar pengakuan Tuan Arif. Dia jatuh cinta padaku, sejak pertemuan pertama kami di bawah pohon lengkeng di tepi irigasi sawah itu?? Bagaimana mungkin?

Malam hari setelah pertemuan pertama itu, bapak memintaku membuatkan kopi dan cemilan singkong rebus untuk tamu yang akan menginap di rumah kami. Tamu itu adalah Tuan Arif. Kebetulan sekali memang, ban mobil dan ban serep mereka bocor. Dengan kondisi desa yang jauh dari bengkel, mau tidak mau Tuan Arif dan Pak Ipan harus rela menunggu keesokan paginya. Agar bisa menambal ban mobil ke bengkel yang terletak dekat aula desa. Sekitar tiga kilometer dari rumah.

Aku menghela nafas pendek mengingat kejadian itu. Tidak habis pikir. Dan lebih tidak habis pikir lagi setelah mendengar percakapan antara Tuan Arif dengan kedua orangtuaku. Bahkan ia mengakui perasaannya??? Oh, tidak. Sungguh Tuan Arif tidak tahu malu!! Dan tidak sadar umur!! Apa yang ia pikirkan??!!

“Sebenarnya … saya membantu Bapak dan Ibu melunasi hutang-hutang itu kepada Juragan Karya karena saya mencintai Sekar. Itulah sebabnya saya tidak suka jika Sekar diganggu oleh Juragan Karya.”

“Apa??” suara bapak dan ibu serempak berseru mendengar pengakuan Tuan Arif.

“Tapi … saya tidak mau berharap lebih atas perasaan saya terhadap putri Bapak dan Ibu. Saya tidak ingin membebaninya. Saya tidak ingin balasan apa pun atas bantuan saya. ”

“Aduuu … uuh, jangan begitu Tuan Arif. Sekar itu gadis yang baik. Dia pasti takkan tega untuk menolak perasaan cinta dari seorang pria sebaik Tuan Arif,” ujar ibu.

“Tapi saya tidak ingin Sekar mau menikah dengan saya hanya karena rasa tidak tega menolak, Bu.” 

“Sekar pasti bisa membalas perasaan Tuan Arif nanti,” imbuh si ibu lagi “Mungkin tidak dalam waktu dekat. Tapi yang jelas, jika kalian menikah kemudian hidup bersama, pada akhirnya benih-benih cinta itu akan tumbuh dan bersemi juga.”

“Benarkah?” Tuan Arif meragukan ucapan ngaco ibu barusan.

“Pasti, Tuan Arif.”

Hening sejenak. Mungkin Tuan Arif sedang berpikir keras tentang ucapan pasutri di hadapannya, mempertimbangkan apakah sebaiknya ia menerima “hadiah” dari bapak dan ibu atau tidak. Tapi akhirnya, ia membuat keputusan yang sunguh membelalakkan mata.

“Baiklah, kalau begitu. Saya akan menikahi Sekar. Tapi sebelumnya, saya ingin mendengar langsung dari Sekar kalau ia siap menikah dengan saya. Jika Sekar berkata tidak, maka mohon maaf kepada Ibu dan Bapak, saya pun tidak bisa jadi menantu kalian.”

Hanya sampai di situ aku menguping pembicaraan itu. Aku sudah tidak sanggup untuk mendengar lanjutannya. Meski nyaris tidak bisa tidur sampai pagi, aku tetap diam mendekam di dalam kamar. Tidak mau bertemu Tuan Arif dan kedua orangtuaku. Percakapan mereka benar-benar membuatku gila.

Dan kini … ibu menasehatiku panjang lebar. Bahkan nasehatnya lebih cocok disebut intervensi ala diktator. Ibu “memaksaku” dengan wajah memelasnya agar mau dinikahi oleh Tuan Arif. Wajah bapak pun sama. Membuat aku luluh juga. Tanpa bisa memberi alasan atau penolakan terhadap keinginan mereka.
*****

Aku melangkahkan kaki menemui Tuan Arif yang berdiri di depan rumah kami, menghadap perbukitan hijau dan persawahan di seberang jalan. Ia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru muda. Celananya berwana cokelat tua, disetrika begitu  rapi hingga lipatan-lipatannya terlihat jelas sekali.

“Tu … an,” sapaku enggan.

Sepertinya Tuan Arif memang menunggu kedatanganku. Terbukti ia langsung menoleh meski suara yang aku keluarkan ketika memanggilnya begitu pelan.

“Eh, Sekar. Ada apa ya?” tanya Tuan Arif dengan senyum lebar. Aakhh, wajahnya memang tampan sekali. Sayang dia seorang duda. Kalau dia perjaka tua, mungkin aku masih merubah penilaianku terhadapnya.

Aku menunduk sambil memilin-milin ujung baju. Rasanya berat sekali untuk mengatakan bahwa aku siap dinikahi olehnya. Aku belum mau menikah. Aku masih punya banyak impian dan cita-cita. Aku tidak mau pernikahan ini sampai terjadi. Tuan Arif bukan seperti pria pada umumnya. Dia bodoh, mencintai gadis kampung sepertiku. Dan lebih bodoh lagi ia mau membayar hutang-hutang kakek kepada tuan tanah tengik itu!!

“Saya … saya ….”

Aaakkhh, kenapa kata-kata yang sudah aku susun sedari tadi terasa begitu sulit keluar. Lidahku kelu, tidak mampu untuk melontarkannya. Seakan ada beban berat puluhan ton yang menahan di sana. Membuatku masih tertunduk dalam kebisuan, hingga Tuan Arif mendekat perlahan.

“Sekar, saya tahu. Kamu ingin membicarakan tentang pernikahan itu ‘kan?” tanyanya hati-hati.

Jantungku serasa mau melompat dari tempatnya. Beberapa kalimat setelah pembicaraan ini akan menentukan masa depanku. Haruskah aku jujur tentang perasaanku?? Atau aku harus mengutamakan keinginan orangtuaku? Bukankah restu orangtua adalah restu Tuhan juga? Jika aku tidak menikah dengannya, tentu Juragan Karya siap memangsa kapan saja ….

“Kalau kamu sulit untuk bicara, cukup jawab dengan anggukan atau gelengan saja.” Jeda beberapa saat. “Apakah kamu mau … dan siap menikah dengan saya?”

Akhirnya pertanyaan dahsyat itu meluncur dari mulut pria di hadapanku ini. Aku ingin berteriak TIDAAAAK!! Sambil menggeleng tegas. Aku tidak mau, aku tidak ingin dan aku tidak siap!!!

Perlahan, aku mengangkat wajah. Kutatap wajah Tuan Arif yang memiliki sepasang alis dan mata bagus itu. Riaknya begitu harap-harap cemas. Tak pernah kulihat wajah pria secemas ini. Bahkan bapak yang terlilit hutang sampai puluhan juta rupiah dan berkali-kali diancam anak buah Juragan Karya saja tidak pernah berwajah secemas itu. Tiba-tiba aku jadi iba. Apa salahnya memberi kesempatan pada hatiku untuk belajar mencintai duda baik hati ini?

Kepalaku spontan mengangguk, membuat Tuan Arif terperangah tidak percaya.

“Ka … ka-kamu mau jadi istri saya???” pekiknya tidak percaya.

“Iya, Tuan,” jawabku pelan.

Tuan Arif langsung mengucap syukur penuh suka cita. Ia menengadahkan tangan ke atas, lalu mengusapkannya ke wajah. Kecemasan yang tadi begitu mendominasi wajah bayinya, kini hilang entah ke mana. Aku jadi tersenyum kecut, antara miris dan juga salut. Sepertinya dia benar-benar mengharapkan pernikahan kami, melebihi apa pun. Haruskah aku terharu?
*****

Sekar CintaWhere stories live. Discover now