Dia sadar kalau selama ini dia selalu berburuk sangka sama Alfanza, dan mengira Alfanza ingin memanfaatkannya. Arsya yakin karena hal itulah yang membuat Alfanza tidak ingin terbuka padanya, dan memilih memendam semuanya sendirian.

Arsya merutuki dirinya, dari semalam dia sudah memikirkan banyak hal. Dia bahkan begadang semalaman, menyiksa dan merutuki dirinya sendiri dengan bermalaman di ruang Gim itu.

Dan sekarang dia kembali merasa bersalah melihat Alfanza terbaring lemah.

"Lo terlalu baik Rasya hiks, seharusnya setelah lo dapat kehidupan baru, lo pergi saja dari sini"

"Biarkan saja keluarga yang selama ini membuat lo terluka, merasa tersiksa karena kehilangan lo hiks"

"Tapi dengan bodohnya lo malah mau saja balik ke sini hiks, bersikap seperti orang asing dan menyimpan perasaan lo sendiri, hanya untuk membuat mommy senang" ujar Arsya mengusap air matanya kasar, dan menatap kosong pantulan dirinya dari cermin besar di hadapannya.

Mengingat kembali kejadian 3 bulan ini, dimana pertama kalinya dia bertemu dengan Alfanza setelah tubuh Rasya meninggal.

Mengingat tatapan sendu pemuda itu menatapnya saat Roni memukuli di gudang, mengingat kata-kata yang menyudutkannya supaya Alfanza tidak mendekatinya, dan dengan bodohnya dia hanya menatap Alfanza ketika dia dihajar oleh teman-temannya.

Adeknya itu pasti kembali tersiksa, hidup dalam raga Alfanza yang sebelumnya membuat kesalahan hingga membuat keluarga Alberto marah, tapi dengan tidak adilnya Rasya yang menerima semua akibatnya.

Adeknya kembali terluka mendengar cemoohan orang-orang dari kesalahan yang bukan dirinya perbuat.

Dan kalau Rasya ingin, seharusnya dia bisa pergi jauh dari kota ini dan mencari kebahagiannya sendiri. Tapi dengan bodohnya, adeknya itu malah bertahan dan menerima semua ini.

"Sebenarnya apa yang lo pikirkan Rasya?"

"Apa lo masih ingin dekat dengan keluarga lo yang brengsek ini?"

"Seharusnya, lo pergi saja dengan bang Xavier keluar negeri, dan pasti lo akan hidup bahagia bersamanya, tanpa harus kembali terluka lagi di sini"

"Tapi..."

"Karena lo sudah memilih ini, jadi biarkan gue egois ya, gue akan menebus kesalahan gue sama lo selama ini" ujar Arsya tersenyum tipis.

"Gue nggak akan menyia-nyiakan kesempatan ini Rasya, terima kasih sudah kembali" gumamnya dan menghela nafasnya panjang.

Semalam dia sudah memikirkan cara untuk mendekati adeknya itu. Dia memilih untuk berpura-pura tidak tau terlebih dahulu. Karena kalau dia mengaku, dia yakin adek bodohnya itu akan memaafkannya begitu saja.

Dia kan ingin membuktikan dirinya, dan memberikan perhatian pada Rasya. Karena pasti Alfanza akan menolak perhatian dan akan ketus padanya, kalau dia berpura-pura tidak tahu. Dan itu akan lebih menantang menurut Arsya, lagian dia suka membuat Rasya kesal.

Padahal dia yakin, karena mengingat sifat Rasya, Rasya pasti selama ini sebenarnya senang kalau berdebat dengannya, seperti halnya dirinya yang juga senang, tapi menutupinya dengan bersikap ketus.

Dan dia akan menggunakan cara tersebut, supaya lebih menantang dan adeknya itu tidak mudah luluh dengannya.

"Hmm apa gue bilang sama daddy dan abang aja ya, mereka bakalan percaya nggak ya?"...

.

.

.

.

.

.

Alfanza mengerjapkan matanya, kemudian langsung duduk melepaskan masker oksigen di wajahnya.

I'm Fine (End)Where stories live. Discover now