sembilan belas; kemunculan

Start from the beginning
                                    

“Papi mah mana pernah bela Hanum selama ini? Papi kesini pasti mau belain Kaia kan? Yaudah belain Kaia sana, Hanum gapapa kok ... ”

“Hanum stop kamu udah keterlaluan,” Gita kembali menegur.

Tidak ada jawaban keluar dari mulut Hardan. Lelaki separuh baya itu memilih duduk di tempat yang masih kosong disamping sang istri. Tidak ada senyuman di wajahnya. Semuanya datar. Membuat Gita menatapnya khawatir sebab jika sudah seperti ini, semesta sedang memberikan pertanda bahwa Hardan sedang marah besar.

“Hanum,” ucapnya kemudian. Membuat Hanum terkesiap mendengarnya.

“Papi mau ketemu sama yang namanya Haidan,” sambung Hardan yang membuat Hanum menelan ludahnya dengan susah payah.

“Ke–kenapa?” tanya Hanum takut takut. Papinya dalam mode marah besar memang bukan tandingan untuknya.

“Papi marah banget sama dia,” Hardan kembali berucap tanpa melepas tatapan dari anak tunggalnya.

“Kenapa papi marah banget sama dia?”

“Karena dia berhasil merebut perhatian kamu sama Kaia,”

Gita seketika tersedak susu yang tengah ia minum, begitupula dengan Hanum yang dengan shock nya menatap sang ayah tidak percaya. Apa-apaan yang baru saja ia dengar ini? Ia tidak pernah mendengar rentetan kalimat semacam itu dari papinya sebelumnya.

“Dia berhasil mendapat perhatian dari dua putri papi sekaligus,” sambung Hardan, lagi.

Gita menahan tawa. Ingin sekali rasanya ia meledek Hardan setelah mendengar kalimat semacam itu keluar dari mulut suaminya. Rasanya sudah lama sekali Hardan tidak menyuarakan isi hatinya seperti ini lagi setelah bertahun-tahun. Kesibukan dalam dunia kerja telah merubah kepribadiannya dalam sekejap. Membuat Gita terkadang merindukan Hardan di masa lalu yang selalu ceria dan tidak segan menumpahkan segalanya yang ia rasakan kepada orang terdekatnya.

“Nggak boleh! Papi nggak boleh ketemu sama dia,”

“Kenapa?” jawab Hardan tidak santai.

“Yang ada nanti papi ngelarang dia deket deket sama Hanum,”

“Mana ada kayak gitu, papi cuma mau ngomong aja sebagai sesama lelaki. Kamu mana paham obrolan laki-laki hah?”

“Pokoknya nggak boleh! Hanum nggak terima alasan apapun dari papi,”

Hanum bangkit dari posisi duduknya lantas meninggalkan ruang makan tanpa menggubris panggilan dari sang papi yang memintanya untuk kembali. Jika sudah seperti ini apalagi yang bisa dilakukan Hardan selain ikut merajuk. Duo ayah dan anak ini memang gemar sekali membuat Gita dilanda sakit kepala. Dua duanya sama-sama kekanakan dan sama-sama tidak mau mengalah satu sama lain.

Lihatlah bagaimana Hardan yang juga ikut berlalu dari ruang makan usai meninggalkan kecupan di pipi Gita. Ia kembali ke halaman depan dengan wajah datar sama seperti tadi, membuat Gita menggelengkan kepalanya pelan. Hardan itu umurnya saja yang bertambah, tetapi kelakuannya sama sekali tidak ada perubahan.

“Woi Har!”

Pandangan Hardan beralih pada tembok pembatas antara rumahnya dengan rumah Kalyana. Disana ada Jendra yang tengah menyembulkan kepalanya kemudian berteriak memanggil namanya.

“Apaan?"

"Gue mau ngomong sama lo,”

'Pasti ini mau nuntut anak gue gara gara Kaia pulang-pulang nangis,' batin Hardan yang tiba-tiba saja membuat tebak-tebakan ala dirinya sendiri.

Jendra memasuki halaman rumah kediaman Adimasatya dengan langkah lebar. Hardan mengundangnya untuk duduk di kursi teras dan Jendra menurutinya begitu saja.

RUMORWhere stories live. Discover now