02

362 97 12
                                    

TIDAK dapat menahan rasa dongkol, teman Jaydev kompak menghela napas dengan ekspresi datar. Mereka sungguh lelah dengan tingkah laku Jay saat ini. Kisah cinta menyedihkan Jay memang bukan rahasia lagi bagi sahabat-sahabatnya.

Lihat saja, Jay terus mencuri pandang ke arah gadis yang tengah tertawa bersama beberapa temannya.

Agar tidak ketahuan memandangi, Jay bersikap seolah sibuk dengan sedotan di gelas es teh yang lucunya sudah habis. Makan siang di hadapan pemuda tersebut justru diabaikan. Mi ayam yang tadinya hangat pun telah mendingin.

"Temen lu ngenes banget, sih." Kata Dhika pelan.

Ezra menggelengkan kepala heran. "Temen lu juga."

Sementara itu Januar tanpa berucap sepatah kata menarik mangkuk mi ayam dari hadapan Jay. Mendapat tatapan penuh tanda tanya, pemuda keturunan Jawa ini santai mengangkat bahu. "Mubazir."

Dhika menutupi tawanya dengan batuk ringan sementara Ezra untuk kesekian kalinya menghela napas lagi. Mereka membiarkan Januar menghabiskan makanan Jay sambil bermain ponsel.

Lebih dari sepuluh menit kemudian, gadis yang disukai Jay beranjak pergi dari kantin, membuat Jay merasa sedikit sedih. Pikiran tentang crush hilang begitu saja ketika Jay menyadari makan siangnya lenyap. Dengan bingung ia mencari ke meja hanya untuk melihat mangkuknya sudah kosong tepat di depan Januar.

"Anjir, mi ayam gue lu makan?!"

"Salah koe kon. Ada panganan ndek depan malah delok mbak crush."

"Bentar doang, kan mau gue habisin-"

"Jay ini tipe belum makan karena belum disuruh ayang." Sela Dhika.

Telinga Jay menjadi merah muda. "Gak gitu ah."

"Lah kocak, dideketin dong ojo melototin tekan jauh. Suwi-suwi serem, Jay."

"Mana berani, pak." Dhika berkata dengan santai. Dari kelompok persahabatan mereka, dia yang paling paham dengan bahasa jawa-campur Januar. Walau yang lainnya pun 50% mengerti karena selalu mendengar Januar mengoceh sejak awal bertemu bertahun-tahun lalu.

"Semua cowo ditolak sama doi, Jay nggak ada kesempatan." Sahut Ezra mengatakan fakta.

"Siapa tau doi diem-diem punya crush terus nunggu ditembak. Kan lucu kalo doinya Jay juga, berasa takdir."

Ezra terkekeh pelan. "Plot twist."

Dhika diam sejenak sebelum ekspresi bangga muncul. "Ya kan! Teori dari Mars tapi bisa aja kejadian. Kalo kayak gini gue udah cocok jadi author au-au belum?"

Januar mendengus. "Aku kok ora yakin doi ada perasaan khusus ning Jay."

"Bener, sih, temen cowonya juga banyak. Jay di mata doi kayak batu pinggir jalan kali."

Kebenaran itu membuat bahu Jay turun beberapa inci dan semua sahabatnya menyadari hal tersebut. Meski tampan paripurna begini, pengalaman Jay di bidang cinta hampir nol besar karena tidak pernah memiliki kekasih.

Januar berceletuk ringan. "Opo kudu dikasih misi biar bisa deketin doi? Gregetan pol aku."

Ketiga pemuda lain berkedip bersamaan. Yang pertama menanggapi adalah Dhika.

"Maksud lu gimana?"

"Nanti Jay dikasih misi ben iso pdkt karo doi, kita yang mikir Jay bakal nyapo wae. Ben koyo ning film-film ngono."

"Semua misi harus selesai?" tanya Ezra penasaran.

Januar mengangkat bahu tak acuh. "Yo kudu dilakuin semua pokoknya. Kalo gagal Jay iso traktir makan kita misal, kalo sukses berarti lebih deket karo mbak crush. Tapi masalah diterima opo ogak iku urusan liyo, ya."

"Boleh juga," Dhika menjentikkan jari, "mumpung udah semester tujuh, yakin nggak bakal nyesel kalo nggak maju duluan, Jay?"

Si pemilik nama masih diam dengan otak bekerja kencang. Ucapan Dhika memang benar, di kemudian hari dia pasti akan menyesal jika tak mengungkapkan perasaannya. Kalau nanti tanda-tanda penolakan Leala terlihat jelas, setidaknya Jay sudah berusaha mengenal lebih dekat.

"Gak ikutan, deh, berasa mau taruhan aja. Inget Leala tuh temen kita, Morgan juga sahabatnya." Kata Ezra setelah hening selama beberapa saat.

"Lah, uduk taruhan iki!" Januar memprotes sedikit kencang. "Adewe kan ora pake duit, terus iki biar Jay gerak confess. Kita nggak mainin doi. Morgan nggak bakal nesu."

"Apa? Kok bawa-bawa gue?" tanya Morgan tiba-tiba muncul. Dhika, Ezra, dan Januar langsung menutup mulut rapat.

Pemuda berkulit sawo matang itu mengambil kursi di samping Ezra, matanya sibuk menatap ke layar ponsel. "Oh iya, Jay, tadi lu dicariin Louzhar."

Jay mengangguk pelan. Ia secara sembunyi memberi sinyal untuk ketiga temannya agar tidak membahas masalah tadi. Mereka melanjutkan percakapan ke topik berbeda, walau usulan Januar menjadi pusat pikiran Jay untuk semalaman.

[tbc.]

]

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

semoga paham jowo campur aduknya hehe

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

semoga paham jowo campur aduknya hehe

08/03

nanaourbunny

[3] Secret!Where stories live. Discover now