BAB 1

4.1K 169 3
                                    

Aku tak seharusnya menikah dengan Tuan Arif. Usiaku masih delapan belas tahun sedangkan ia seorang pria dewasa berstatus duda beranak dua. Wajahnya memang masih begitu tampan  dan muda. Bahkan orang yang melihat pasti terkecoh, menyangka ia berumur tiga puluhan dengan tinggi sekitar 175 cm dan perawakan tubuh ideal itu. Penampilannya pun sangat jauh dari kata ‘orangtua’, membuat aku nyaris tidak mempercayai usianya. Tapi, dari kartu identitas yang Tuan Arif perlihatkan, umurnya memang sudah empat puluhan. Empat puluh satu tahun, lebih tepatnya.

Tuan Arif pria yang sangat baik hati. Pak Ipan, supir sang pengusaha kaya itu yang mengatakannya pada bapak dan ibu. Tujuan Tuan Arif datang ke desa ini adalah untuk membeli sebidang tanah di atas perbukitan milik Juragan Karya, orang terkaya di desa kami. Bukan untuk dijadikan lahan usaha. Melainkan untuk membangun villa keluarga di sana. Sebagai tempat istirahat saat liburan atau akhir pekan. Udara desa kami yang sejuk dan berada di dataran tinggi memang sangat potensial sebagai tempat menenangkan diri. Terutama bagi para penggila kerja ala kota metropolitan seperti Tuan Arif.

Dari pengakuannya, bapak dan ibu mengetahui bahwa istri Tuan Arif sudah lama meninggal. Ia tidak bercerita banyak tentang kematian istrinya, namun bapak dan ibu sangat percaya tentang status duda yang diakuinya. Sikap Tuan Arif begitu sopan, membuat kedua orangtuaku yang sangat polos semakin terpesona saja kepadanya. Kekaguman mereka tidak bisa disembunyikan sedikitpun, laksana penduduk desa yang bertemu raja agung.

Sebenarnya usia bapak dan ibu tidak jauh berbeda dengan pria penyuka singkong rebus itu. Tapi karena Tuan Arif hidup di kota, terbiasa duduk manis di balik meja dan tidak melakukan pekerjaan kasar, kulitnya jadi tampak sangat bersih dan jauh dari kata menua. Mencerminkan status diri Tuan Arif sebagai orang kaya. Berbeda dengan bapak yang selalu terpapar terik matahari di sawah. Atau ibu yang seumur hidup tidak pernah ke salon. Kulit mereka keriput dan tampak lebih tua dari usia sebenarnya.

Dengan tiga kelebihan itu –tampan, kaya dan sopan- wajar jika bapak dan ibu sangat menginginkan Tuan Arif menjadi menantu mereka. Benar-benar pasangan impian setiap wanita. Tapi semua itu bukanlah nilai lebih bagiku. Di mataku, Tuan Arif tetaplah seorang Duda-Beranak-Dua yang sangat tidak pantas untuk menikahi gadis belia.

“Sekar, ini adalah jalan satu-satunya untukmu agar bisa melanjutkan pendidikan,” kata ibu, sehari sebelum pernikahanku. Aku hanya bisa terduduk lesu di kamar. Di atas dipan bambu yang disulap bapak menjadi tempat tidurku. Aku tidak habis pikir, ibu tega memilih jalan ini sebagai cara untuk melanjutkan jenjang pendidikan anaknya.

Wejangan ibu mulai merongrongi gendang telinga dan batok kepala. Suara lembut dan wajah memelasnya, benar-benar tidak memberiku kesempatan untuk berpendapat lebih leluasa. Ibu sangat pintar melobi. Memanfaatkan kepatuhanku terhadap dirinya.

“Kau masih ingat ‘kan? Kemarin kau hampir digagahi rentenir bau tanah itu, Sekar! Kalau bukan karena Tuan Arif, kau pasti sudah ternoda dan jadi gundik kesekian puluh Juragan  Karya. Masa mudamu terenggut, bahkan kau menderita sampai akhir hayatmu!”

Iya, Buuu … tentu saja aku masih ingat!

Bagaimana mungkin aku bisa lupa peristiwa itu? Peristiwa di mana aku nyaris kehilangan mahkota paling berhargaku. Oleh tindakan asusila seorang juragan tanah cabul, tua bangka dan bau tanah yang merangkap sebagai lintah darat pula. Aku tidak akan pernah lupa.

Rentenir itu adalah orang yang meminjamkan uang kepada kakekku, dulu. Kakek yang cukup kaya namun karena hobi kawin cerai dan berjudi, jadi berakhir jatuh miskin. Setelah miskin dan tak punya apa-apa, barulah ia menikahi nenek –ibu ayahku. Mereka meminjam sejumlah uang panas untuk membeli sawah dan sebidang tanah pertapakan rumah. Namun karena tidak pintar bertani, sawah mereka tidak memberi hasil yang memuaskan. Hingga akhir hayat, kakek hanya mampu membayar bunga hutang saja. Dan mau tidak mau, sebagai anak tunggal, bapak harus menerima “warisan” tak diinginkan itu.

Sekar CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang