"Hei, kenapa jadi diam begitu?" seru Kafa dan melambai-lambaikan tangan di depan muka Chavali.

"Sudah lama di sini?" tanya Chavali akhirnya.

"Lumayan. Aku butuh belajar dari senior, papamu."

"Belajar apa?"

"Yang pasti bukan belajar meluluhkan hati perempuan," jawab Kafa, lalu terkekeh sendiri dan menular pada Chavali.

"Nah, gitu dong. Santai," ucap Kafa.

"Kenapa kamu jadi orang bisa sesantai itu, sih?" tanya Chavali.

"Hidup itu perlu dihadapi dengan santai, biar menyenangkan dan nggak stres."

Jujur, Chavali masih merasa canggung. Entah Kafa tahu atau tidak soal rencana perjodohan mereka sebelumnya, tapi Chavali jadi merasa berbeda. Tak bisa sesantai sebelumnya. Chavali jadi bertanya-tanya, Kafa tahu atau tidak tentang rencana papanya. Tapi seingat dia, papanya pernah bilang bahwa Kafa ingin mengenalnya.

"Ke luar, yuk?" ajak Kafa.

"Ke mana?"

"Cari udara segar."

"Sekarang?"

Tertawalah Kafa dengan pertanyaan Chavali. Pria itu menyadari perubahan sikap perempuan di hadapannya.

"Kenapa tertawa?"

"Ayo. Sepertinya kamu butuh udara segar secepatnya. Biar wajahmu tidak sekaku robot."

Refleks Chavali memegang wajahnya dan Kafa tertawa lagi.

Taman di ujung kompleks rumah jadi tempat mereka mencari udara segar. Mereka jalan kaki, menikmati malam yang cerah dengan udara yang cukup dingin. Berjalan beriringan dengan langkah santai. Sesekali Kafa membuat lelucon dan mereka tertawa.

"Chav, jujur. Malam ini aku sungguh terhibur."

"Bagaimana bisa? Memang terhibur karena apa?"

"Melihatmu itu hiburanku," ucap Kafa, berhenti berjalan lalu menatap lekat Chavali.

Ditatap seperti itu, Chavali salah tingkah. Tatapan Kafa terlalu intens. Berkali-kali Chavali menghindari tatapan Kafa dan kemudian menunduk malu.

"Hei, kamu bisa tersipu juga, ternyata." Kafa sedikit menunduk untuk melihat wajah Chavali yang merona.

"Andai kita bertemu lebih dulu. Apa aku punya kesempatan yang sama seperti Jarrvis?" tanya Kafa setelah mereka kembali berjalan lagi menuju bangku di bawah lampu.

Chavali tidak mampu menjawab. Hatinya telah jatuh pada Jarrvis, tapi Kafa bisa membuatnya nyaman tanpa banyak pertanyaan di kepalanya. Tapi dia sudah membuat pilihan di awal ketika meminta Jarrvis menikahinya dan menghindari perjodohan dengan Kafa.

Dia harus bertanggung jawab atas pilihan itu. Tidak boleh dia menyakiti hati orang lain, meskipun Jarrvis tidak memiliki rasa untuknya.

"Maaf." Hanya itu yang bisa diucapkan Chavali.

"Jangan diambil hati. Maaf, malah bikin suasana jadi canggung seperti ini."

Chavali tersenyum dan menggeleng bahwa hal itu bukan masalah besar. Masalah besarnya ada pada dirinya sendiri, selalu jadi orang yang tidak enakan. Tidak enak hati pada Kafa dan resah karena Jarrvis.

***

Aroma kopi hitam menyeruak di pantry. Chavali menghirup dalam dengan mata terpejam. Harusnya, pagi ini tak ada jadwal membuatkan kopi karena selama tiga hari, Jarrvis ada di luar kota bersama Damar. Tapi Chavali rindu kebiasaan setelah dua hari tidak membuat kopi di waktu pagi.

Chavali meletakkan kopi buatannya di meja kerjanya. Melihat tanpa ingin meminumnya. Hanya diletakkan begitu saja dan dia kembali sibuk dengan pekerjaan.

Jarrvis sama sekali tidak menghubunginya. Chavali hafal dengan kinerja bosnya yang gila kerja. Tapi dia tidak menyangka, Jarrvis tidak menghubunginya, padahal status mereka sebentar lagi akan berganti.

Pernikahan mereka hanya akan jadi status palsu. Chavali sebenarnya tahu dari awal akan begitu. Lagi pula, itu juga yang dia inginkan saat membuat keputusan nekat ini. Tapi sekarang, semua berubah sejak dia diam-diam menaruh rasa pada Jarrvis.

Kehadiran Kafa yang intens membuatnya bimbang. Antara ingin diperhatikan atau memperhatikan. Antara ingin disayang atau menyayangi.

Tidak jarang dia menyesal karena tidak memberi kesempatan Kafa untuk mengenalnya lebih dulu. Langsung membuat keputusan menikah dengan Jarrvis. Tapi di sisi lain, dia berharap Jarrvis menganggapnya ada, bukan hanya sekadar bayangan di balik pekerjaan.

"Chav, Chavali," panggil Jarrvis yang kesekian kali.

"Chavali," panggil Jarrvis lagi. Kali ini dengan mengetuk meja.

Chavali terperanjat, bangkit dari posisinya dan membuat mejanya bergeser. Kopi di dalam cangkir tumpah, sedikit mengotori meja kerjanya.

"Kamu melamun?"

"Mas, eh Pak, kok sudah di kantor?"

Chavali melirik ke belakang, ada Damar yang tersenyum simpul. Chavali jadi malu sendiri karena memanggil Jarrvis dengan sebutan mas, padahal ada Damar di belakang Jarrvis.

"Bersihkan mejamu. Saya tunggu di ruangan."

"Iya, Pak."

"Mas," bisik Damar meledek Chavali, setelah Jarrvis masuk ke ruangan.

"Ih, Pak Damar. Kok, Pak Damar sudah balik? Bukannya harusnya besok?" tanya Chavali seraya membersihkan mejanya dengan tisu.

"Pak Jarrvis minta dipadatkan jadwalnya. Udah kangen kali sama kamu," balas Damar dengan senyum, lalu masuk ke dalam ruangan Jarrvis tanpa menunggu Chavali.

Sementara Chavali mendadak berbunga-bunga walaupun perkataan Damar belum tentu benar adanya. Dia tersenyum simpul, melangkah ke dalam ruangan.

***
Makasih antusiasnya
Happy reading, Sayang-sayangku.
Please vite dan komentarnya selalu ya. Thank you ❤️❤️❤️

Office RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang