BAB 1

10 1 0
                                    

Suara gerungan mesin mobil dan suara gerbang dibuka menyentakkan Sheila dari tidurnya. Ia kemudian melirik jam beker di atas nakas dekat ranjang. Pukul 9 pagi. Ah, hari libur memang pas untuk bangun siang. Tapi sebelum Sheila sempat tertidur lagi, suara baritone khas seorang ayah memanggilnya.

“Asheila! Cepat turun, Nak!” teriak sang ayah dari depan pintu kamarnya. Sheila mengerang. Dia tidak suka dibangunkan pagi-pagi di hari libur.

Namun, suara sang ayah terus membayang-bayanginya dengan keras. Akhirnya Sheila bangun dari ranjang. Dengan langkah malas, tanpa perlu menyisir atau sekadar mencuci muka, Sheila akhirnya keluar dari kamarnya dan berjalan menuju sumber suara ayahnya berada. Hampir saja meluapkan kekesalan kepada sang ayah karena mengganggu hibernasinya yang hanya bisa ia peroleh di hari Minggu.

Sebelum itu terjadi, Sheila malah termangu di tempat. Di hadapan sebuah kendaraan roda empat yang baru-baru ini ia dambakan. Tuhan, mimpi apa ia semalam? Sementara ayahnya hanya tersenyum geli menanggapi keterkejutan putri semata wayangnya.

Dua hari yang lalu Sheila merengek minta dibelikan mobil. Dia menagih janji ayahnya; jika Sheila berhasil meraih juara umum di kelas 10, ia akan dibelikan mobil yang sedang Sheila inginkan; Toyota All New Camry. Namun, sudah 3 bulan berlalu—Sheila juga sudah berhasil menyabet juara umum—ayahnya masih belum membelikannya mobil itu. Akhirnya Sheila merengek-rengek dan ngambek seharian.

Karena sekarang keinginan itu akhirnya terwujud, Sheila seketika menghambur memeluk ayahnya. Akhirnya sang ayah sadar bahwa naik motor—seperti yang dulu Sheila sering lakukan—bisa begitu berbahaya dan bikin sakit serta membuatnya sering sesak napas karena polusi.

Dengan ganas dia merebut kunci mobil, kemudian duduk di balik kemudi.

Sebelum masuk SMA, Sheila memang sudah diajarkan menyetir mobil. Pertama-tama ia diajari dulu dasarnya melalui sekolah mengemudi, kemudian ia melancarkan sendiri di rumah bersama ayahnya. Jadi Sheila tidak perlu lagi belajar mengemudi sendiri karena akan berakibat fatal (misalnya; mobil lecet atau malah ringsek).

Test drive, ya!” ucapnya riang.

***

Besoknya Sheila menggunakan mobil tersebut untuk pergi ke sekolah. Merasa sebagai teman yang baik, pulang sekolah sang dara pergi menraktir sahabat-sahabatnya—Hani, Feby, dan Kei—ke salah satu restoran Jepang di dekat sekolah mereka.

Sepulang dari restoran tersebut, gadis itu lupa akan sesuatu. Ia saat ini memakai mobil sebagai alat transportasinya, bukan motor. Sedangkan jalanan begitu macet karena jarum jam telah menunjukkan pukul 7 malam, yang artinya kebanyakan para pekerja pulang dari kantor atau pabrik. Dulu, sewaktu Sheila masih membawa motor bebek ke sekolah, ia tidak perlu takut kena macet karena motor bisa main salip sana-sini, atau lewat jalan pintas.

Ah! Jalan pintas! Seingatnya, jalan itu tidak terlalu sempit. Sehingga ia berpikir bahwa mobilnya yang kecil bisa melewati jalan itu.

Sheila mengangguk-angguk. Ya, benar. Lebih baik lewat jalan pintas daripada kejebak macet hingga malam. Dia sudah begitu lelah dan ingin segera sampai rumah. Ditambah, kepalanya pening karena terus-terusan mendengar klakson dari mobil lainnya. Kemana, sih, polisi saat sedang dibutuhkan?!

Perlu sekitar setengah jam sebelum Sheila akhirnya mencapai gang sempit yang merupakan jalan pintas. Mobilnya betul-betul pas dan begitu mepet dengan kanan dan kiri tembok. Sang dara mengejang.

“Kepalang tanggung nih,” gumamnya pelan. Mau mundur, lebih gawat lagi. Karena jalanan di belakangnya sudah penuh sesak diisi oleh motor dan mobil yang otomatis lebih kecil darinya. Kalaupun ia mundur dan memohon supaya pengguna jalan itu mengalah, tetap saja akan butuh usaha keras.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 09, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Road&RaceWhere stories live. Discover now