33 - Bertram - A New Beginning

98 14 8
                                    

Warna pertama yang aku tahu adalah kuning.

Dulu di rumah kecil kami, Ayah kerap membawa pulang bunga mawar kuning. Kata Ibunda, Ayah membantu tetangga berkebun, dan di sana ada banyak bunga, termasuk bunga mawar kuning itu. Yang Ayah katakan pada Ibunda setiap memberikan bunga itu padanya adalah "Maafkan aku, Istriku. Aku mencintaimu."

Di rumah yang terlihat seperti gedung pusat perbelanjaan di tengah perkebunan berhektar-hektar ini, tidak ada mawar kuning itu. Mawarnya berwarna merah. Papa—aku sekarang memanggil Gilbert demikian—tidak pernah memberikan bunga pada Ibunda. Dia memang tidak pernah melakukannya sejak di rumah kami sebelumnya, memang, tapi itu karena Ibu memutuskan untuk menjual bunga. Jadi, akan tidak masuk akal baginya untuk memberikan bunga pada penjual bunga. Terlebih lagi, di rumah itu, hubungan Papa dan Ibunda tidak sebaik sekarang. Dan sejak tinggal bersama keluarga Meyer, barulah aku mengetahui bahwa, Papa pernah menghadiahkan sebuah rumah kaca raksasa kepada Ibunda sebagai kado ulang tahun.

Pria yang awalnya kudamba sebagai sosok Pangeran kuat yang aku teladani, perlahan, kadang-kadang malah terlihat seperti monster laut yang benar-benar mengerikan. Aku bersyukur, aku tidak termakan bujukan setan untuk bersaing dengan pria seperti Gilbert Meyer untuk menjadi nomor satu bagi Ibunda. Itu akan jadi sangat tidak adil dan tidak masuk akal.

Keluarga Papa, keluarga Meyer, adalah keluarga yang sangat kaya raya dan berkuasa. Aku tidak percaya Ibunda dulu tinggal di rumah mewah yang terlihat seperti milik para pesohor di TV. Mungkin bagi keluarga Papa, membangun rumah kaca adalah pilihan yang umum sebagai kado ulang tahun.

Setelah ulang tahun Ibunda dan kejadian di summer camp waktu itu, Papa memboyong aku dan Ibu untuk pulang ke rumah keluarganya, di mansion mewah keluarga Meyer. Keluarga terpandang yang memiliki sejarah panjang, kesejahteraan, kemakmuran dan kekuasaan. Aku tidak melebih-lebihkan dalam penggambaran ini. Aku yang tumbuh besar di Reins yang kampungan, tapi aku sama sekali tidak buta untuk tidak melihat seberapa besar pengaruh keluarga ini. Sebelum memasuki keluarga ini, aku sama sekali tidak menyangka seseorang bisa memiliki dan melakukan hal-hal pernah kulihat di kediaman keluarga Meyer.

"Ini kakekmu, Bertram. Namanya Lucas Meyer. Dan ini nenekmu, Mikaela Meyer. Bersikaplah baik dan hormat kepada mereka, ya."

Lucas dan Mikaela Meyer adalah pemilik tempat menakjubkan ini. Aku tidak percaya aku memanggil mereka sebagai kakek dan nenekku. Padahal rasanya seperti baru kemarin saja aku takut tidak makan siang kalau-kalau saja Gilbert—Papa, pulang memancing dengan tangan kosong dan kami lagi-lagi hanya akan makan telur dan kentang rebus. Di rumah ini, Mikaela Meyer sama sekali tidak mengizinkankan aku memikirkan ketakutan itu barang sedetik saja. Wanita elok nan jakung itu sangat menyayangiku. Dia memelukku erat saat kami pertama bertemu. Dia bilang aku sangat mirip Ibu padahal semua orang yang mengenal Ayah bilang aku mirip dengannya. Mikaela selalu memberiku cemilan, memuji pekerajan rumah sekecil apa pun yang kulakukan padahal menurutku itu biasa saja. Atau menemaniku melakukan kegiatan apa pun; belajar, bermain, berolahraga.

"Aku seorang pensiunan, cucuku sayang. Apa yang bisa wanita tua ini lakukan selain mengamatimu tumbuh besar?" katanya saat aku bertanya apa aku tidak mengganggu waktu istirahatnya saat aku memintanya menemaniku berjalan-jalan melihat bunga di taman.

Dan ... ya, seperti keinginan sang Nyonya Rumah, aku tumbuh besar. SANGAT besar.

Bertram Alexander Meyer.

Tinggiku hampir 190cm saat aku baru masuk sekolah menengah atas dan beratku lebih dari 100 kilogram saat itu. Aku benar-benar besar. Jauh lebih besar dari pada anak seusiaku. Di titik itu teman-temanku bahkan sudah tidak mengenal namaku lagi. Mereka memanggilku Big B. Tapi tidak seperti dulu, tidak ada seorang pun yang berani merudungku. Mereka, terutama teman-teman yang aktif di kegiatan olahraga sekolah, selalu meminta tolong padaku untuk membantu mereka saat pertandingan. Aku tidak terlalu mahir dengan otakku, jadi aku membantu mereka sebisa mungkin dengan apa yang kupunya; otot. Meski nama belakangku membantuku bersosialisasi dengan lebih baik (setidaknya, tidak dirudung), aku baru menyadari bahwa nama itu nyatanya bukanlah yang terfavorit di kota kami.

Her POV (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang