TUJUH

105 56 28
                                    

Kayla's.

Ada tiga hal yang gue benci, terjadi di hari ini;

1. Ketika, 45 menit istirahat harus terbuang sia-sia.

"Bangsat!" Killa yang sekarang berada di sebelah gue mendumel sepanjang perjalanan dari kelas ke aula.

"Mau dibikin busung lapar," ujar gue dengan keluhan ke-155 kali-nya.

"Sepenting apa, sih, sampe motong jam istirahat."

Oke, gua tau ini lebay, tapi sialnya pihak sekolah tidak mau 'pertemuan dadakannya' di lakukan pada jam pelajaran. Licik banget kan?! Gara-gara kepala sekolah gue jadi nggak bisa makan salmon mentai yang udah gue idamkan dari semalam. Selain karna harganya yang oke untuk ukuran sekolah ini, tapi juga rasanya setara dengan salmon mentai di sushi tei--so,so worth it.

Gue duduk di aula yang besarnya mengalahkan tiga kali lapangan utama juga perpustakaan, sambil berharap bahwa pengumuman yang mau di sampaikan sepenting itu sampai harus dilakukan di jam istirahat—terakhir kali kepala sekolah melakukan ini, cuma untuk kasih pengumuman kalau sekolah kita memenangkan lomba academic urutan pertama.

See?

Nggak penting.

Membayangkan kalau pengumuman ini bakal menyita seluruh waktu istirahat, dengan ocehan nggak penting dari kepala sekolah, membuat gue merinding.

Gue refleks langsung menatap Killa, sambil memegang lengannya.

"Gue nggak mau Kill.." lesu gue, sambil menyentuh lengan Killa.

"Lo pikir gue mau?!" jawaban Killa membuat gue kembali menatap depan, dengan wajah lesu karna—there's no hope.

Tidak lama kemudian, Ares, Radif, Bara, Abim datang dan duduk tepat di belakang kita—kecuali Bara, yang duduk di samping gue.

"Dari pada kesel mending minum." Bara menjulurkan sekotak minuman ke hadapan gue.

"Sejak kapan boleh bawa makan minum ke aula?"

"Sejak kapan lo ikutin peraturan?" jawaban Bara cukup make sense, membuat gue akhirnya mengambil apa yang Bara kasih. Nggak baik juga, kan nolak rejeki.

"Awas dikasih pelet," bisik Killa sebelum akhirnya Sir Agus—Kepala sekolah, memasuki aula dan berjalan ke arah podium. Seketika ruangan yang tadinya begitu gaduh menjadi sunyi. Bukan ... bukan karena dia kepala sekolah, tapi karena dia kepala sekolah yang galaknya mirip perawan tua.

"Selamat pagi semua," sapa Sir Agus, di susul ucapan berbalas oleh seluruh murid.

"Ditengah hari yang begitu baik ini, mari kita panjatkan ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karna telah memberi kesempatan untuk kita berada disini. Marilah kita berdoa terlebih dahulu."

Terkadang gue penasaran, berapa banyak siswa yang benar-benar berdoa di tengah pembukaan acara seminar, upacara, atau acara lain seperti ini. Karena dari sini, yang gue liat cuma beberapa murid yang menunduk tetapi bukan untuk berdoa melainkan bermain ponsel. Lagi pula kalaupun berdoa, isi doanya apa? Supaya acaranya cepet selesai?

Ucapan panjatan doa yang di ajak kepala sekolah adalah ucapan terakhir yang gue dengar karna sisanya, tiga manusia nggak penting yang ada di belakang ini, menarik-narik rambut gue, nggak sakit sih, cuma kalau ditarik 10x juga lama-lama sakit.

Nggak berhenti sampai situ, karena setiap gue menoleh ke belakang, tiga makhluk ini langsung mengangkat tangan.

Childish banget kan.

The Reasons To Stop In LoveWhere stories live. Discover now