sembilan belas; kemunculan

Zacznij od początku
                                    

“ ... tapi boleh ya kapan kapan papa ketemu sama dia?” sambung Jendra yang berhasil membuat Kaia menatapnya dengan pupil mata bergerak gelisah.

“Itu mah sama dengan papa marah kan?” sahut Reine.

“Kireina ... ” tegur Kalya yang membuat si bungsu membuat gestur menarik resleting di depan mulutnya sendiri.

“Buat apa ketemu? Papa pasti mau melarang Kaia ketemu dia lagi kan? Udahlah, papa sama bunda mah sama aja!”

Kaia melepaskan pelukan sang papa kemudian menarik diri darisana. Berjalan cepat keluar dari ruang makan meninggalkan ketiga anggota keluarganya dengan keadaan marah.

"Lho Kaia tunggu! Kay, papa nggak ada maksud kayak gitu! Kaia ... Kaia Abirama!"

Namun terlambat, si sulung sama sekali tidak menggubris panggilan tersebut. Jendra meninju pelan dinding lantas mengacak surai hitam legamnya frustasi. Ini masih terlalu pagi untuk membuat drama dan ia baru saja menciptakannya disini.

“Aya, aku beneran nggak ada maksud buat—”

“Gapapa Jen. Ini bukan kesalahan kamu. Anak kita aja yang lagi ada masalah,”

“Nggak bisa dibiarin terus kayak gini, Aya. Aku keluar sebentar ya?”

“Mau kemana kamu?”

“Cari angin,”

Mendengar jawaban dari Jendra, Kalyana hanya mampu mengangguk setuju. Bertahun-tahun menjalani kehidupan rumah tangga bersama tentu membuat Kalya memahami segala macam kebiasaan Jendra, termasuk kebiasaan ketika lelaki itu marah. Ia akan beralasan untuk keluar mencari angin demi meredakan emosi yang terlanjur berkumpul dalam ubun-ubun.

“Kamu mau kemana?” tanya Kalya saat mendapati Reine hendak berlalu juga dari ruang makan.

“Mau ke kamar, bun,”

“Nggak boleh! Kamu disini aja temenin bunda sarapan,”

“Tapi—”

“Nggak ada tapi tapi Kireina Abirama,”

“Iya bunda.”

Reine beringsut kembali duduk di tempatnya. Menggantikan sejenak posisi sang papa yang tadinya hendak menemani bunda sarapan.

○○○

“Lho katanya mau sepedaan? Kok balik lagi?”

Gita sudah selesai dengan segala kegiatannya menyiapkan sarapan. Ia membuka kulkas untuk mengeluarkan sekotak besar berisi susu sebelum menuangkannya pada tiga buah gelas bening di atas meja.

Hanum yang sudah berwajah masam pun mendudukkan dirinya di ruang makan. Ia sempat mencuci tangan sebentar di wastafel sebelum mengambil sepotong roti bakar dan  memakannya dengan tidak santai. Ia juga meraih segelas susu sebelum meneguknya tidak sabaran.

Baiklah, Gita tidak perlu mempertanyakan ada apa ini. Sebagai wanita yang telah melahirkan Hanum, ia tentu tahu apa yang tengah terjadi pada putrinya.

“Haidan lagi? Kenapa hm? Kamu ketemu sama dia di depan rumah?” tebak Gita asal, Hanum menggeleng kuat.

Hendak membuka mulut untuk menjawab namun tiba-tiba saja Hardan masuk ke ruang makan dengan wajah datar. Hanum menatapnya sekilas sebelum kembali memyelesaikan sarapannya. Ia tahu papinya pasti marah besar atas sikapnya di halaman rumah tadi.

“Papi mau marah kan sama Hanum? Sok atuh sini marah aja,”

“Hanum kok ngomongnya gitu sama papi? Nggak sopan,” tegur Gita memperingatkan.

RUMOROpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz