43. Kepergian Sang Patriot.

635 94 59
                                    

"Aku tetap tidak bisa mencegah tragedi itu merenggut nyawa mu. Kamu tetap gugur bersama ke-enam jenderal dalam sumur itu."
—Nimas Perwira.
°
°
°

"Ya Tuhan, lihatlah!"

"Bagaimana bisa ada manusia sekejam itu?"

"Mereka bukan manusia lagi. Mereka adalah iblis."

Ucapan-ucapan itu terdengar di tengah kerumunan orang yang nampak sibuk berdiskusi bagaimana mengangkat jenazah. Membunuh dan memasukkan para jenderal dalam sebuah lubang sesempit itu. Benar-benar biadab.

"Kondisi jenazah sangat rentan dan bengkak-bengkak." Sabaringin, Bintara Senior yang diperintahkan turun dan mengamati jenazah dalam lubang kini melaporkan. "Saya pikir, kita harus mempertimbangkan berbagai cara untuk mengevakuasi jenazah ini, Pak."

Letnan Mispan menghela napas. "Saya tahu itu. Lantas bagaimana?"

"Ada cara pertama yang saya pikirkan." sahutnya cekatan. "Kita bisa mengangkat langsung jenazah itu, tapi setelah saya pikir kembali, tidak mungkin bisa karena lubang ini terlalu sempit."

Sang atasan mengangguk. Menyetujui hal itu. "Bagaimana jika menggali atau melebarkan sumur? Bukankah itu lebih baik?"

"Itu tidak mungkin, Pak. Akan memakan waktu lama dan harus menggunakan peralatan khusus."

"Benar juga." Letnan Mispan berdecak. Berpikir cepat menangani kondisi. "Saya pikir kita bisa mengangkat jenazah satu persatu menggunakan tali yang diikatkan pada tubuh korban setelah memperoleh persetujuan dokter. Bagaimana?"

"Saya setuju, Pak!"

Ketika matahari tepat berada di atas ubun-ubun, operasi pengambilan jenazah dimulai. Waktu menunjukkan pukul 12.05 ketika Kopral Anang dari RPKAD menjadi orang pertama yang turun dengan menggunakan masker dan tabung oksigen. Dengan berbekal tali untuk mengikat jenazah, dengan sangat teliti dan hati-hati, dia berhasil mengangkat jenazah pertama.

Jenazah Letnan Satu Pierre Tendean.

🥀

"Sampaikan pada Soeharto, dia akan mengerti."

"Siap, Pak Nas!"

Jenderal Nasution terpaku menatap mobil Jeep itu melesat meninggalkan Markas Kostrad. Melaju menuju Lubang Buaya, membawa Nimas di dalamnya. Dia bahkan tidak tahu apakah ini keputusan benar dengan mengirim Nimas ke sana. Bisa saja akan melukai hatinya seumur hidup. Tapi sang jenderal tidak ada pilihan lain.

Saya sudah mendengar kabarnya dari Soeharto. Jika Nimas melihat jenazah itu, apa dia akan baik-baik saja? Ajudan saya adalah salah satu dari mereka. Yer...

Di dalam mobil yang terasa sunyi, gadis yang duduk di kursi samping kemudi itu tidak bisa tenang. Membuat tentara yang mengawalnya meliriknya berkali-kali, memastikan gadis itu tidak berbuat sesuatu yang nekat.

"Saya bertugas menjaga kamu, nak."ujar tentara berbaret hijau tegas. Membelokkan setir. "Saya harap semua akan baik-baik saja. Saya harap kamu tetap tenang nanti."

Nimas menyeka pipi. Tak menjawab.

Begitu memasuki daerah Lubang Buaya, tempat dimana banyak tentara berjaga dengan senjata lengkap menghampiri. Mencegat laju mobil Jeep.

KAPTEN, BAGAIMANA BISA AKU MELUPAKANMU?Where stories live. Discover now