“Tapi Bu … kita belum lama mengenal Tuan Arif. Masih hitungan hari! Tiba-tiba harus menikah dengan dia rasa-rasanya terlalu … nekat. Bagaimana kalau ternyata Tuan Arif itu seorang penjahat? Atau mungkin pengusaha yang memperdagangkan manusia? Aku … aku ….”

Ibu menggeleng lemah sambil meletakkan jari telunjuknya di permukaan bibirku. Membungkam kata-kata yang akan aku lontarkan saat itu juga untuk menyanggah titahnya.

“Meskipun kita baru beberapa hari mengenal Tuan Arif, tapi naluri hati ibu mengatakan bahwa ia benar-benar pria baik. Pria yang bertanggungjawab dan akan mengasihi juga menyayangimu sepenuh hati. Carilah pria di dunia ini yang mau berbaik hati membayar hutang kakekmu, Sekar! Pasti tidak ada! Dan mustahil ada!”

Kutatap sepasang mata ibu yang agak cekung karena terlalu lelah itu. Aakhh, rasanya aku tidak tega mengecewakan harapannya. Memang tak ada lagi pilihan bagiku selain menyetujui dan menerima pernikahan ini. Tuan Arif sudah sangat baik hati membayar “warisan” hutang almarhum kakek kepada Juragan Karya.

Selain itu, ia juga membayar tunggakan SPP yang membuatku tidak bisa mendapatkan ijazah SMA. Dan sikap paling heroik Tuan Arif adalah ketika menolongku dari percobaan pemerkosaan yang dilakukan oleh Juragan Karya kemarin. Aku pun mengakui sangat berhutang budi padanya karena semua itu. Tapi untuk membalasnya, haruskah lewat pernikahan? Tidak adakah jalan lain yang lebih logis?
*****

Sebenarnya, Tuan Arif tidak ingin menikahiku. Meski beberapa kali aku mendapati ia tengah mencuri pandang dengan tatapan mata sedalam samudera, yang memuja matahari bersinar di angkasa. Masih sangat jelas kudengar dan kurekam dalam ingatan, ketika ia berkata dengan sangat hati-hati semalam.

Sementara aku berdiam diri di kamar menguping pembicaraan mereka.

“Saya tidak ingin Sekar mau dinikahi oleh saya hanya karena terpaksa. Itu tidak akan membahagiakannya, Pak. Malah akan membuat Sekar menderita karena secara tidak langsung saya telah merenggut kebebasannya dan memenjarakan dia dengan status sebagai istri saya.”

“Jangan pikirkan masalah itu Tuan Arif. Saya yakin anak saya pasti bisa bahagia dan merasa aman jika hidup bersama Tuan di kota. Walau hutang telah terbayar, saya tidak menjamin Sekar akan aman di desa ini. Semua orang tahu bagaimana kebejatan Juragan Karya. Bahkan istri orang sekalipun, jika dia bilang ingin menikahinya maka sang suami harus rela menceraikannya. Jahat dan bajingan Juragan Karya itu sangat luar biasa, Tuan Arif. Untuk itu kami mohon, nikahilah Sekar dan bawa ia ke kota.”

Hening sesaat ….

Tuan Arif belum melontarkan sepatah kata pun untuk menyahuti “ide gila” bapak.

“Anggaplah permohonan kami ini sebagai ucapan terima kasih kepada Tuan, karena telah membayar semua hutang keluarga kami dan juga menyelamatkan putri kami. Tanpa bantuan Tuan, entah apa yang akan terjadi terhadap saya, istri saya, dan putri saya. Ini hanya berupa balas budi, Tuan. Bukan ada maksud lain.”

Aku masih belum mendengar sahutan Tuan Arif. Entah apa yang ia pikirkan sekarang, setelah mendengar penuturan tidak tahu malu dari bapak yang “menyerahkanku” untuk dinikahi duda seperti dia.

“Jika Tuan merasa Sekar tidak layak jadi istri Tuan, maka biarlah kami bertiga jadi pelayan di rumah Tuan. Tidak apa-apa. Segala cara akan kami lakukan untuk membalas budi baik Tuan.”

“Oh, jangan begitu Pak Basuki. Saya tulus membantu keluarga Bapak, tanpa maksud untuk dibalas dalam bentuk apa pun.”

“Berarti Tuan menolak untuk menikahi Sekar ataupun menjadikan kami bertiga pelayan di rumah Tuan?” kali ini ibu yang bicara.

“Bu-bukan begitu maksud saya, Ibu,”  jelas Tuan Arif jadi merasa tidak enak hati.

“Lalu?”

Sekar CintaWhere stories live. Discover now