•hancur

64 8 1
                                    

Pandu berlalu lalang di teras rumahnya. Waktu menunjukkan pukul 6 lewat lima belas. Hari sudah gelap karena mendung sejak tadi. Namun hujan tetap tak berhenti. Ada hal yang membuat Pandu semakin cemas. Anak satu-satunya itu ternyata belum pulang. Pandu sudah mencari Kia kemana-mana. Namun tetap tak menemukannya.

Perhatian Pandu tersita saat melihat Kia pulang sambil memeluk canvas yang bagian tengahnya terkoyak. Pandu mengerutkan dahi melihat penampilan Kia yang berantakan sekarang. Walaupun kepang duanya masih tetap ada, tapi rambutnya berantakan. Kancing atas seragamnya lepas, lusuh, kotor, basah. Roknya pun sama. Kaus kakinya panjang sebelah, tangannya gemetar dan sedikit terluka. Pandu memegang bahu Kia yang masih menunduk. Ia memegang dagu anaknya untuk menatap wajah Kia yang sembab.

Matanya memerah, tubuhnya dingin dan gemetar. Kia benar-benar berantakan. Pandu menggoyangkan bahu anaknya agar Kia menatap wajah Bapaknya pasalnya perempuan itu langsung menunduk saat Pandu memegang dagunya.

Pandu bertanya menggunakan bahasa isyarat, "Ada apa? Kenapa baru pulang? Kia ada masalah? Kia kenapa? Kenapa bisa berantakan kaya gini? Ada yang nyakitin kamu?"

Kia masih menggenggam erat canvas yang ada di pelukannya. Pandu mengambil canvas itu. Ia mengamati canvas itu dengan dalam. Bagian dasarnya berwarna putih, tidak ada yang spesifik dan menarik dari lukisan itu. Hanya ada warna merah marron di bagian tengah. Dan ... Dan tengahnya yang bolong seperti tergores pisau. Pandu meneliti lebih dalam dan menatap Kia.

Kia mundur, ia menggenggam tangannya sendiri yang gemetar. Lukisan dan reaksi Kia membuat Pandu semakin yakin ada yang tak beres dengannya. Laki-laki itu melemparkan canvas tadi ke dalam rumah dengan pintu yang sudah terbuka. Ia mendekat ke arah anaknya namun Kia malah memilih untuk mundur.

Pandu memegang kedua bahu anaknya. Kia ingat itu. Saat laki-laki bajingan itu memegang bahunya lembut dan menariknya kasar. Bayangan itu terus saja muncul. Kia menepis kasar lengan Bapaknya. Ia berlari menuju kamar dengan kondisi nya yang masih basah. Pandu mengejar dari belakang.

Kia melemparkan semua barang-barang nya mulai dari buku, kosmetik, dan seprainya yang berwarna putih. Ia menggunting-gunting seprainya dan melemparkan barang-barangnya ke arah cermin hingga cermin tersebut pecah. Kia mendekat dan mengambil pecahan itu, ia segera mengiris tangannya, Pandu langsung melempar pecahan kaca yang sudah membuat lengan Kia berdarah.

Gadis yang rambutnya masih di kepang dua itu terisak. Ia mundur kebelakang saat Pandu ingin mendekapnya.

"Jangan! Jangan, tolong ... Jangan mendekat. Aku gak mau, aku gak mau ngelakuin itu. Aku gak mau, aku gak mau, aku gak mau, jangan mendekat tolong tolong tolong jangan."

Pandu yang panik pun menggoyangkan bahu Kia untuk menyadarkannya. Ia menatap Pandu yang menggerakkan tangannya, Laki-laki yang kulitnya sudah keriput itu menangis melihat Kia yang sekarang.

"Ini Bapak, Nak. Ini Bapak. Kamu kenapa? Ayo cerita. Bapak disini."

Kia menggeleng, ia mundur perlahan, "Enggak. Semuanya ... Aku .... Dia ... Dia udah renggut semua. Aku hancur, aku bukan Kia yang dulu lagi. Aku ... Aku udah berantakan."

"SIAPA YANG MELALUKAN INI? SIAPA?!" Pandu bertanya dengan bahasa isyarat sambil menyalurkan kemarahannya. Urat nadinya terlihat jelas meskipun Pandu sedang mengeluarkan air mata.

Bukannya menjawab, Kia malah menangis sesenggukan. Pandu maju untuk memeluk anaknya. Kia memberontak namun Pandu tetap memeluk Kia walaupun Kia memukul dadanya berkali-kali. Pandu menenggelamkan kepalanya, ia ikut menangis melihat anaknya hancur.

Kia terisak, ia kerap kali memukul dada Bapaknya.

"Laki-laki itu nyakitin aku, semua laki-laki akan nyakitin aku. Semuanya jahat. Aku sakit, aku gak mau kaya gini. Aku hancur, aku berantakan. Aku gak mau, aku gak mau kaya gini. Kenapa harus aku, kenapa?"

Pandu tak tau anaknya barusan berkata apa, yang jelas ia tetap memeluk anaknya lama hingga pada akhirnya Kia pingsan setelah kelelahan dan kehabisan banyak darah.

***

Pandu menatap Kia yang masih terbaring lemah di kasur. Ia mengingat apa yang disampaikan Dokter Indri beberapa jam yang lalu. Beruntung Dokter tersebut mengerti bahasa isyarat.

"Pendarahannya sudah berhenti. Anak anda diduga kelelahan dan pendarahan tidak hanya terjadi di bagian lengannya saja. Tapi di kemaluan Kia juga. Apa yang barusan terjadi dengan anak Bapak?"

Pandu menjawab, "Saya tidak tau. Katanya, hari ini Kia pulang sore. Tapi saat saya mau menjemputnya, sekolah udah tutup. Saya terus cari tapi Kia gak keliatan. Waktu mau Maghrib tadi, anak saya pulang dengan kondisi yang berantakan. Tidak seperti biasanya, anak saya berlari ke kamar dan hampir saja mencelakakan dirinya sendiri. Apa terjadi sesuatu dengan anak saya?"

Sebelum menjawab, Dokter tersebut menghembuskan napas. Ia menggerakkan tangannya, "Kemungkinan ada selaput dara yang robek akibat hubungan seksual. Apakah anak anda punya pacar?"

Pandu menggeleng, "Temannya perempuan semua. Dia tidak punya pacar."

"Apa yang terjadi dengan Kia, Dok?"

Sebenernya, Dokter itu merasa kasian untuk jujur mengenai Kia. Namun itu sudah menjadi tugasnya.

Ia menjawab pertanyaan Pandu.

"Dengan berat hati saya katakan, bahwa anak anda kemungkinan tidak lagi perawan. Hasil visum menunjukkan banyaknya lebam di bagian bokong anak anda. Selaput dara bisa robek bukan hanya karena hubungan seksual, bisa jadi karena terjatuh, bersepeda, masturbasi, memanjat pohon, dan lain halnya. Tapi kasus putri bapak ini didapatkan setelah berhubungan seksual dengan lawan jenis. Bekas luka tetap berada di area posterior vagina antara posisi jam 3 dan 9."

Dokter perempuan itu menunjukkan hasil visum Kia, ia menunjuk area kewanitaan dan bagian belakang yang penuh lebam.

"Tingkat cederanya 80% hymenal notch. Bekas luka selaput dara mungkin terlihat selama beberapa tahun setelah pemerkosaan karena parahnya cedera. Setelah ini, kami tim medis akan tetap meneliti lebih dalam untuk memeriksa organ genital secara teliti, terutama di selaput daranya Kia."

Tangan Pandu terulur mengusap lembut rambut anaknya. Ia menutup wajah dengan kedua tangan menahan tangis. Pandu merasa gagal sebagai orang tua karena tidak bisa menjaganya dengan baik. Di sela-sela tangisnya, tangan Kia bergerak. Matanya ikut terbuka diiringi dengan Pandu yang menghapus air matanya dan mengusap kepalanya, namun Kia justru menepis lengan Bapaknya sendiri.

"Kia, ini Bapak ..." Pandu menatap Kia dengan mata memerah setelah menangis. Kia menggeleng, ia mundur dan menjauhkan tubuhnya dari Pandu, Bapaknya sendiri.

"Ini Bapak, ini Bapaknya Kia. Kia ingat kan? Ini Bapak, Kia kalau sedih cerita ke Bapak. Kia ingat?"

Kia menggeleng, ia menepis lengan Pandu yang hendak memegang bahunya.

"ENGGAK! LEPASIN! JANGAN DEKATI SAYA JANGAN! SAYA GAK MAU SAYA GAK MAU, SAYA GAK MAUUUU!!! TOLONG!!!"

Pandu menatap anaknya dengan sendu. Para tenaga medis datang menenangkan Kia. Pandu tak percaya hingga Kia tak ingin bersentuhan dengan Bapaknya sendiri.

Dokter itu memeluk Kia. Pandu menatap nanar ke arah Kia. Anaknya sendiri tak ingin disentuh oleh Bapaknya.

Dokter Indri menggeleng saat Pandu hendak mengelus kepala anaknya. Tangan Pandu menggantung di udara. Ia menurunkannya secara perlahan. Pandu bisa merasakan sakit yang dirasakan oleh anaknya hingga ia trauma dan tak ingin bersentuhan dengan Pandu hingga berbulan-bulan.

***
Bersambung

Perempuan Yang Kehilangan PundaknyaWhere stories live. Discover now