•sepucuk surat

43 8 4
                                    

Pandu kembali menjalani sidang. Bukan sebagai penuntut umum, tapi sebagai terdakwa atas kasus pembunuhan terhadap seorang guru kesenian. Andrew Mahatma.

Kejadian itu tak hanya disaksikan oleh Kia saja, namun juga para tetangganya hingga akhirnya Pandu dilaporkan ke pihak yang berwajib. Andrew Mahatma meninggal dunia setelah dimutilasi habis-habisan oleh Pandu. Wajahnya penuh darah, mulutnya robek, kepalanya dibenturkan berkali-kali ke lantai hingga hancur.

"Apa benar anda melihat saudara Pandu Wicaksono membunuh saudara Andrew Mahatma dirumahnya sendiri?"

Tetangga Pandu mengangguk, "Benar yang mulia. Saya melihatnya sendiri."

"Bagaimana cara terdakwa membunuh korban?"

"Saya tidak tau persis bagaimana awalnya. Tapi saat saya lewat di depan rumahnya Pak Pandu, ada suara teriakan laki-laki yang membuat saya penasaran. Jadi saya melihat Pak Pandu memukuli korban berkali-kali hingga tak bergerak. Terdakwa juga menggunakan kursi rotan yang sudah lancip untuk merusak area wajah dan bagian perut korban, yang mulia."

"Apa lagi yang saudara lihat waktu itu?"

"Saya lihat Kia yang mulia. Kia menyaksikan adegan itu juga dari jendela rumah nya."

Karena Kia belum siap untuk menjadi saksi, maka sidang ditunda untuk sementara. Kia memberanikan diri untuk menatap Bapaknya. Pandu tersenyum, ia berbicara pada Kia dengan bahasa isyarat.

"Bapak gak papa kok. Kia gak usah sedih, Bapak gak masalah kalau dipenjara seumur hidup. Kia jangan sedih lagi ya? Bajingan itu sudah mati. Kia gak perlu khawatir."

Kia masih menatap Pandu dengan datar sampai Pandu akhirnya di bawa ke sel sementara sebelum sidang putusan ditentukan. Air matanya menetes, masih dengan ekspresi datar. Kia bahkan bingung bagaimana cara mengekspresikan perasaan nya sekarang. Ia tak tau harus senang atau sedih di posisi sekarang ini.

Kia menatap perutnya yang mulai membesar. Kandungannya sudah 4 bulan. Yuri, Hani dan Sagara mendekati Kia yang masih terdiam berjalan keluar dari pengadilan. Sagara membuat jarak agak jauh agar Kia lebih nyaman. Sedangkan Hani dan Yuri menuntun Kia berjalan menuruni tangga. Tatapan Kia masih sama seperti tadi meskipun air matanya menetes.

Hani membuka suara, "Kia, aku tau kalau aku bilang bahwa kamu harus sabar, itu adalah omongan yang sia-sia. Karena aku tau kamu juga bingung harus apa di posisi ini. Tapi aku mohon, tolong bicara dengan Pak Pandu seperti biasa. Bapakmu pengen banget di peluk anaknya. Bapak mu memang melakukan kejahatan, tapi Bapakmu bukan seorang penjahat. Dia pahlawan bagi anaknya. Tolong jangan diemin Pak Pandu ya?"

Yuri mengangguk, "Maaf kalau ikut campur. Tapi sebagai sahabat, kami hanya mengingatkan yang terbaik. Empat hari lagi, kami akan jemput kamu di rumah untuk menghadiri sidang selanjutnya. Kamu akan jadi saksi, Kia."

Kia menoleh, Yuri tersenyum lalu menuntun Kia lagi keluar dari pengadilan dengan Kia yang memegang perutnya.

Disisi lain, Cahaya sedang mengikuti proses pemakaman Ayahnya. Kacamata hitam lebar itu dijadikannya sebagai penutup betapa hancurnya hidupnya melihat Ayahnya sudah berada di dalam tanah. Cahaya menggenggam erat gundukan tanah tersebut dengan tangan gemetar. Ia berlari ke dalam rumah untuk melemparkan semua barang-barang tak berguna. Di dalam laci, akhirnya Cahaya menemukan ponsel cadangannya.

Ya. Hari itu, Cahaya menggunakan dua aplikasi saat pemerkosaan Kia. Kamera dan juga ponselnya. Karena ia sadar, Andrew akan mengetahui keberadaannya ketika melihat cctv nantinya. Kia beralasan bahwa hpnya rusak, ia menyerahkan kamera itu pada Andrew dan Andrew segera menghapusnya.

Andrew adalah alasan utama Ayahnya Kia terbaring lemah di kasur karena ditabrak olehnya. Dan laki-laki bajingan itu mengancam Cahaya akan melakukan hal lebih jika ia menyebarkannya.

Cahaya tau ia sudah melakukan kesalahan. Tapi untuk kedepannya, ia akan membongkar semua kebusukan Andrew. Meskipun pada dasarnya laki-laki itu sudah meninggal. Bahkan melihat jasadnya saja Cahaya tak sudi. Ia akan membuat Andrew menderita hingga liang lahat.

***

Di rumah, semuanya tampak sepi. Kia sendirian. Ia masuk ke dalam kamar Bapaknya. Kia duduk di pinggir ranjang mengelus seprai yang biasanya di tiduri oleh Pandu. Kia mengambil bingkai foto yang ada di atas nakas. Ia mengelus foto saat Bapak  dan Ibunya mencium pipi Kia yang sedang memeluk boneka Winnie the Pooh.

Kia membuka laci kamar Bapaknya. Ia menemukan satu album foto kecil di sana. Di luarnya bertuliskan "Peri kecilku, Kia."

Kia tersenyum melihat foto-foto masa kecilnya yang sedang menangis, yang sedang memeluk boneka, yang sedang wisuda TK. Semuanya terangkum jelas di dalam album itu bahkan hingga foto Kia yang SMA. Kia melihat ada sepucuk surat yang jatuh saat Kia membalik halaman itu.

Kamis, 4 November 2021

Bapak mau kasih surat ini nanti di hari ulang tahun Kia yang ke 17, hehe. Sebelum baca suratnya, kia buka laci kamar Bapak yang nomor dua deh.

Kia membuka laci nomor dua, ia menemukan sebuah dress putih yang masih dibungkus plastik, juga dengan hells yang penampilannya seperti sepatu Cinderella dengan pernak pernik yang memanjakan mata. Kia membaca surat itu lagi.

Itu hadiah Bapak selain balon yang kemaren. Bapak mau ngomong langsung, tapi Bapak takut nangis. Jadi nanti Bapak kasih surat ini aja ya ke Kia?

Kia suka gak kadonya? Maaf Bapak gak bisa kasih hadiah mahal untuk Kia. Maaf karena Bapak orang miskin. Maaf karena Bapak gak bisa bicara. Maaf karena Bapak belum bisa jadi Bapak sempurna layaknya seorang Bapak di luaran sana.

Bapak pengen Kia pake gaun ini dengan rambut kepang pakai pita kuning seperti biasanya di hari ulang tahun Kia nanti. Anak Bapak juga harus punya dress seperti Cinderella, anak Bapak yang cantik harus bahagia terus. Bapak akan lakuin apa aja untuk Kia biar Kia bisa terus ketawa. Meskipun Bapak harus merelakan nyawa Bapak sendiri, Bapak sanggup untuk Kia.

Makasih udah jadi semesta Bapak yang paling cantik nomor 1. Makasih udah selalu nemenin hidup Bapak tanpa Ibumu. Makasih udah rawat Bapak selalu. Makasih udah rela habisin bekal makanan sebelum masuk rumah padahal masakan Bapak rasanya aneh. Makasih udah jadi alasan Bapak untuk tetap hidup di dunia yang tidak adil ini.

Bapak bangga punya anak kaya kamu, Kia. Bapak bangga punya anak yang bisa menerima kekurangan Bapaknya. Semoga Kia selalu ada di hidup Bapak sampai akhir hayat Bapak nanti.

Bapak sayang Kia banyak-banyak.

-Pandu Wicaksono

***
Bersambung

Perempuan Yang Kehilangan PundaknyaWhere stories live. Discover now