Lihat lah sekarang, senyum puas tercetak diwajah tampannya melihat hasil jepretannya sendiri. Aron dan Eric sudah terbiasa melihat itu, tapi mereka tetap ikutan tersenyum melihat senyuman yang menenangkan itu.

.

.

.

.

.

.

Sekarang Alfanza berada di mobil bersama Arsya. Entah kebetulan atau apa, dirinya malah bertemu dengan Arsya saat diparkiran pantai itu.

Awalnya dia menolak pulang bersama Arsya, tapi sedikit ancaman membuat Alfanza menurut dan berpamitan dengan teman-temannya yang tampak kesal menatap Arsya.

Selama perjalanan terjadi keheningan di antara mereka, Alfanza sibuk melihat cara Arsya menyetir mobil itu, berharap suatu hari dia bisa mengendarai dan memiliki mobil sendiri.

Untuk masalah motor, dia sudah bisa karena diajarkan oleh Eric sesuai janji, tapi masalahnya dia belum bisa membeli motor untuk dirinya sendiri.

Walaupun tabungan sudah lumayan banyak dari penghasilan Kafe 2 bulan ini, tapi tetap saja dia harus hemat. Setidaknya dia mempunyai uang simpanan sendiri, dan kalau suata hari berlebih, mungkin dia akan membeli motor yang harganya bisa dia jangkau terlebih dahulu.

Yahh dia harus bisa mencukupi kebutuhannya sendiri, bahkan dia menolak pemberian motor dari Eric karena merasa tidak enak, padahal Eric sudah bilang kalau itu motor hasil taruhan dia balapan.

Yahh namanya juga Alfanza, dia tidak ingin dicap memanfaatkan orang lain lagi, soalnya Citra buruk akibat ulah Alfanza yang asli dulu, sudah bisa dia bersihkan sedikit demi sedikit.

"Lo mau belajar ngendarain mobil?" Tanya Arsya akhirnya bersuara menyadari tatapan Alfanza mengarah kegerakan kaki dan tangannya sedari tadi.

"Kalau lo mau belajar, gue bisa ajarin, itung-itung jadi supir pibadi gue nanti" ujar Arsya tersenyum menjengkelkan menatap Alfanza.

"Tidak, saya tidak berniat menjadi supir pribadi tuan muda" ujar Alfanza dengan nada datar dan mengalihkan tatapannya menatap jalanan kota.

Dia sungguh tidak nyaman dengan suasana canggung diantara abangnya itu, padahal dia ingin membalas ucapan menjengkelkan Arsya dengan nada ketus seperti awal-awal dia masuk ke kediaman Smith.

Jujur saja walaupun abangnya itu menyebalkan, tapi dia merindukan suasana dua hari yang menyebalkan bersama Arsya, hingga mereka berdua di kurung di sel kecil di ruang bawah tanah berdua malam itu.

Tapi itu menjadi malam yang sangat menyenangkan buat Alfanza, karena satu hari dia habiskan berdua dengan abangnya itu dengan rantai di kaki mereka, membuat mereka tidak bisa terpisah jauh.

Flashback...

Alfanza terbangun tengah malam, karena merasakan seseorang menyelimutinya, padahal tadi dia yakin kalau dirinya kedinginan.

Ditatapnya Arsya yang tampak kaget menatapnya dan menjauh setelah berhasil menyelimutinya.

"Ars... maaf tuan muda, anda bisa kedinginan" ujar Alfanza memberikan selimut itu pada Arsya.

"Buat lo aja, salah siapa tadi malah pake kaus pendek, pasti dingin kan" ujar Arsya, membuat Alfanza diam dan menggeleng.

"Tapi tetap saja, saya tidak tau anda dapat selimut ini dari mana, tapi saya rasa ini untuk anda" ujar Alfanza terdiri dan menyelimuti Arsya.

"Gue nggak terlalu butuh, gue udah pake Sweter tebal dan juga ada Jaket dikasih sama bang Rendi tadi nih, lo pakai aja selimut itu" ucap Arsya tapi tetap dibaals gelengan oleh Alfanza.

I'm Fine (End)Where stories live. Discover now