Prolog

10.6K 231 6
                                    

Aku menangis, entah sudah berapa lama. Di sini, di bawah pohon lengkeng dekat irigasi sawah ini. Meratap dalam kepedihan, meraung dalam kekecewaan. Jenjang pendidikan yang telah kulalui selama belasan tahun, berakhir dengan sebuah kenyataan pahit. Kenyataan pahit yang takkan mungkin bisa kuubah, meski harus meneteskan airmata darah. Ijazah SMA yang begitu aku dampakan, tak kunjung bisa aku dapatkan. Bukan karena tidak lulus, melainkan karena aku masih memiliki tunggakan SPP yang belum dilunasi selama berbulan-bulan. Artinya, sekolahku sia-sia. Tanpa ijazah, aku tidak bisa mengupayakan beasiswa di universitas terdekat. Untuk melamar kerja pun, tidak dapat.

“Kenapa seperti ini?” desisku pedih.

Kenapa aku terjerat kemiskinan yang turun temurun ini? Tidak layakkah, seorang gadis desa sepertiku meraih mimpi yang tinggi? Haruskah aku meneruskan pekerjaan kedua orangtua menggarap sawah? Melewati hari-hari bermandikan terik matahari? Menikmati peluh yang senantiasa mengucur deras di sekujur tubuh?

“Aku tidak mauuuuuu!!” teriakku pada hamparan sawah yang menguning di  depan sana. Aku ingin merubah nasib. Demi Tuhan, aku ingin masa depan yang lebih baik. Bisa kuliah, bekerja, lalu menikah. Apakah semua itu berlebihan, Tuhan? Haruskah aku menerima kenyataan yang tak kuinginkan?

Sepasang mataku mengatup erat. Genangan luka masih merembes dari sela kelopaknya. Hidungku berupaya keras menyesap udara, guna melegakan rongga dada. Namun rasa sesak masih begitu menguasai. Meluluhlantakkan daya diri. Kaki terasa lemas. Tubuhku ambruk, tak kuasa menanggung segala derita. Aku terduduk di atas tanah kering kerontang yang sebagian besar ditutupi rumput mati. Rasanya aku pun ingin mati.

"Kamu tidak apa-apa?"

Suara lelaki samar-samar terdengar. Tapi aku lebih memilih abai. Tak berminat untuk mencari tahu sumbernya. Sungguh, aku ingin sendirian saat ini. Malas sekali berbasa basi.

Derap langkah mendekat. Kini pemilik suara itu benar-benar berdiri di sisi kananku. Jarak kami hanya sekitar dua langkah. Harum tubuhnya menguar ke mana-mana. Membuat siapa pun tak kuasa untuk tidak menoleh pada sosoknya.

"Mari saya bantu," katanya mengulurkan tangan.

Aku yang masih terduduk dalam kubangan kesedihan menatap wajah lelaki itu perlahan. Ia terkesiap. Sepasang matanya membeliak lebar. Posisi tubuhnya yang tadi sedikit membungkuk, mendadak lurus kembali.

"Tidak perlu. Terima kasih," sahutku berupaya bangun sendiri. Kulirik lelaki itu sembari membersihkan sisa airmata yang membasahi pipi, asal-asalan.

Ia menatapku lekat dengan riak wajah yang tak bisa kuartikan. Kaget, takjub, atau justru takut. Deritaku sejenak terabaikan demi melihat lelaki berkemeja abu-abu ini. Kulihat jakunnya bergerak. Pertanda ia baru saja menelan cairan saliva di tenggorokan. Tiba-tiba prasangka buruk merasuk otak. Aku tidak mau berlama-lama dengannya. Karena hal tersebut bisa membuat kejahatan muncul seketika, tiada rencana. Tanpa berpikir panjang, aku langsung berbalik lalu berlari menjauhi orang asing itu. Masih sempat aku menoleh ke arahnya sekali lagi. Ia tetap pada posisinya. Terpaku di tempat itu. Menatapku. Dan masih terus menatapku. Hingga aku benar-benar hilang dari ujung penglihatannya.
.
Kuhentikan kaki di tikungan jalan yang berbatasan dengan kebun jagung milik Jurangan Karya. Mencoba untuk mengatur nafas yang tersengal-sengal. Perutku sampai terasa sakit karena terguncang. Akh, apa-apaan lelaki itu. Mengapa ia melihatku dengan tatapan mata seperti itu? Dia ... aneh. Benar-benar aneh.

Sekar CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang