01 Opening

14 7 0
                                    

Apa yang bisa dilakukan anak kecil terhadap kematian?  Apakah itu nyata?

~Hilya Fadila


Riuh isak tangis dari orang-orang memenuhi unit gawat darurat, ibu hampir hilang akal, berteriak dan mengamuk tak terkendali. Kakak-kakakku sibuk menahan ibu meski dengan cucuran air mata di pipi.

Lalu aku? Aku harus apa? Ayah? Ayah tadi apa? A-aku yakin ini hanya mimpi.

Aku masih menganga atas kejadian malam ini. Seseorang menarikku duduk di sebuah bangku panjang, lalu ia menatap ranjang tanpa kedip dengan matanya yang memerah. Kak Rayyan? Aku memalingkan wajah, menatap apa yang ia tatap. "aa-aayaah??" Aku melihatnya. Aku melihat ayah. Ayah hanya sedang tidur dengan selimut di atasnya. Sebenarnya, ada apa dengan mereka semua? Aneh...

"Mari pindahkan ke ruang jenazah" seru dokter pada perawat ada di ruang ini.

"Baik, dok."

"JANGANN!!" teriak ibu, membuat kami semua menoleh ke arahnya. "Jangan dibawaa kesana... Pulang... Bawa pulang... ke rumah... Jangan... kesana...." suara ibu gemetar, dirinya sudah mulai sedikit tenang. Namun, tenaganya habis hingga ia tak berdaya. Untuk duduk saja tubuhnya ditopang oleh kakakku.

Kak Nizam –salah seorang kakakku- dengan sigap menghampiri dokter. "Begini dok, apa bisa jenazah ayah kami langsung kami bawa pulang ke rumah sekarang?" tanyanya.

"Tentu saja boleh, namun ada beberapa berkas yang harus ditangani sebelum kepulangan jenazah. Bisa tolong dibantu, sus?"

"Baik, dok. Mari pak, ikuti saya."

Kak Nizam langsung melenggang pergi bersama suster. Selang beberapa puluh menit, ia kembali dengan lembaran kertas –yang tidak ku tahu isinya- ditangannya. Berbincang sebentar dengan kakakku yang lain, lalu bersama-sama merapikan barang-barang ayah. Perawat datang, membantu melepas peralatan medis yang terpasang di tubuh ayah. Merasa semua sudah selesai, para perawat laki-laki, kak Nizam dan kak Rayyan mulai memindahkan ayah ke emergency bed dan mendorongnya keluar ruangan. Teh Nuha membantu ibu berjalan mengikuti yang lain.

"Dekk....!"

Tatapan kosongku seketika buyar kala telingaku menangkap suara panggilan itu. "Yuk pulang..." katanya sembari meraih tanganku, menarikku untuk berdiri dan bergegas mengikuti yang lain. Tangan teh Bilqis sangat dingin, bagaikan tak ada darah yang mengalir ke tangannya. Matanya sembab, pipinya basah, dan aku masih tak begitu peduli akan semua itu.

Tepat di ujung lorong, sebuah ambulans telah menunggu. Ayah yang sedang terlelap dalam tidur indahnya didorong masuk ke dalam ambulans. Aku ikut masuk ke dalamnya, tak ingin jauh dari ayah dan ibu, dilanjut dengan kak Rayyan dan teh Bilqis. Sedangkan kak Nizam dan teh Nuha mengendarai mobilnya sekaligus menjadi penunjuk jalan.

Aku menatap ayah. Senyum ayah indah, namun entah kenapa rasa ngeri ini menyelimuti ragaku. Badan ayah tertutup kain putih bersih, bibirnya pucat, dan perutnya tak bergerak lagi. Aku mulai merasakan perasaan sesak ini, "a-ayaah?" kataku samar-samar.

Kak Rayyan tiba-tiba memelukku yang sedari tadi meratapi ayah. "Dek, ayah udah ga ada." Jelasnya.

Aku mendengar kalimat itu lagi, namun kali ini berbeda. Mendengar sambil melihat kondisi ayah sekarang benar-benar meyakinkanku akan kebenaran perkataan itu. Jantungku seakan-akan berhenti berdetak saat itu juga. Penglihatanku mulai buram, hingga akhirnya aku sama sekali tak melihat apa-apa.



To be continued.....

Hai temen-temen, berhubung ini adalah cerita pertama aku, so aku mohon banget koreksi, kritik maupun saran dari kalian semua.

Enjoy reading... 

Jangan lupa vote dan comment...

See  u in the next chapter><

Ayah dan DuniakuWhere stories live. Discover now